Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc.
» انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ «
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).
Saudaraku,
Ada kalanya semangat kita memudar untuk meraih surga, saat kita letih dan lelah dalam mendaki puncak ubudiyah. Ada saatnya kita ingin lebih lama beristirahat dari medan perjuangan, saat orang-orang yang satu perjuangan mulai menyerah dengan keadaan. Ada kalanya kita jenuh dengan pengorbanan yang kita berikan di jalan Allah, saat perjuangan belum menampakkan hasil yang kita rindukan.
Bila itu yang kita rasakan saudaraku,
Jangan biarkan semangat kita menjadi luntur untuk meraih bidadari di surga kelak. Jangan kita terlena dengan bisikan setan yang ingin menjauhkan kita dari kafilah para pembutu surga. Jangan kita terpedaya dengan bisikan syahwat kita untuk berhenti berjuang di jalan-Nya.
Beristighfarlah kepada Allah. Periksa kembali niatan kita dalam mengabdi dan berjuang di jalan-Nya. Bercerminlah dari orang-orang shalih terdahulu; sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, yang tidak pernah merasa gelisah dalam hidup mereka. Kegelisahan hati mereka justru muncul pada saat semangat mereka mengejar surga idaman menjadi terkubur.
Saudaraku,
Pernahkah kita membaca lembaran-lembaran hidup Abu Thalhah r.a al-Anshari? Mari kita belajar dari semangat sahabat agung ini. Abu Thalhah, begitulah sahabat Nabi s.a.w ini disebut dalam buku-buku sejarah dan tafsir. Bahkan nama aslinya; Zaid bin Sahl an-Najari nyaris tak terdengar di telinga kita.
Sahabat yang selalu berpenampilan sederhana dan bersahaja. Dia termasuk sahabat yang tidak memiliki fisik yang istimewa. Penampilannya sangat biasa. Kulitnya agak gelap dengan perawakan sedang saja. Walaupun namanya tidak popular, tapi ternyata menyimpan nilai-nilai perjuangan yang diabadikan harum oleh sejarah. Karena setiap kali kita mambaca ayat, “Berangkatlah (berjihad) dengan ringan ataupun berat hati,” dalam surat at-Taubah ayat: 41, namanya sering disebut oleh para ulama tafsir untuk menjadi sebuah contoh yang mengagumkan dalam menerapkan dan merealisasikan ayat tersebut.
Saudaraku,
Keberanian dan kepahlawanannya memperjuangkan Islam serta kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w, membuatnya tidak pernah absen dari jihad fi sabilillah. Sejak perang Badar hingga Rasulullah s.a.w wafat. Kisah kepahlawanannya pada perang Uhud tercacat indah dalam sejarah. Dia termasuk salah satu pasukan elit pemanah yang terkenal. Di mana busur-busur panah yang dilesakkan ke arah musuh, tak akan meleset dan bisa dipastikan mengenai sasarannya.
Ketika pasukan kuffar Quraisy mampu melumpuhkan serangan kaum muslimin hingga mereka kocar kacir, Abu Thalhah r.a justru mencari Rasulullah s.a.w. Karena dia tahu kondisinya sangat tidak menguntungkan. Dia amat mengkhawatirkan keadaan Rasulullah s.a.w.
Setelah dia berhasil mendekati Rasulullah s.a.w, dia berdiri di hadapan beliau untuk membentengi kekasih Allah s.w.t yang sedang diserbu anak panah dan tombak. Seolah-olah semua anak panah melesat mencari tubuh Nabi s.a.w.
“Ya Rasulallah, biarlah leherku terlebih dahulu sebelum panah-panah itu mengenai lehermu, dan nyawaku dulu sebelum nyawamu”. Kata Abu Thalhah sambil terus melesatkan anak panah dari busurnya dan sambil membusungkan dadanya menyambut anak panah dan tombak yang datang.
Keberanian yang mengagumkan. Pengorbanan yang luar biasa, atas nama cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Wajarlah jika Rasulullah dengan bangga berucap: “Suara Abu Thalhah dipasukan ini lebih menakutkan dari seratus orang laki-laki”.
Allahu Akbar…suaranya saja lebih menggetarkan dari seratus orang. Sungguh suatu pujian yang tulus, mengandung makna yang sangat dalam. Menunjukkan teramat mahalnya seorang Abu Thalhah karena keberaniannya dan kepiawiannya di kancah jihad fi sabilillah.
Dalam perang Hunain 8 H, yang juga membuat kaum muslimin tunggang langgang, lagi-lagi Abu Thalhah menunjukkan kelasnya sebagai mujahid pilihan. Kepiawian yang terbungkus dalam keberanian membuatnya dapat membunuh dua puluh orang musuh sekaligus. Allahu Akbar benar-benar mujahid sejati.
Saudaraku,
Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Abu Thalhah berpuasa Sunnah hampir sepanjang hari selama tiga puluh. Sungguh kecintaan jihad yang dipadukan dengan kecintaannya kepada ibadah.
Lebih dari itu Abu Thalhah juga dikenal dengan kedermawanannya. Ketika ayat 92 dari surah Ali Imran diturunkan, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”.
Maka Abu Thalhah bergegas menghadap Rasulullah untuk menginfakkan harta yang paling dicintainya, yaitu kebun kurma yang bernama Bairuha, yang berada di sebelah masjid Nabawi. Di mana Nabi s.a.w biasa berteduh di bawah rimbunan pepohonannya dan minum dari airnya yang jernih.
