Oleh: Ustadz Hidayat Mustafid
Al-Qur’an menegaskan bahwa seorang isteri memiliki hak dari sang suami sebagaimana ia memiliki kewajiban terhadapnya, sebagaimana firman Allah swt: (وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ). Sebaliknya sang suami pun memilki hak dari isterinya sebagaimana ia memiliki kewajiban terhadapnya. Namun demikian dalam lanjutan ayat tersebut Allah swt. menegaskan bahwa suami memiliki hak lebih satu derajat di atas hak isterinya, (وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ). Nas al-Qur’an ini memberi keunggulan dan keutamaan suami terhadap isteri dalam hal bahwa seorang isteri wajib mendahulukan hak suami untuk dipenuhi ketika diminta. Hal ini digambabarkan oleh sebuah hadits dimana Rasulullah r bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Andaikan aku (boleh) menyuruh seseorang untuk sujud kepada selain Allah maka pasti aku memerintahkan seorang isteri untuk sujud kepada suaminya dan seorang isteri tidak (dianggap) memenuhi semua hak Allah sehingga ia memenuhi semua hak suaminya atasnya, bahkan jika ia (suami) meminta isterinya untuk melayani kebutuhan labidonya sementara sang isteri sedang berada di atas unta maka ia wajib memenuhinya.” (HR. Imam Ahmad, Abu dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Pada dasarnya, Allah menyuruh para suami untuk bersikap dan menggauli para isteri dengan makruf. Inilah dasar membina keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun untuk penjabarannya, perlu kajian yang konfrehensif. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba mengurai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak antara suami dan isteri agar cita-cita mendapat bahagia dalam hidup berkeluarga tidak hanya dalam cerita melainkan bisa dirasakan betul oleh pasutri; baik yang baru maupun yang lama.
Pengertian Mu’asyarah bil Ma’ruf
Firman Allah yang berbunyi, (وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ) menegaskan kewajiban adanya hubungan dan pergaulan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) antara suami dan isteri. Yang dimaksud dengan mua’asyarah bil ma’ruf yang diperintahkan Allah kepada para suami adalah memenuhi semua hak isteri dengan sikap santun dan akhlak mulia kepadanya.
Syekh Al-Jasshas mengatakan, termasuk pengertian ma’ruf adalah memberikan hak isteri, seperti mas kawin, memberi nafkah, menggilir jika ada isteri lebih dari satu, tidak menyakiti dengan perkataan kasar, memalingkan muka, atau menampakkan kecendrungan terhadap orang lain, dan juga termasuk ma’ruf adalah tidak berwajah kusam atau masam di hadapan isteri tanpa dosa yang diperbuatnya.
Syekh Ibnu Quddamah menegaskan pendapat sebagian ulama tentang kesepadanan hak dan kewajiban antara suami dan isteri bahwa yang dimaksud dengan kesamaan hak di sini adalah dalam melaksanakan kewajiban masing-masing dari sumai-isteri untuk memenuhi hak satu sama lain; tanpa ditunda, dan tanpa menampakkan ketidaksukaan di wajah, melainkan harus menampakkan wajah ceria dan tanpa ada ungkapan yang menyinggung atau mengungkit jasa dan kebaikan. Itulah sikap makruf yang diperintahkan dalam al-Qur’an. Satu sama lain harus saling memperbaiki akhlak dan sikap dalam rangka membangun rasa kasih sayang dan wajib saling menyiapkan rasa sabar dan pengertian ketika terjadi perselisihan.
Dengan demikian, agar pasangan suami-isteri memiliki standar dalam menuntut hak dan melaksanakan kewajiban dan agar tepat sasaran dalam membangun keluarga sakinah yang menghasilkan ridha Allah maka masing-masing dari suami dan isteri wajib memahami hak dan kewajibannya. Dalam kajian ini, hak dan kewajiban pasutri dikelompokkan menjadi tiga katagori: Pertama, hak-hak suami yang wajib dilakukan oleh sang isteri. Kedua, hak-hak isteri yang wajib dilaksanakan oleh sang suami. Ketiga hak-hak yang sifatnya sharing bersama.