Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Minimal ada dua faktor penentu utama kelas dan level syukur seseorang
Pertama, jenis dan tingkat kenikmatan apa yang lebih banyak diingat dan lebih sering disyukuri?
Kedua, dalam bentuk dan dengan cara apa saja syukur dibuktikan dan diekspresikan?
Maka syukur level tinggi adalah syukur terhadap jenis-jenis kenikmatan tingkat tinggi juga
Disamping ia adalah syukur yang dibuktikan dengan kualitas bukti syukur yang lebih tinggi dan juga kuantitas ekspresi syukur yang lebih banyak macamnya
Sebaliknya, syukur level rendah, adalah karena yang lebih banyak diingat dan disyukuri hanyalah jenis dan bentuk kenikmatan “kelas rendah”
Begitu pula, syukur ditunjukkan dengan kualitas yang rendah, dan kuantitas yang sedikit
Sementara itu, secara global, jenis kenikmatan bisa diklasifikasikaan menjadi tiga tingkatan
Tingkat pertama, tingkat terendah, berupa kenikmatan materi duniawi yang bukan termasuk hajat hidup vital dan asasi, serta yang juga biasanya memiliki banyak opsi pilihan. Misanya seperti: nikmat harta dengan segala jenis dan macamnya, pekerjaan, jabatan, kedudukan, kesuksesan materi dan pilihan-pilihan kebutuhan hidup yang lainnya.
Tingkat kedua, tingkat pertengahan, adalah kenikmatan-kenikmatan yang merupakan kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat vital dan sangat asasi. Seperti misalnya: nikmat hidup itu sendiri, nikmat umur, nikmat waktu, nikmat nafas, nikmat detak jantung, nikmat kelengkapan dan kesehatan fisik seperti panca indera, dan lain-lain.
Tingkat ketiga, tingkat puncak tertinggi, berupa kenikmatan-kenikmatan sejati dan hakiki. Yakni nikmat hidayah, nikmat iman, nikmat islam, nikmat ketaatan, nikmat ibadah, nikmat amal saleh, nikmat dakwah, dan seterusnya.
Nah, jika direnungkan dan dievaluasi, ternyata syukur kebanyakan kita masih berkelas “rendahan”. Hal itu antara lain, karena bentuk dan jenis kenikmatan yang lebih banyak diingat dan lebih sering disyukuri, barulah kenikmatan-kenikmatan dalam kategori tingkat pertama diatas, yang memang merupakan tingkat terendah. Bahkan persepsi kebanyakan manusia tentang kenikmatan, selalu tertuju dan teralamatkan kepada jenis-jenis kenikmatan materi duniawi ini.
Tentu saja kita tidak mengingkari bahwa, itu semua juga merupakan kenikmatan Allah yang wajib disyukuri. Jadi yang jadi masalah dan salah, bukanlah sikap mengingat dan mensyukuri kenikmatan-kenikmatan materi itu. Tidak sama sekali. Itu sudah benar, dan memang harus begitu. Setiap kenikmatan, sekecil dan serendah apapun, wajib tetap kita ingat dan syukuri!
Namun yang salah dan jadi masalah, adalah terabaikan, terlalaikan dan terlupakannya kenikmatan-kenikmatan pada tingkat yang lebih tinggi. Baik yang berada di tingkat kedua diatas, maupun bahkan yang di tingkat puncak, yang merupakan kenikmatan hakiki tak ternilai. Dan karena tidak diingat, maka tentu berarti juga tidak disyukuri. Sedangkan sikap tidak mensyukuri kenikmatan, dalam bahasa Al-Qur’an, sama dengan mengkufurinya. Disinilah perbandingat itu menjadi berat, sulit dan sangat timpang. Dimana sikap syukur akan kenikmatan-kenimatan materi duniawi yang berada di tingkat rendah di satu sisi, harus dibandingkan dan dihadapkan dengan sikap kufur terhadap kenikmatan-kenikmatan lain yang justru merupakan kenikmatan-kenikmatan yang jauh lebih inggi tingkat dan nilainya, lebih-lebih kenikmatan-kenikmatan hakiki yang berada di tingkat puncak!
Nah, jika demikian fakta dan reaalita syukur kita selama ini, bukankah yang paling kita butuhkan saat ini dan seterusnya, adalah upaya-upaya muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri, agar meningkat dan bertambah level syukur di hati?
Maka, dalam rangka muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri tersebut, mari banyak-banyak bertanya kepada diri sendiri, misalnya, seberapa sering selama ini kita berucap al-hamdulillah demi mengingat dan menyadari betapa tak ternilainya nikmat hidup, nikmat umur, nikmat nafas, nikmat detak jantung, nikmat kelengkapan dan kesehatan indera, dan seterusnya?
Demikian pula mari jujur pada diri sendiri dan bertanya lagi misalnya, dalam hari-hari kita sebelum ini, seberapa banyak kita selalu mengingat, menyadari dan mensyukuri kenikmatan-kenikmatan puncak dan hakiki: nikmat hidayah, nikmat iman, nikmat Islam, nikmat ibadah, nikmat amal saleh, dan lain-lain?
Bukankah kita justru lebih banyak mengabaikan, melalaikan dan melupakan kenikmatan-kenikmatan sejati dan hakiki yang tak terhingga nilainya itu?
Sekadar sebagai contoh, saat seseorang dari kita berbuka puasa misalnya, dimana berdasarkan sunnah dan realita, itu merupakan momen kegembiraan, kebahagiaan dan kesyukuran seorang muslim, biasanya hal apa yang lebih membuat yang bersangkutan bergembira, berbahagia dan bersukur saat itu? Adakah ia lebih gembira dan bahagia demi mengingat dan mensyukuri luar biasanya nikmat ibadah puasa yang baru saja sukses ditunaikannya sehari penuh? Ataukah lezatnya hidangan berbuka-lah yang lebih ia ingat dan syukuri?
Jadi, bukankah kita perlu senantiasa memuhasabahi dan mengevalusi level syukur kita?
(Manhajuna/GAA)