Oleh: Ust. Abu Ja’far, Lc.
Saudaraku,
Pagi yang sejuk itu, Syaqiq al Balkhi memanggil murid terbaiknya; Hatim al Asham. Ia ingin menjajaki kwalitas muridnya itu.
Syaqiq al Balkhi berkata kepada muridnya Hatim al Asham, “Berapa lama engkau mempelajari ilmu dariku?.”
Hatim menjawab, “Sejak 33 tahun yang lalu.”
Syaqiq bertanya lagi, “Apa yang engkau dapatkan dariku selama itu?.”
Hatim menjawab, “Ada delapan perkara…”
Syaqiq berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Aku telah menghabiskan umurku bersamamu selama itu, tapi engkau tidak belajar kecuali delapan perkara.”
Syaqiq kemudian berkata lagi, “Coba jelaskan kepadaku apa delapan perkara yang sudah engkau pelajari itu.”
Hatim menjawab,
“Pertama, setelah aku amati manusia sekian lama dan aku lihat masing-masing mereka mencintai kekasihnya dan ingin selalu berada di dekat kekasihnya. Tapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, maka dia berpisah dengan kekasihnya.
Lalu aku menjadikan amal shalih sebagai kekasihku, sebab jika aku (meninggal dunia) dan masuk ke liang kubur, dia tetap menyertaiku.”
Syaqiq berkata, “Engkau benar. Sekarang apa yang kedua?.”
Kedua, aku simak firman Allah swt,
“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” An Nazi’at: 40-41.
Aku tahu (yakin) bahwa firman Allah adalah benar. Oleh karena itu aku meneguhkan diri untuk selalu mengekang hawa nafsuku, sehingga hawa nafsuku mampu menetapi ketaatan kepada Allah swt.
Ketiga, setelah aku amati manusia, maka aku ketahui masing-masing memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian aku membaca firman Allah swt,
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” An Nahl: 96.
Berpedoman pada ayat ini, bila aku memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, maka segera aku serahkan kepada Allah, agar ia tetap terjaga bersama-Nya dan tidak hilang.
Keempat, aku amati manusia dan aku ketahui masing-masing mereka memandang suatu kehormatan dari sisi keluasan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian aku hayati firman Allah,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Al Hujurat: 13.
Lalu aku mengejar ketakwaan, sehingga aku meraih kemuliaan di sisi Allah swt.
Kelima, aku perhatikan manusia, dan aku saksikan mereka mencela dan mengutuki satu dengan yang lainnya. Aku tahu bibit persoalannya adalah iri hati. Maka aku kemudian membaca firman Allah swt,
“Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia.” Az Zukhruf: 32.
Maka aku tinggalkan iri hati dan memusuhi manusia, karena aku tahu bahwa Allah telah menetapkan rezki untukku dan pasti akan sampai kepadaku.
Keenam, aku memperhatikan manusia, mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu dengan yang lainnya. Kemudian aku melihat firman Allah swt,
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh bagimu.” Fathir: 6.
Maka aku jadikan setan sebagai musuhku dan aku mencintai manusia seluruhnya.
Ketujuh, aku memperhatikan manusia, maka aku lihat masing-masing mereka tidak pernah puas dengan pemberian-Nya dan bahkan mereka rela menghinakan diri dalam mencari tambahan rizki. Aku kemudian melihat firman Allah swt,
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya.” Hud: 6.
Aku adalah salah satu dari makhluk yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka aku menyibukkan diri dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya aku tidak melihat rezki milik orang lain.
Kedelapan, aku memperhatikan manusia, dan aku lihat masing-masing mereka memiliki ketergantungan terhadap sesuatu. Ada memiliki ketergantungan kepada perniagaannya, sebagian kepada hasil karya produksinya, dan sebagian lain kepada kesehatan badannya. Maka aku melihat kepada firman Allah saw,
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya.” Ath-Thalaq: 3.
Maka aku kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya urusanku kepada Allah saw, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.
Syaqiq berkata, “Semoga taufiq Allah selalu menyertaimu wahai Hatim. Engkau telah menghimpun ilmu pengetahuan seluruhnya.”
(Samirul mukminin, karya; Muhammad al Hajjar).
Saudaraku,
Hatim al-Asham. Adalah seorang yang zuhud dan piawi dalam memberi nasihat. Karena saking bijaknya ia dalam memberi petuah, ia dijuluki “Lukman Hakim-nya umat ini”.
Nama lengkapnya, Abu Abdiurrahman Hatim ibn Alwan al-Asham.
Menurut Abu Ali ad-Daqaq, Hatim dijuluki “al-Asham” (yang tuli), bukan karena ia tuli, tapi karena ia pernah berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seorang wanita.
Dikisahkan, suatu hari ada seorang wanita tengah berkonsultasi kepadanya dalam masalah agama. Saat bertanya, wanita itu kentut. Tentu dia sangat malu. Hatim tahu akan hal itu, dan sadar bila wanita itu akan sangat malu kalau dia mengetahuinya. Ia mencoba menyembunyikan hal itu dengan pura-pura tidak mendengarnya.
Hatim berkata, “Coba ulangi lagi pertanyaanmu dengan suara keras.” Mendengar perkataan Hatim, wanita itu girang sekali karena ia mengira bahwa Hatim memiliki pendengaran yang tidak sempurna. Dan ia tidak mendengar suara kentutnya. Allahu Akbar.
Saudaraku,
Mari kita ambil mutiara pelajaran dari dialog imani, antara Hatim al Asham dan gurunya; Syaqiq al Balkhi.
• Kedekatan dan keakraban antara seorang guru dan muridnya dituntut dalam proses belajar mengajar demi suksesnya cita-cita sebuah tarbiyah (pendidikan).
• Al taqwim (penilaian dan ujian), sebuah keniscayaan dalam sebuah tarbiyah (pendidikan), untuk mengetahui kadar kepahaman dan kedalaman kwalitas peserta didik.
• Untuk memahami ajaran agama dengan baik, dibutuhkan proses belajar yang panjang dan kesabaran maksimal. Belajar bukan sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Sebulan dua bulan. Setahun dua tahun. Tapi bertahun tahun dan bahkan puluhan tahun.
• Seorang guru, ibarat memberi kunci ilmu bagi murid-muridnya. Murid yang cerdas akan mempergunakan kunci-kunci tersebut sebaik dan se-efesien mungkin. Sehingga ia mendapatkan buah pengetahuan yang luas tak terbilang.
• Seorang pendidik hendaknya selalu mendo’akan kebaikan dan taufiq bagi peserta didik.
Saudaraku,
Mudah-mudahan kita bisa belajar dari pengalaman hidup Hatim al Asham, dan menjadi orang yang bijak dalam segala hal. Amien. Wallahu a’lam bishawab.
Memori indah, MT Rabwah Riyadh
Metro, 12 Februari 2013 M.
(AFS/Manhajuna)