Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Jawaban Sederhana Seorang Tukang Bakso
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Jawaban Sederhana Seorang Tukang Bakso

Di suatu senja sepulang kerja, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, setelah hampir satu jam saya membersihkan dan menyirami tanaman, terdengar suara tukang bakso dorong lewat.

Sambil menyeka keringat, saya panggil tukang bakso itu dan saya memesan beberapa mangkok bakso, setelah saya tanya anak-anak juga pada mau makan bakso.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya, ada satu hal yang menggelitik fikiran saya selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya, dimana yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet dan yang lainnya disimpan di kaleng bekas kue semacam kencleng, atas rasa penasaran lalu saya bertanya :

“Mas kalau boleh tahu, kenapa uang-uang itu Mas pisahkan, barangkali ada maksud dan tujuan ?”, kata saya.

Tukang bakso menjawab : “Iya Pak, selama 17 tahun saya menjadi tukang bakso, setiap hari saya selalu memisahkannya, ya tujuannya sederhana saja, saya hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi hak orang lain atau tempat ibadah dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman “.

Mendengar jawaban seorang tukang bakso itu saya benar-benar terkejut dan saya melanjutkan bertanya.

“Maksudnya Mas .. .?”,

Sambil bersandar di tembok pagar rumah saya tukang bakso itu menjawab : “Iya Pak, kan agama dan Allah menganjurkan Kita agar bisa berbagi dengan sesama, dan saya membagi 3, dengan pembagian :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari saya dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban, dan Alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, saya selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena saya ingin menyempurnakan agama yang saya pegang yaitu Islam dan Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar maka saya berunding dengan istri dan istri menyetujui bahwa disetiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, saya harus menyisihkan
sebagian penghasilan sebagai tabungan haji, dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan Ibadah haji.

Terus terang sedikitpun saya tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari seorang tukang bakso, hati saya benar-benar sangat tersentak juga tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki Pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu dan seringkali berlindung di balik kata tidak mampu atau belum ada rezeki.

Sahabat ….

Terus saya melanjutkan pertanyaan :

“Iya memang itu bagus Mas, tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya …..”. kata saya.

Tukang bakso menjawab : “Itulah sebabnya Pak, saya justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini, karena definisi mampu itu bukan hak Pak RT atau Pak RW, bukan hak Pak Camat ataupun MUI. Definisi “mampu” adalah sebuah Definisi dimana Kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri, kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu, sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya, Allah akan memberi kemampuan pada Kita”.

Subhanallah, betapa mulianya tukang bakso ini, sama sekali saya tidak menyangka akan mendengar sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso, yang tentunya patut kita semua contoh.

Sahabat ….
Obrolan singkat saya dengan tukang bakso yang sederhana ini, semoga memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita. Aamiin


Sumber:

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=149794098517826&set=a.139099979587238.31557.139094506254452&type=1

(Visited 581 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

ETIKA MENDENGAR, KAEDAH ‘8-M’ (Tafsir Qurtubi 11/176)

Bersama Buya (Dr.) Ahmad Asri Lubis (غفر الله له ولوالديه وللمؤنين). Menurut Imam Qurtubi, Ibnu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *