Oleh: Ustadz Hidayat Mustafid
Hak-Hak Isteri
Kalau dilihat dari satu sudut hak-hak suami yang wajib dilakukan oleh sang isteri seakan-akan kaum wanita menjadi pihak yang dibebani oleh tuntutan-tuntutan yang menutup kesempatan untuk bersenang-senang dengan kebebasan menurut seleranya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang hanya melihat atau mempertahankan hak-haknya sendiri tanpa mempertimbangkan hak orang lain. Agar seorang suami tidak merasa menjadi superman dengan hak-hak yang disebutkan di atas maka setiap suami wajib mengetahui hak-hak isteri yang wajib dipenuhinya. Di antara hak-hak seorang isteri yang wajib dipenuhi oleh sang suami sebagai berikut:
a) Hak Menerima Mahar
Hak utama isteri yang wajib dipenuhi suami adalah memberikan mahar atau mas kawin yang disepakati sebagaimana firman Allah swt. { وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً } artinya, “Berikanlah kepada para isteri mas kawin mereka.” Oleh karenanya, isteri boleh menolak digauli sebelum dibayar penuh maharnya. Kata “nihlah” dalam ayat tersebut dimaknai “faridhah”, artinya sebagai kewajiban.
Mahar tersebut merupakan hak penuh bagi isteri; tidak dapat diganggu gugat dan tidak halal dibagi-bagi kecuali dengan seizinnya. Oleh karenanya, sang suami tidak boleh menggunakan harta maskawin tersebut tanpa seizing dan kerelaan isteri. Allah swt. menegaskan hal ini dalam firmanNya:
{ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً }
“Dan tidak halal bagi kalian untuk mengambil sedikit pun dari apa-apa (mahar) yang kalian berikan kepada mereka (para isteri)“
b) Hak Mendapatkan Nafkah
Setelah usai diakadkan antara dua mempelai dan sah menjadi sepasang suami-isteri, yang menjadi tanggung jawab seorang suami sepanjang hidup berkeluarga adalah member nafkah kepada isteri sesuai kemampuan dan tanpa dilalaikan. Allah swt. menegaskan dalam firmanNya:
{ لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ }
“(Seorang suami) yang memiliki keleluasan (harta) hendaknya memberi nafkah dari keleluasaannya dan yang mendapat kesulitan dalam rizkinya maka ia hendaknya memberi nafkah dari apa-apa yang diberikan Allah kepadanya.“
Rasulullah saw. member gambaran betapa kuat ikatan antara suami-isteri karena sudah diikat atas nama Allah swt. dan yang tadinya haram dihalalkan dengan firman Allah. Untuk itu, hal ini wajib dipelihara sesuai perintah Allah. Rasulullah saw. bersabda:
اتّقوا الله في النّساء ، فإنّكم أخذتموهنّ بأمان اللّه ، واستحللتم فروجهنّ بكلمة اللّه … ، ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian sudah mengambil mereka dengan jaminan Allah dan menghalalkan farji (bergaul dengan) mereka dengan firman Allah.. bagi mereka menjadi kewajiban atas kalian untuk memberi pakai dengan makruf.“
Seorang alim bernama, Ibnu Hubairah, mengatakan, para ulama bersepakat atas kewajiban seorang kepala keluarga untuk memberi nafkah kepada isteri, anak yang masih kecil, juga orang tuanya.
c) Hak Terpelihara (‘iffah) dari Perbuatan Dosa
Sebagaimana seorang suami yang diberikan hak untuk dilayani kebutuhan biologisnya maka isteri pun memiliki kebutuhan biologis yang harus diberikan oleh suami meskipun pada umumnya seorang perempuan merasa malu untuk mengemukakan hal tersebut. Kalau isteri dibiarkan merana perasaannya karena tidak diberi kebutuhan batinnya maka bisa jadi bisikan syetan masuk di hatinya yang kemudian ada kesempatan dan godaan dari laki-laki lain maka terjadi sesuatu penyimpangan yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban begi suami untuk menggaulinya sesuai kebutuhan agar dirinya terjaga dari maksiat.
