Oleh: DR. Hakimuddin Salim Lc. MA.
“Demi jiwa dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Alloh ilhamkan padanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah siapa yang mensucikannya. Dan merugilah siapa yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams: 7-10).
Dari hebohnya kasus “Predator Seks” asal Indonesia di Manchester akhir-akhir ini, banyak teman yang bertanya soal penyimpangan seksual (orientasi dan perilaku), apakah itu murni karena faktor bawaan dari lahir atau karena faktor lain?
Saya tidak akan berbicara secara khusus tentang kasus tersebut, karena itu membutuhkan pendalaman kronologi yang komprehensif. Pun bukan domain saya untuk berbicara detail dari sisi psikologi dan seksologi.
Di saat para pakar berdebat soal faktor penyebab penyimpangan (apakah genetik dan hormonal ansich, atau karena pola pengasuhan, atau karena penularan), saya berpendapat bahwa semua faktor itu mempunyai andil, yang akan saya uraikan secara singkat dari kacamata Ushūl Tarbiyah Islāmiyah berikut ini:
(1) Faktor Bawaan dari Lahir
Sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat di atas, setiap individu manusia dilahirkan dengan dua potensi utama: Fujūr (kejahatan) dan Taqwā (ketakwaan). Tentu dengan berbagai pembagian dan turunannya.
Potensi-potensi itu bisa jadi bukan hanya ada dalam Nafsiyah (kejiwaan) manusia. Tetapi pada individu tertentu, sangat mungkin itu wujud secara genetik dan hormonal. Seperti ditemukannya jenis Kromosom Xq-28 yang diduga banyak dimiliki oleh kaum Gay.
Namun itu baru potensi (baca: modal). Apakah kedua potensi tersebut akan menjelma menjadi sebuah penyimpangan di kemudian hari? Termasuk penyimpangan seksual? Itu akan sangat tergantung dengan faktor lainnya.
Contoh kasus: soal individu yang terlahir dengan hormon seksual yang berlebih. Ia akan baik-baik saja jika faktor-faktor lain tidak menyuburkannya menjadi sebuah penyimpangan. Faktor-faktor itu bisa berupa asupan makanan, pola pengasuhan, nilai agama yang tertanam, dan pengaruh lingkungan. Bahkan jika bisa men-taujih-nya, “kelainan” itu bisa berubah menjadi sesuatu yang positif.
Contoh lain adalah soal Liwāth dan Sihāq (homosexual). Termasuk soal Mukhonnats (banci). Sudah maklum bahwa dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan) terkandung dua sifat sekaligus: Rujulah (maskulinitas) dan Unutsah (femininitas). Tentu dengan prosentase besar-kecil yang berbeda-beda.
Nah, kedua potensi tersebut akankah menjelma menjadi sebuah penyimpangan? Seperti menjadi gay, lesbi, perilaku tomboi, dan kebancian? Itu akan sangat tergantung dengan faktor-faktor yang lain, apakah akan menyuburkannya atau merehabilitasinya.
Jadi, kalaupun faktor bawaan dari lahir ini memang ada, itu tidak dominan pengaruhnya pada penyimpangan seksual. Bahkan Prof. George Rice dan Prof. Alan Sanders (1998) menegaskan, prosentasenya paling banyak hanya 5%. Sisanya 95% ditentukan oleh faktor lain. Dari sini, siapa pun tidak bisa ber-apologi bahwa penyimpangan itu terjadi karena takdir.
(2) Faktor Pola Pengasuhan
Saya meyakini ini adalah faktor terbesar dalam sebuah penyimpangan seksual, baik orientasi atau perilaku. Karena padanya kedua potensi (Fujūr dan Taqwā) akan berkembang. Apakah potensi Taqwā tersuburkan dan potensi Fujūr terkendalikan, atau sebaliknya.
Maka dari itu, dalam kacamata Tarbiyah Jinsiyyah Islamiyah (Pendidikan Seksual Islami), Marhalah Thufulah (usia kanak-kanak) dan Marhalah Murohaqoh wal Bulugh (usia pubertas dan awal dewasa) adalah Marhalah Numuw (tahap kembang) yang paling krusial. Karena ini adalah tahap pengasuhan yang utama.
Sehingga kalau kita gali hadits-hadits Rasulullah ‘alahish sholatu wassalam, akan kita dapatkan berbagai arahan (perintah dan larangan) yang cukup banyak terkait dengan tahap kembang ini.
