Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kajian / Antara Kecerdasan dan Akal
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Antara Kecerdasan dan Akal

Oleh: Dr. Muhammad Ratib An-Nablusi
Alih bahasa: Kang Aher

Sebuah pertanyaan yang cukup penting: Bagaimana memadukan antara kekuatan akal dan perbuatan maksiat?
Ketika engkau mendapati seorang muslim yang menyabet gelar tinggi, tapi ternyata ia tidak shalat, atau masih durhaka kepada kedua orang tuanya, atau minum khamr, atau buruk akhlaknya, atau masih melakukan dosa-dosa besar lainnya.

Fenomena seperti ini diurai oleh sebagian ulama bahwa memang terdapat perbedaan antara “akal” (al-aql) dan “kecerdasan” (adz-dzaka’).

Kecerdasan itu berkaitan dengan pengetahuan mengenai hal-hal yang bersifat parsial (juz’iyyat). Sedangkan akal itu berkaitan dengan pengetahuan mengenai hal-hal yang bersifat global (kulliyyat). Begitu juga, kecerdasan itu berhubungan dengan pemahaman dan kepandaian mengenai urusan-urusan dunia saja. Sedangkan akal itu bertalian dengan kehidupan hati dan iman serta pemahaman tentang hakikat akhirat. Orang yang mengenal Allah Shubhanahu wa Ta’ala, memahami rahasia hidup, mengetahui misi manusia di dunia ini, serta beribadah kepada Rabb dengan sebenar-benarnya, maka ia adalah “orang yang berakal” (al-‘aqil).

Adapun orang yang spesialis dalam bidang ilmu tertentu, ahli dan menonjol di bidangnya, maka ia disebut sebagai “orang yang cerdas” atau “orang yang pintar” (adz-dzakiy). Misalnya, orang itu cerdas dalam bidang kedokteran, atau fisika, atau astronomi dan seterusnya. Boleh jadi sebagian dari orang-orang yang jahat itu berada pada tingkat kecerdasan yang paling tinggi. Karena mereka dapat membuat rancangan yang luar biasa berkenaan dengan perbuatan jahat mereka. Apakah mereka itu orang-orang yang berakal? Apakah mereka orang-orang yang waras? Jawabnya: Tidak! Maka akal yang berbalut iman hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman. “Yang paling kuat akalnya di antara kalian adalah yang paling dalam cintanya kepada Allah.”

Atas karunia dari Allah, kaum beriman telah dimuliakan oleh Allah menjadi manusia yang berakal di antara umat manusia lainnya di setiap waktu dan tempat. Namun, kita tidak memungkiri bahwa akal mereka tidaklah berada dalam tingkatan yang sama. Di antara mereka ada yang memiliki akal dalam tingkatan yang tinggi, ada yang menengah dan ada yang rendah. Berbeda-beda.

Jika masing-masing di antara kita ingin mengetahui tingkatan akalnya, apakah tinggi atau rendah, maka hendaklah ia melihat kadar ilmu dan amalnya, niat dan akhlaknya. Siapa yang dapat menggapai puncak yang tinggi dalam hal ilmu yang bermanfaat, dalam beramal shalih, serta menyebarkan kebaikan dan dakwah, maka sesungguhnya ia adalah “orang yang berakal sempurna” (al-‘aqil al-kamil). Sebaliknya, orang yang sudah puas dengan hal yang sedikit darinya, cukup dengan tingkatan yang rendah, tidak ambil peduli apa yang hilang darinya, bahkan bersedih pun tidak, maka hal itu menjadi bukti akan kurang kesempurnaan akalnya, meskipun ia mengklaim dan berpenampilan laksana orang yang sempurna akalnya.

Oleh karena itu, Allah Shubhanahu wa Ta’ala mensifati orang-orang kafir yang tidak mau mendengar kebenaran, apalagi mengikutinya, sebagai orang yang tidak memiliki akal. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak berakal.” (Al-Anfal: 22). “Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau berakal? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.” (Al-Furqan: 44).
Meski mereka itu orang-orang yang sangat cerdas dan pintar dalam urusan kehidupan dunia, seperti yang kita ketahui bersama, namun Allah Ta’ala menafikan “sifat berakal” dari diri mereka.

Setiap muslim dapat terus menyempurnakan akal imannya. Setiap kali ia merasakan sesuatu yang kurang, maka ia dapat segera menambalnya dengan:
– Menambah ilmu dan pengetahuan.
– Selalu menjaga shalat lima waktu tepat pada waktunya dengan khusyu’ dan thuma’ninah.
– Banyak beristighfar dan bertaubat dari segala bentuk dosa dan kemaksiatan, baik yang ia sadari maupun yang tidak ia ketahui.
– Terus berkeinginan kuat untuk menambah amal shalih, seperti shalat-shalat sunnah, puasa, sekedah, serta memperbanyak dzikir.

(Manhajuna/IAN)

(Visited 458 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Hikmah Istighfar. Mari Semangat Ber-Istighfar!

Bersama: Buya (Dr.) Ahmad Asri Lubis (غفر الله له ولوالديه وللمؤنين) Seorang ‘belia sholeh’ berujar, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *