Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna – Taubat merupakan salah satu wasilah (sarana) terbaik untuk tujuan pembersihan hati dan penyucian jiwa (thath-hirul qalb wa tazkiyatun-nafs). Karena mengapa hati perlu dibersihkan, dan jiwa harus disucikan, adalah karena hati dan jiwa itu kotor dan penuh noda. Dan yang mengotorinya adalah dosa-dosa (QS. Al-Muthaffifin: 14). Sedangkan cara pembersihan hati dari noda-noda dosa, dan jalan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran maksiat, adalah melalui taubat.
Dalam sebuah hadits: “Jika seorang hamba melakukan suatu dosa, maka satu noktah (noda) hitampun langsung menempel di hatinya. Jika ia segera sadar, taubat dan beristighfar, maka hatinyapun menjadi bersih kembali. Adapun apabila ia malah menambah dengan dosa-dosa lain, maka akan bertambah pulalah noktah-noktah hitam itu, sampai (jika tetap tidak taubat) benar-benar menutupi seluruh hatinya…” ( HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan ain-lain).
Oleh karena itu perintah, seruan dan anjuran untuk bertaubat ini, tersebar di banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung dan berjaya” (QS. An-Nuur: 31). Di dalam ayat lain: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan cara taubatan nashuha (taubat yang benar-benar murni dan tulus)…” (QS. At-Tahriim: 8).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali” (HR. Muslim).
Tentu masih banyak lagi ayat dan hadits lain yang semakna. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana cara bertaubat? Apa itu taubatan nashuha? Bagaimana taubat dan istighfar yang disamping menghapuskan dosa, menyucikan jiwa dan membersihkan hati, juga sekaligus benar-benar efektif untuk menutup jalan bagi terulangnya dosa-dosa itu lagi?
Karena tidak sedikit orang yang mengeluhkan kondisi diri dan hati mereka, serta menanyakan dan mempertanyakan, mengapa dosa-dosa masih saja selalu terulang lagi dan lagi? Padahal mereka merasa telah melakukan taubat darinya dan telah beristighfar sampai ratusan atau bahkan ribuan kali?.
Yang perlu diperhatikan dan diingat disini bahwa, hal terpenting dalam pelaksanaan taubat dan istighfar itu, adalah sikap hati yang benar-benar jujur dan sungguh-sungguh dalam melakukan taubatan nashuha. Dimana secara totalitas kembali kepada Allah Ta’ala dengan upaya sepenuhnya menjalankan syarat-syarat dan konsekuensi taubat.
Dan, umumnya faktor penyebab tidak atau kurang efektifnya taubat sebagai penutup pintu terulangnya dosa-dosa, adalah karena kurangnya kesungguhan dan sikap totalitas hati ini dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi dari syarat2 taubat yang telah disebutkan oleh para ulama. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa, syarat taubat itu ada tiga: menyesali dosa yang telah diperbuat, meninggalkannya, dan berazam (bertekad) tidak mengulanginya lagi di kemudian hari.
Nah, mungkin saja seseorang yang bertaubat telah merasa memenuhi ketiga syarat utama tersebut. Dan untuk membuktikan taubatnya, iapun telah memperbanyak istighfar, shalat, puasa, bacaan atau bahkan hafalan Al-Qur’an dan amal-amal saleh lainnya. Namun yang “aneh” mengapa semua itu seakan-akan tidak cukup mempan dan tidak efektif? Karena tidak lama berselang, ternyata dosa-dosa yang sama serasa begitu mudahnya kembali dan terulang lagi dan lagi? Ada apa gerangan? Apa yang salah atau kurang? Padahal ketiga syarat itu rasanya telah terpenuhi semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan barusan ini bagus. Karena upaya menjawabnya insya-allah akan menyingkap tabir “misteri”.
