Alih Bahasa: Arwani Amin Supar
Seiring dengan terjadinya wabah corona yang mendunia, dengan segala pengaruh positif dan negatifnya terhadap kaum muslimin dalam berbagai sisi, saya tertegun merenungkan firman Allah swt yang mengisahkan keadaan tiga orang yang absen dari perang Tabuk, dan bagaimana perasan mereka pada hari terakhir dari lima puluh hari masa lock down psikologis yang mereka jalani.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
حَتَّىٰۤ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ
“… Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas…” (QS. At-Taubah/9: 118)
Seluruh bumi yang sedemikian besar, luas dan lapang, terasa sempit bagi orang-orang beriman yang jujur itu.
Kemudian saya baca lanjutannya:
وَضَاقَتۡ عَلَیۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ
“…dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka…”
Hingga jiwa mereka-pun menjadi sangat sempit dan pilu karena merasakan buruknya dosa dan maksiat yang telah mereka lakukan.
Kemudian saya baca makna agung berikut ini pada lanjutannya:
وَظَنُّوۤا۟ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّاۤ إِلَیۡهِ
“…serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja…”
Yakni, mereka telah sampai kepada satu titik dimana harapan terhadap sebab-sebab yang bersifat materi dan pertolongan manusia telah sirna. Semuanya tidak bisa memberi pengaruh apa-apa. Kesedihan dan kegelisahan mereka tidak mungkin hilang kecuali melaui jalan Allah satu-satunya.
ثُمَّ تَابَ عَلَیۡهِمۡ لِیَتُوبُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ
“… kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
Inilah mula kesenangan…
Berakhirnya bala’…
Dan datangnya nikmat…
Dan ini pula keadaan orang-orang mukmin yang jujur pada saat sekarang ini. Mereka menyadari bahwa penyebab terjadinya setiap bala’ adalah dosa-dosa mereka, baik yang langsung maupun tidak langsung, yang mereka ketahui atau yang tidak mereka sadari, walaupun mereka mengira telah mencapai tingkat ketakwaan dan amal shalih yang tinggi.
Jadi…
Solusi kita ada dalam taubatan-nasuha (taubat yang tulus) dan kembali secara jujur dan sempurna kepada Allah.
Solusi kita ada dalam iman dan ibadah kita, akhlak dan muamalah kita, pendengaran, penglihatan dan perbuatan anggota tubuh kita, baik dalam keadaan sembunyi maupun dalam terang-terangan.
Syaikhul Islam -rahimahullah- mengatakan:
“Apabila seseorang mengakui bahwa semua musibah yang menimpanya disebabkan oleh dosanya, maka ia akan sibuk bertaubat dan beristighfar, bukan sibuk mencela orang lain, mencibir dan mencaci-makinya
Dan jika engkau melihat orang yang mencaci-maki orang lain bila tersakiti, dan tidak mengalamatkan celaan kepada dirinya sendiri serta tidak beristighfar, maka ketahuilah bahwa musibahnya itu adalah musibah yang sesungguhnya
Jika ia bertaubat dan beristighfar, dan mengatakan: “Ini karena dosa-dosaku, maka musibah itu menjadi nikmat baginya”
Ya Rabb…
Ampunilah kami…
Terimalah taubat kami…
Sayangilah kami…
Segerakanlah terkabulnya doa kami, kucuran rahmat untuk kami, dan hilangnya wabah dari kami….
Ya Arhamar-Rahimin…!
(Manhajuna/IAN)