Seperti soal larangan memakai kain sutra bagi lelaki dewasa. Sebagian Ulama berpendapat ini penting untuk diberlakukan untuk anak-anak juga. Karena ini bukan hanya soal larangan bermewah-mewah atau Tasyabbuh (menyerupai) perempuan. Tetapi secara tarbawi, ini adalah pola asuh preventif, agar sutra yang sangat halus itu tidak mewariskan kepada anak lelaki sifat-sifat feminin (yang negatif), seperti lembek, terlalu gemulai, terlalu perasa dan sebagainya. Dimana seharusnya yang tertanam kuat padanya adalah karakter Rujūlah (kelelakian).
Seperti juga riwayat tentang Tsaqbul Udzunain (menindik kuping) bagi anak perempuan, yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Maudūd. Ini secara tarbawi, sebenarnya sebuah upaya menanamkan identitas Unūtsah (feminin) pada diri anak perempuan, yang tidak hanya bermanfaat pada pribadi sang anak, tetapi juga menanamkan kesadaran pada orang tua bahwa anaknya adalah perempuan, hingga tidak salah dalam pola asuh. Mengingat pada anak usia balita, penampakan identitas gender itu belum terlalu kentara.
Juga Taujihāt Nabawiyah (Arahan Nabawi) terkait pengasuhan yang lain seperti: mengajari Ādābul Isti’dzan (minta izin saat masuk kamar orang tua), memisahkan tempat tidur anak lelaki dan perempuan, tetap menutup aurat utama meski di depan sesama jenis, mainan boneka untuk anak perempuan, hingga mengajarkan memanah, berenang dan berkuda pada anak laki-laki.
Tak lupa menanamkan sifat-sifat terpuji seperti: Al-Hayā’ (rasa malu), Al-‘Iffah (kehormatan diri) Al-Hisymah (keterjagaan), Al-Wafaa (kesetiaan) dan Al-Ghiroh (rasa cemburu). Juga menjauhkan anak dari sifat-sifat tercela khususnya: Al-Kadzb (bohong), Al-Khiyānah (khianat) dan Ad-Diyātsah (tak bercemburu).
Itu pada Marhalah Thufūlah (masa kanak-kanak). Adapun pada Marhalah Murāhaqah war Rusyd (masa pubertas dan awal dewasa), penting untuk menanamkan beberapa hal seperti: Ghoddhul Bashor (menundukkan pandangan kepada lawan jenis), Man’ul Ikhtilāth wal Khalwāt (melarang campur baur dan berduaan dengan lawan jenis), dan mengkondisikan mereka untuk siap menikah (baik secara keilmuan, psikologis atau finansial).
Point yang terakhir itu sangat penting. Karena di antara problem utama tarbiyah kita hari ini adalah An-Nudhūj Al-Mubakkir (dewasa dini). Kematangan biologis anak-anak kita, tidak dibarengi dengan kematangan ilmu, psikis, emosional dan finansial. Maka wajar jika banyak kasus seksual antar remaja terjadi.
(3) Faktor Lingkungan & Pergaulan
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pernah menegaskan: “Al-mar’u ‘alā dīni kholīlihi” (seseorang itu akan sangat dipengaruhi oleh agama teman dekatnya). Potongan Hadits riwayat Imam Ahmad itu, jelas menekankan akan pentingnya faktor pergaulan. Termasuk pengaruhnya dalam penyimpangan seksual.
Ibnul Utsaimin dalam Qoulul Mufīd, mengomentari kisah wafatnya Abdul Muthalib dalam keadaan kafir, karena disebabkan oleh pengaruh pertemanan dengan para pembesar Quraisy yang menjerumuskan.
Bahkan dalam Al-Muqoddimah, Ibnu Khaldun menegaskan: “Al-Insānu ibnu bi’atihi” (manusia itu adalah anak dari lingkungan yang melingkupinya). Yang pada era milenial ini, lingkungan itu mencakup: bacaan, audio dan tontonan.
Ibarat cocok tanam, lingkungan dan pergaulan adalah iklim dan cuaca yang menyuburkan bagi faktor bawaan dari lahir (bibit) dan masa pengasuhan yang problematik (penyemaian).
Bahkan, saat kedua faktor pendahulu itu aman pun, jika faktor yang ketiga ini bermasalah, maka penyimpangan akan bisa terjadi. Disinilah sebenarnya proses penularan penyimpangan seksual sering berlangsung. Karena buruknya akhlaq itu menular (Sū’ul khuluqi yu’dī). Apalagi jika pengaruh buruk itu didukung oleh dana besar dan gerakan yang terstruktur.
Penularan disini jangan dibayangkan harus melalui virus atau bakteri. Tetapi penularan orientasi dan perilaku yang menyimpang itu bisa terjadi ketika si individu pernah menjadi objek penyimpangan (balas dendam atau ketagihan). Bisa juga karena pernah melihatnya, lalu timbul rasa ingin tahu, ingin mencoba dan merasakan sensasinya.