Mayoritas ulama fikih dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa suami wajib menggauli isterinya. Sementara para ulama madzhab Syafi’I berpendapat bahwa hal itu merupakan sunnah pada hak suami.
Sebagaimana para ulama fikih berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh mencabut (‘azl) ketika bersenggama sebelum mengeluarkan sperma tanpa seizing isterinya karena ada keterangan dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah saw. melarang suami meng‘azl dari isteri merdeka tanpa izinnya. Alasannya, seorang isteri memiliki hak untuk mendapatkan anak. Maka ketika di‘azl akan membuat hak tersebut tidak dipenuhi. Oleh karena itu, meng‘azl tidak boleh tanpa seizing isteri. Namun demikian, sebagian ulama madzhab Hanafi membolehkan ‘azl tanpa seizing isteri jika suami merasa takut kalau punya anak akan menjadi nakal dan rusak karena masa dan lingkungan sang sudah rusak.
d) Hak Tidur Bareng dengan Suami
Kalau di awal-awal pernikahan atau pada usia kuat, masalah tidur bareng merupakan kebutuhan bersama yang bisa jadi menjadi focus kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, kalau sudah dirasa lemah dan menua atau karena kesibukan, bisa jadi tidur bareng itu menjadi tidak menarik atau kurang diperhatikan.
Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan wajibnya seorang suami tidur bareng dengan isteri. Ulama dalam madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa suami wajib tidur bareng dengan isterinya, tapi mereka berbeda pendapat dalam batasan waktu yang wajib dilakukan tidur bareng. Para ualama madzhab Hanafi member keterangan bahwa kewajiban tersebut hanya sesekali saja tanpa dipastikan waktunya. Seorang alim dari madzhab Hanafi, Ibnu Abidin, berkata: “Jika suami menyibukan diri dengan ibadah atau yang lain sehingga kurang waktu untuk tidur bareng dengan isterinya maka menurut pandangan madzhab, si suami diperintah untuk tidur bareng dengan isterinya dalam waktu-waktu yang tidak terntukan.” Imam al-Thahawi memilih menentukan bahwa si isteri berhak ditiduri satu malam dari empat mala. Hal ini dilihat dari sudut bahwa hak isteri gugur selama tiga malam jika suami menikah lagi dengan wanita lain karena isteri yang baru dinikah berhak ditiduri selama tiga malam. Itu apabila isteri wanita merdeka. Apabila isteri seorang amat atau wanita hamba sahaya maka ia hanya berhak ditiduri satu malam dari tujuh malam.
Sementara para ulama madzhab Hanbali menegaskan bahwa suami wajib meniduri isteri satu malam dari setiap empat malam. Hal ini dikiaskan kepada seorang suami yang memiliki empat isteri. Ketika setiap isteri digilir satu malam maka masing-masing isteri harus rela tidak ditiduri suami selama tiga malam.
Ka’ab bin suwwar bercerita bahwa ia duduk di sisi Umar bin al-Khatthab. Kemudia datang seorang wanita seraya berkata: “Wahai Amirul-Mu’minin, aku tidak melihat seorang laki-laki sebaik suami saya. Demi Allah, ia sepanjang malam beribadah dan di siang hari berpasa.” Dengan demikian Umar ra. memohonkan ampun untuk sang wanita itu dan memujinya. Maka si wanita itu merasa malu dan pergi pulang.
