Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.
Saudaraku,
Berapa usia kita hari ini? Dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh, enam puluh atau lebih dari itu? Sudahkah kita menghitungnya dengan baik?.
Pernah terjadi dialog imani antara Fudhail bin Iyadh dengan seorang kakek berusia enam puluh tahun.
Fudhail bertanya, “Berapa usiamu?.”
Sang kakek menjawab, “60 tahun.”
Fudhail mengatakan, “Engkau selama 60 tahun melakukan perjalanan menuju Allah, berarti perjalananmu hampir saja sampai.”
Si kakek mengatakan, “Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un”.
Fudhail bertanya, “Tahukah engkau apa tafsir innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiun?. Siapa yang sadar dia milik Allah, dia wajib beribadah kepada-Nya. Jika dia sadar akan kembali kepada Allah maka dia harus sadar, akan berhadapan dengan Allah. Dan dia pasti ditanya. Karena itu siapkan jawaban untuk petanyaan-Nya.”
Si kakek bertanya, “Bagaimana caranya?.”
Fudhail menjawab, “Mudah saja,
تُـحْسِنْ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرْ لَكَ فِيْماَ مَضَى، فَاِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيْمَا بَقِىَ ، أُخِذْتَ بِــمَا مَضَى وَمَا بَقِىَ وَالأَعْمَالُ بِالـخَوَاتِيمِ .
“Berbuat baiklah di akhir usiamu, maka dosa-dosamu di masa lalu akan terampuni. Karene jika engkau tetap berbuat kesalahan di sisa usiamu maka engaku akan dihukum karena dosa masa lalu dan dosamu di sisa usiamu. (Ingatlah) bahwa amalan seseorang dinilai pada akhir amalannya.”
Saudaraku,
Bukan berarti kita yang masih muda, berlenggang-lenggang kangkung. Santai dan rilex karena merasa perjalanan masih jauh. Belum tentu. Siapa yang dapat menghalangi perjalanan kita esok, lusa atau pecan depan dan seterusnya. Berbekallah. Sebelum terjadi penyesalan yang tak berguna lagi. Wallahu a’lam.
Metro, 30 Agustus 2013