Saudaraku,
Sepeninggal Rasulullah s.a.w, ternyata semangat jihadnya tak pernah padam. Bahkan kerinduannya untuk meraih syahadah semakin menggelora memenuhi relung hatinya. Walau usia mulai merambat pelan namun pasti menuju senja. Semangat yang seakan tak memudar. Tak berhenti berjihad walau pergolakan suasana datang silih berganti. Jihad tetap dilanjutkan sampai pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Pada suatu hari Utsman bin Affan r.a mengumumkan akan memberangkatkan pasukan untuk berjihad dengan menyeberangi lautan. Abu Thalhah r.a kala itu sedang asyik menikmati ayat per ayat dari surah at-Taubah. Hingga sampailah dia pada ayat, “Berangkatlah berjihad dalam keadaan ringan ataupun berat hati”. Ayat ke 41.
Abu Thalhah r.a sudah mulai menginjak usia tujuh puluh tahun. Setelah mentadaburi ayat ini ia berjalan pelan mencari anak-anaknya. Dia ingin menyampaiakan suatu perasaan yang hingga usia senja ini tidak pernah padam. Ingin mati syahid.
“Wahai anak-anakku, aku melihat bahwa Tuhanku memerintahkan aku untuk berangkat berjihad. Baik masa aku muda dahulu maupun sudah tua seperti sekarang ini. Maka persiapkanlah perbekalan untukku agar aku bisa mengikuti jihad.”
Anak-anaknya berkata: “Ayah telah berjihad dalam rentang waktu yang lama. Berjihad bersama Nabi hingga beliau wafat. Berjihad bersama Abu Bakar dan Umar hingga keduanya dipanggil Allah. Maka biarlah kami saja yang berangkat jihad menggantikanmu.”
“Ambilkan persiapan perangku”, kata Abu Thalhah dengan nada meninggi. Akhirnya tiada pilihan lain bagi anak-anaknya kecuali mengambilkan panah dan kudanya. Diapun menaiki kudanya dengan panah menggantung dibelakang punggungnya. Tentunya dia sudah tidak setegap dulu. Saat ini duduk diatas kuda pun sudah tidak bisa tegak, tetapi semangat meraih syahidnya tetap tegap seperti beberapa puluh tahun yang silam.
Pasukan diberangkatkan menyeberangi lautan. Dan ternyata Allah berkenan mengabulkan permohonannya. Dia meraih syahadah, ketika kapal itu berada di tengah lautan. Pasukan kaum muslimin yang tengah mengarungi lautan luas itu belum melihat daratan untuk memakamkan jasad Abu Thalhah.
Kapal terus berlayar, sudah berhari-hari. Namun tak kunjung tampak daratan. Baru pada hari kesembilan daratan mulai terlihat oleh mata. Ternyata dalam hitungan hari kesembilan, jasad Abu Thalhah belum membusuk sama sekali. Tidak ada yang berubah seperti layaknya mayat biasa. Karena ini adalah kematian termulia dan bukan kematian biasa.
Di daratan pulau itulah jenazah Abu Thalhah dimakamkan. Mujahid agung ini tidak dimakamkan di taman makam pahlawan dan tidak diadakan acara pemakaman khusus. Tetapi ia dikuburkan di jazirah yang tidak diketahui namanya. Orang tidak mengenal jazirah itu, sebagaimana orang juga tidak mengenal namanya.
Saudaraku,
Ada beberapa buah nasihat dan pelajaran berharga yang dapat kira petik dari perjalanan hidup Abu Thalhah:
Abu Thalhah adalah cermin kehidupan kita, yang barangkali kita masih lebih beruntung karena kita masih muda dan kuat. Tetapi Abu Thalhah ingin menyampaikan pesannya kepada kita, generasi sesudahnya bahwa perjuangan meraih surga dan jihad di jalan-Nya tak mengenal usia.
Berjuang dengan orang-orang besar bukan berarti kita akan menjadi besar seperti mereka yang besar. Justru di sinilah tersimpan keikhlasan sejati. Di saat Abu Thalhah berjuang dengan Rasulullah s.a.w, tak sekalipun dia absen dari jihad. Kemudian dilanjutkan jihad pada masa Abu Bakar dan Umar. Tapi Abu Thalhah harus mengakhiri hidupnya di sebuah jazirah yang jauh dari kenangan manusia. Bahkan namanyapun tidak seharum nama-nama mujahid lain seperti Khalid bin Walid misalnya.
Perjuangan dan ibadah tidak mengenal usia. Maka perjuangan ini tak boleh dihentikan oleh siapapun, apapun dan keadaan yang bagaimanapun jua. Dan tentunya tiada pension dalam perjuangan dan pengorbanan menggapai surga.
Dan karena jihad harus diukir diatas keikhlasan, maka jihad harus dijauhkan dari segala warna keterjerumusan, dikarenakan kesenangan sesaat berupa pujian manusia dan kenangan sejarah.
Popularitas tidak dilarang, tapi yang dilarang jika hal tersebut menjadi tujuan utama yang akan menutupi keikhlasan kita. Wallahu A’lam bishawab.
Saudaraku,
Mari kita pupuk semangat kita dalam berubudiyah, berjuang dan berkorban di jalan-Nya, walau pun tidak sekuat semangat Abu Thalhah, mudah-mudahan semangatnya dapat kita warisi dari sahabat agung ini.
Bagi yang merasa lelah dan letih dalam berjuang. Bagi yang semangatnya memudar menggapai surga. Bagi yang mengharapkan pamrih duniawi dari perjuangan dan dakwahnya. Bagi yang mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Belajarlah dari sosok Abu Thalhah. Yang mengirim pesan kepada kita, “Usia boleh uzur, tapi semangat berjuang tak boleh luntur. Wallahu A’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)