Faktor pergaulan dan lingkungan ini menjadi lebih besar pengaruhnya pada anak saat ia berada pada Marhalah Murāhaqah (masa pubertas), dimana pada usia ini anak mulai menjauh dari lingkungan keluarga inti, baik karena jarak geografis (karena kuliah keluar kota misalnya), karena karetakan rumah tangga, atau karena problem kedekatan dengan orang tua.
Disinilah, orang tua bukan hanya berkewajiban memastikan bahwa teman dan lingkungan yang mengitari anaknya aman, tetapi juga sangat penting membangun komunikasi intim dengan sang anak, hingga ketika ia mengalami masalah (termasuk seksual), ia mau terbuka kepada pihak yang paling tepat (orang tua).
Dalam hal ini, kisah kedekatan emosional antara Rasulullah dan putrinya Fathimah adalah teladan utama. Dimana saat Fathimah sudah menikah pun, ia tak sungkan “curhat” permasalahan rumah tangganya kepada Sang Ayah.
(4) Faktor Imunitas Diri
Faktor bawaan dari lahir dan faktor lingkungan sosial seperti tersebut di atas, sebenarnya bisa diatasi jika individu tersebut mempunyai Mannā’ah Ruhiyah (imunitas spiritual) yang kuat. Yang dalam surat Asy-Syams di atas bisa dimasukkan dalam golongan “Man zakkāhā” (orang yang mensucikan jiwanya).
Ini adalah hasil dari proses pengasuhan yang baik dan tertanamnya nilai keagamaan yang kuat. Individu tersebut akan “auto reject” atau “auto resistance” saat terpapar pengaruh dan godaan penyimpangan dari luar. Bahkan jika ia “bermasalah” secara genetik dan hormonal sekalipun.
Kesadarannya akan Adhrārul Ma’āshy (bahaya maksiat) dunia dan akhirat, dan pengetahuannya akan ‘Uqūbāt Inhirāfāt Jinsiyyah (hukuman syar’i atas penyimpangan seksual), akan menjadi tameng yang kokoh baginya.
Apalagi jika dibentengi dengan Ibadah Mahdhoh (sembahyang ritual) yang kuat, khususnya Puasa. Sebagaimana Taujih Nabawi bagi para pemuda untuk memperbanyak puasa, saat belum mampu menikah. Karena puasa itu mengandung Al-Wijaa’ (obat pereda).
Namun sebaliknya, jika individu tersebut tidak mempunyai imunitas diri yang kuat, maka saat ia berada dalam lingkungan dan pergaulan yang kotor, ia pun menjadi kotor atau tambah kotor. Sekalipun awalnya bersih. Yang dalam Surat Asy-Syams di atas bisa termasuk dalam golongan “Man dassāhā” (orang yang mengotori jiwanya).
Ia pun menjelma menjadi hamba syahwat-nya. Awalnya mengumbar pandangan dan lintasan pikiran. Lalu tergerak melakukan Muqoddimat Zina (pendahuluan zina). Hingga terjadilah apa yang terjadi.
Zina pun berkembang ke banyak varian seperti: Ityānul Haidh (menzinahi perempuan haidh), Ityānul Dubur (menzinahi anus), Ityānul Mahārim (incest), Az-Zinā Al-Jamā’i (sex party) dan Tabādul Azwāj (swap).
Saat bosan berzina (heteroseks), ia pun ingin mencoba sensasi baru dengan seks sesama jenis, baik dengan Liwāth (homoseks) atau Sihāq (lesbi).
Ketika sudah jenuh melakukan sex dengan manusia dewasa, ia pun ingin mencoba sensasi memperkosa anak kecil (Al-Ghilmāniyah atau Pedofil).
Tatkala sudah biasa berhubungan seksual dengan manusia hidup, ia pun terdorong untuk mencoba pengalaman baru yang menegangkan dengan menyetubuhi mayat (Ityānul Mayyitah).
Lalu, di waktu objek-objek seksual itu tak tersedia di hadapannya, ia pun mencoba fantasi dan sensasi baru dengan memperkosa binatang (Ityānul Bahā’im).
Begitulah seterusnya. Khuthuwāt Syaithān (langkah-langkah setan) itu terus menyeretnya dari kubang kekejian yang satu ke kubang kekejian yang lain. Hingga ia terjerembab dalam kekejian yang paling keji, yang seluruh penduduk langit dan bumi begidik melihatnya.
Di zaman yang semakin aneh ini, semoga Alloh Ta’ala selalu menjaga kita dan anak-anak kita, serta seluruh anak-anak kaum Muslimin dari segala bentuk penyimpangan seksual yang terkutuk. Wal ‘iyādzu billāh.
Rumah Sakit Uhud, 14/5/1441
Sumber: FB Hakimuddin Salim
(Manhajuna/IAN)