Ya. Sekali lagi apa yang salah dan yang kurang dari pemenuhan syarat taubat tersebut? Yang salah atau yang kurang adalah tingkat kesungguhan dan kejujuran serta kadar totalitas dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi setiap syarat. Benar, Setiap syarat dari syarat-syarat taubat itu memiliki tuntutan dan konsekuensi, yang mesti dipenuhi untuk menjadikan taubat benar-benar sebagai taubatan nashuha, yang pasti akan langsung terasa pengaruh besarnya dalam penghentian maksiat dan dosa, serta perubahan signifikannya dalam diri dan prilaku yang bersangkutan.
Tuntutan dan konsekuensi dari syarat pertama yang berupa penyesalan atas dosa yang telah diperbuat, adalah bahwa penyesalan itu harus benar-benar terjadi dan muncul dari kesadaran keimanan berupa rasa takut dan malu kepada Allah. Bukan hanya karena takut akan akibat buruknya di dunia saja misalnya, atau hanya disebabkan oleh rasa malu kepada masyarakat semata. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa rasa penyesalan itu haruslah minimal setara dengan tingkat dan kadar dosa, atau bahkan lebih tinggi lagi, asalkan tidak sampai berlebihan. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,“Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang duduk di bawah kaki bukit dan khawatir kalau-kalau bukit itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir (pendurhaka) maka dia melihat dosa-dosanya hanya seolah-olah seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya lalu dia usir dengan cara begini.” Abu Syihab berkata, “Maksudnya adalah dengan sekedar menggerakkan tangan di atas hidungnya.” … (lihatShahih Al-Bukhari)
Adapun tentang syarat kedua, yakni bahwa seorang yang taubat harus meninggalkan dosa yang telah atau sedang diperbuat, maka tuntutannya adalah harus bersemangat kuat dan bertekad bulat untuk benar-benar meninggalkan dosa dan maksiat itu. Jadi harus ada semangat kuat dan tekad bulat. Tidak cukup dengan sekadar keinginan begitu saja, apalagi jika hanya sebatas lintasan pikiran
Disamping itu, yang menjadi konsekuensi mendasar dari syarat kedua ini adalah, bahwa kejujuran tekad dalam meninggalkan suatu dosa juga harus dibuktikan dengan sebisanya meninggalkan, melepaskan, menjauhkan, atau membuang segala sesuatu, apapun bentuknya, yang berhubungan atau yang menyambungkan dengan dosa itu. Karena jika tidak, maka hal itupun akan menjadi bagian kendala penting bagi efektifnya taubat yang dilakukan.
Sedangkan tuntutan dan konsekuensi dari syarat ketiga yang berupa azam (tekad kuat) untuk tidak mengulangi lagi dosa yang sama, adalah dengan upaya riil seoptimal mungkin untuk sebisanya menutup setiap pintu akses bagi kemungkinan terulangnya kembali dosa dan maksiat tersebut di masa mendatang. Nah, tidak sedikit kendala utama taubat itu juga berasal dari kekurangan dan kelemahan dalam memenuhi syarat ketiga ini. Dan bentuknya minimal dua. Pertama, kurang kuatnya keinginan sehingga tidak sampai pada derajat azam yang berarti semangat kuat dan tekad bulat. Dan kedua, ketidak seriusan atau kekurang sungguhan atau juga kelemahan dalam upaya menutup pintu akses dan peluang jalan, yang bisa memungkinkan terulangnya dosa-dosa itu lagi!
Akhirnya, mari selalu membersihkan hati dan menyucikan jiwa dengan taubatan nashuha. Syaratnya, pertama mari jujur menyesali dosa-dosa karena takut kepada Allah Ta’ala. Kedua, tinggalkanlah maksiat, buanglah dan jauhkanlah segala yang terkait dengannya. Ketiga, berazam benar-benar untuk tidak mengulangi lagi dengan bukti sebisanya selalu berupaya menutup akses untuk kembali kepada dosa-dosa itu lagi, dan lagi. Keempat, juga jangan lupa istighfar sebanyak2nya, dan kelima, tak henti mengistimewakan amal selagi bisa.SEMOGA!
(Manhajuna/GAA)