Saya menikah dengan duda yang memiliki anak laki-laki. Ia sekarang sudah berumur 12 tahun. Bagaimanakah hubungan saya dengannya? Apakah saya harus menutup aurat di depannya? Sejak usia berapakah anak harus tidur terpisah dari orangtua? Sebab, suami saya tampaknya kasihan bila anak laki-lakinya harus tidur sendirian. Saya dan suami hanya bertemu anak setiap 2 minggu sekali karena ia tinggal dengan orangtua suami. Padahal saya risih kalau harus tidur sekamar dengan anak tiri saya. Apalagi ia sudah beranjak remaja.
Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh. Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain.
Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
- Kebolehan berkhalwat (berduaan).
- Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
- Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Anak tiri Termasuk Mahram
Dalam surat An-nur Allah Subhanahu Wata`ala menyebutkan daftar orang-orang yang menjadi mahram satu per satu. Dan salah satunya adalah hubungan anak dan ibu tirinya dengan sebutan putera suami.
Maksudnya seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya oleh anak laki-laki suaminya atau anak tirinya. Sebab anak suami meksi bukan lahir dari kandungan sendiri, dengan adanya pernikahan menjadi anak sendiri secara hukum aurat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Maka meski ada rasa risih, namun secara syar`i hal itu tidak berdosa, asalkan yang boleh terlihat sebatas yang wajar seperti tangan, kaki dan kepala. Sedangkan yang lebih jauh dari itu, hukumnya tetap haram.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Pusat Konsultasi Syari’ah