Ka’ab kemudian berkata, “Wahai Amirul-Mu’minin, tidakkah Tuan memberikan kesempatan wanita itu untuk mengadukan suaminya?” Beliau berkata, “Apa itu?” Ka’ab berkata, “Sebenarnya wanita itu ingin mengadu kepada tuan. Kalau keadaan suaminya itu seperti itu dalam beribadah, kapan ia menemui isterinya?” Kemudian Umar bin al-Khatthab ra. mengutus Ka’ab ke suami wanita tersebut dan berkata kepadanya, “Berikan ketentuan hokum baginya karena kamu memahamai masalah keduanya yang saya tidak paham. Saya berpendapat, kalau ada tiga isteri selain dia maka dia adalah isteri keempat. Berikanlah putusan bagi dia tiga hari tiga malam untuk beribadah dan bagi isterinya satu hari satu malam.” Inilah suatu kasus yang terkenal dan tidak ada yang menentangnya, seperti suatu ijma’. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah saw. yang menegaskan, sesungguhnya bagi tubuhmu atas dirimu ada hak; sesungguhnya bagi matamu atas dirimu ada hak; dan sesungguhnya bagi isterimu atas dirimu ada hak.
Al-Qhadhi dan Ibnu Aqil berkata, “Seorang suami wajib tidur bareng bersama isteri sekedar menghilangkan bahaya kondisi kesendirian dan didapatkan ketentraman yang menjadi sasaran hidup berkeluarga tanpa adanya ketentuan berapa lama waktu yang wajib dipenuhi. Oleh karena itu, seorang hakim berijtihad dalam masalah ini.”
Al-Mardawi menyetujui pandangan ini. Titik poin yang menjadi kewajiban meniduri isteri berada pada kondisi apabila seorang isteri menuntut hal tersebut dari sang suami karena hal itu merupakan haknya. Apabila sang isteri tidak menuntut maka tidak ada kewajiban bagi suami.
Ulama madzhab Maliki dan madzhab Syafi’I berpendapat bahwa seorang suami tidak wajib tidur malam bersama isterinya, melainkan hanya sunnah saja. Para ualama madzhab Syafi’I mempertegas bahwa tingkatan terendah kesunahan bermalam dengan isteri adalah satu malam dari setiap empat malam. Hal itu dihitung dari kondisi seorang suami yang memiliki empat isteri.
Seorang ulama madzhab Maliki memperjelas wajibnya bermalam bersama isteri atau sekedar hadir memberi ketenangan kepadanya karena meninggalkan seorang iseteri sendirian akan menimbulkan bahaya terutama apabila lingkungan kurang baik yang dikhatirkan adanya pencuri.
e) Hak Mendapat Pelayan
Termasuk hak seorang isteri yang wajib dipenuhi suami adalah menyediakan pelayan karena hal itu termasuk mu’asyarah bil ma’ruf dan hal itu sangat dibutuhkan dalam sepanjang waktu.
f) Hak Mendapat Giliran dengan Adil (jika isteri Lebih dari Satu)
Apabila sang suami beristeri lebih dari satu maka berkewajiban atasnya menggilir semua isteri-isterinya dan menjadi hak setiap isteri untuk medapatkan giliran untuk ditiduri oleh sang suami. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. menggilir para isterinya dan berlaku adil dalam hal itu. Beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku dalam menggilir isteri-isteriku yang aku mampu. Maka, janganlah Engkau mencelaku dalah hal yang Engkau mampu sementara aku tidak mampu.”
Hak-Hak Bersama
Yang dimaksud dengan hak bersama adalah bahwa di antara hak-hak pasutri ada yang bersifat saling berkaitan. Dengan kata lain, hak tersebut dimiliki bersama secara berbarengan dan masing-masing pasutri memenuhinya secara bersamaan. Hak-hak tersebut antara lain:
1) Saling berlaku baik satu sama lain. Masing-masing dari suami dan isteri wajib berprilaku dan bersikap baik terhadap patner hidup sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.
2) Istimta’ dan saling menikmati dari berhubungan antara satu sama lain. Menikmati hubungan badan antara keduanya merupakan hak bersama, namun hak dari pihak suami lebih kuat.
3) Mendapat warisan. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa masing-masing dari suami dan isteri mendapat bagian dari harta peninggalan apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia.