Oleh: Ustadz Satria Hadi Lubis
Manhajuna – Maraknya kuliner asing dan munculnya trend wisata kuliner ternyata tidak diimbangi oleh sebagian kaum muslimin dengan bersikap kritis terhadap halal atau tidaknya makanan yang disajikan. Sering kita lihat di mal-mal, keluarga muslim yang ibu dan anaknya pakai jilbab atau bapaknya pakai peci haji dengan lahap menyantap makanan bermerk asing tanpa sertifikasi halal. Begitu pula fenomena serombongan ibu-ibu atau remaja yang sebagian pakai jilbab makan bersama di restoran asing tanpa sertifikasi halal.
Mereka muslim yang dengan mudah membeli makanan jepang, korea atau cina tanpa bertanya kehalalannya. Padahal kita paham makanan yg berasal dari negeri non muslim sebagian besar haram.
Apakah mereka tidak mengetahui bahwa gara-gara makanan haram, doa menjadi tidak diterima oleh Allah dan amal ditolak? Ibnu Abbas berkata bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani).
Renungkan juga hadits berikut, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang juga Dia tujukan kepada para rasul, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” dan Dia juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.”(HR. Muslim).
Bahkan orang yang tidak kritis dengan apa yang ia makan akan sulit masuk surga. “Wahai Ka’ab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Ka’ab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR. Muslim, Nasa’i, ad-Darami).
Lebih jauh, disinilah kita juga jadi paham mengapa negeri ini yang rakyatnya mayoritas muslim sering ditimpa bencana dan kerap ditimpa kezaliman dari para penguasa fasik. Mungkin hal tersebut “hanya” gara-gara kaum muslimnya tidak kritis memilih makanan, sehingga doa-doa kebaikan yang dilantunkan oleh jutaan tangan yang menengadah ditolak oleh Allah. Negara yang berkah menjadi susah terwujud. Padahal Allah berjanji, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Qs. 7:76).
(Manhajuna/GAA)