Oleh: Byan Aqila Ramadhan
Pertama. Manusia hidup pada dasarnya menginginkan kebahagiaan dan kesempurnaan. Baik di dunia maupun di akhirat. Dan kesempurnaan bukanlah sebuah hal yang datang begitu saja. Seseorang harus bergerak untuk mendapatkan kesempurnaan tersebut. Tanpa kepercayadirian, bergeraknya seseorang untuk mencapai kesempurnaan tersebut akan menjadikannya begitu sulit. Contohnya adalah seseorang menginginkan kekayaan namun orang tersebut tak percaya diri untuk mendapatkan kekayaan tersebut, dia pesimis dan malu untuk bergerak, dia malu untuk melamar pekerjaan apalagi berjualan. Maka akankah mudah apa yang diinginkannya tercapai? Tentu tidak. Contohnya lagi bila seseorang pemuda yang menyukai seseorang gadis, namun dirinya tak berani untuk melamarnya lewat orangtuanya. Maka bisa jadi kemungkinan pertama adalah orang tersebut hanya mengagumi gadis tersebut dari jauh sampai ada orang lain yang melamarnya, atau kemungkinan lainnya dia hanya berani untuk berkenalan dengannya lalu menawarkannya untuk menjadi pacarnya karena tiada keberanian untuk melamar langsung lewat orangtuanya. Na’udzubillah min dzalik. Contohnya lagi ketika seseorang mengharapkan surga, namun dirinya tak berani untuk bergerak keluar, beramal, dan berdakwah karena Allah SWT.
Kedua. Tugas berdakwah bukanlah hanya untuk orang yang hanya berdiri di mimbar masjid lalu berkhutbah. Tugas tersebut adalah tugas seorang muslim terhadap muslim lainnya untuk saling menasihati dalam kebaikan dan ketaatan, dan mencegah dari kemungkaran. Baik dalam hal mencontohkan maupun dalam hal mengingatkan. Baik dalam urusan yang kecil maupun urusan yang besar. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran:110)
Bahkan, bisa jadi berbicara di atas mimbar jauh lebih mudah ketimbang berbicara atau berinteraksi langsung dalam hal saling menasihati dalam kebaikan di kehidupan sehari hari. Maka bagaimana seseorang muslim melakukan tugas ini sedangkan dia tak memiliki kepercayadirian?
Ketiga. Sikap optimis adalah perintah dari Allah SWT. Sedangkan sikap pesimis adalah larangan dari-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran dalam perkataan Nabi Ya’qub AS:
يَٰبَنِيَّ ٱذۡهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَاْيَۡٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيَۡٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨٧
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Q.S. Yusuf:87)
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran: 139)
Keempat. Sikap pesimis cenderung memiliki perasaan tak bersyukur, sedangkan optimis/percaya diri sebaliknya. Sebab dengan memiliki sikap percaya diri seseorang telah yakin bahwa dirinya bisa untuk melakukan sesuatu, dirinya diciptakan Allah SWT untuk bisa melakukan hal tersebut. Berbeda dengan sikap pesimis, dimana ia selalu mengatakan kekurangan tentang dirinya. Padahal Allah telah berfirman dalam Al-Quran :
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin:4)
Dan di ayat lain,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ ………… ٢٨٦
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah:286)
Kelima. Karena sesungguhnya kekuatan Allah selalu mendorong kita di belakang kita. Dan kita bersandar kepada-Nya. Sebagaimana jika kita tadabburi surat An-Nas. Allah berfirman,
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ١ مَلِكِ ٱلنَّاسِ ٢ إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ ٣ مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ ٤ ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ ٥ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ ٦
(1) ”Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia (2)Raja manusia (3) Sembahan manusia (4) Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi (5) yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia (6) dari (golongan) jin dan manusia” (Q.S. An-Nas:1-5)
Dalam 3 ayat pertama I’rab Rabbinaas (Tuhan Manusia), Maalikinnas (Rajanya manusia), Ilaahinnas (Sembahannya manusia) adalah mudhaf dan mudhaf ilaih atau dua kata yang bersandaran. Di tiga ayat tersebut kata An-Nas (Manusia) selalu bersandar kepada Allah SWT. Artinya kekuatan Allah itu selalu ada untuk mendorong manusia. Dan di sisa ayatnya kekuatan syaithan digambarkan jauh lebih kuat dari kekuatan manusia itu sendiri. Syaithan bisa membisikkan kejahatan secara tersembunyi kedalam hati seseorang. Sedangkan orang tak bisa melakukan sebaliknya. Akan tetapi 3 ayat pertama memberikan gambaran bahwa sesungguhnya kekuatan Allah selalu ada di belakang kita untuk mendorong. Jadi untuk apa kita takut menghadapi sesuatu?
Baca Juga: Iman dan Percaya Diri (Bag.I): Apa itu Percaya Diri?
(Manhajuna/IAN)