Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Kalah dan Menang Adalah Warna Hidup Kita
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Kalah dan Menang Adalah Warna Hidup Kita

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc

» يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ «

“Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153).

Saudaraku,
Pilkada serentak telah usai dilaksanakan. Hasilnya, hanya satu pasangan yang mendapatkan suara terbanyak dan menjadi pemenang dan sisanya harus tersingkir. Yang menjadi pemenang belum tentu yang menjadi pilihan kita. Dan yang kita pilih, belum tentu menjadi pemenang dalam pesta demokrasi tersebut.

Demikianlah corak dan warna hidup kita. Menang dan kalah adalah dua sisi kehidupan yang selalu menyertai kita. Hidup ibarat roda yang selalu berputar. Kadang kita berada di atas. Dan lain waktu kita telah berada dia atas. Walaupun semua kita berharap dan bercita-cita, ingin selalu menjadi pemenang. Namun faktanya pula, tidak sedikit apa yang menjadi harapan kita belum mewujud di alam realita kehidupan kita.

Yang terpenting adalah bagaimana kita mensikapi sebuah kemenangan, jika kemenangan itu datang dan apa yang mesti kita siapkan untuk menghadapi sebuah kekalahan, jika ia menghampiri kita. Jangan sampai kemenangan yang kita raih menjadi prahara di akherat sana, karena kita terjatuh ke jurang ghurur (terpedaya). Dan jangan pula kekalahan yang kita alami menyebabkan kita terlempar ke lembah futur dan berputus asa dari rahmat Allah s.w.t.

Abdullah bin Mas’ud r.a pernah menasihati kita,

» عَجِبْتُ مِنْ ضَاحِكٍ وَمِنْ وَرَائِهِ النَّارُ, وَمِنْ سُرُوْرٍ وِمِنْ وَرَائِهِ الْمَوْتُ «

“Aku heran melihat orang yang tertawa terbahak-bahak, sementara di belakangnya ada neraka yang sedang menunggunya. Dan aku heran terhadap orang yang mengekspresikan kegembiraanya secara berlebihan, padahal kematian sedang mengintainya.” (Shalih al-Syami, mawa’izh al-Shahabah).

Saudaraku,
Tertawa saat kegembiraan itu hadir adalah tabiat yang melekat pada diri manusia. Keceriaan wajah membuncah saat kita disapa kesuksesan, keberuntungan, kejayaan, kesenangan dan yang senada dengan itu. Tapi jika kita mengekspresikannya secara berlebihan, bisa membuat kita ghurur atau terpedaya. Yang sewaktu-waktu bisa menyebabkan kita terpelanting dan jatuh dalam kebinasaan.

Terlebih, jika kita mengungkapkan kegembiraan tersebut dengan tindakan yang tidak terpuji, dan terpuruk dalam dosa dan maksiat, semisal berfoya-foya, mabuk-mabukan, pembaziran harta dan yang seirama dengan itu.

Ummul mukminin Aisyah r.a menuturkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ: » الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ «، وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ: » الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ «

“Adalah Rasulullah jika melihat sesuatu yang beliau sukai, maka beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan,” dan jika melihat sesuatu yang kurang beliau sukai, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan.” (HR. Ibnu Majah, no. 3803 dan dishahihkan oleh syekh Albani).

Rasulullah s.a.w memberikan arahan bahwa pada hakikatnya kemudahan, kelapangan, esuksesan, kejayaan dan kemenangan itu merupakan karunia dan nikmat pemberian Allah s.w.t, sehingga jika kita meraihnya seharusnya dikembalikan kepada Sang Maha Pemberi karunia, yaitu Allah Yang Maha Agung. Sepantasnya kita iringi dengan kata pujian dan syukur. Bukan mengiringi kemenangan dengan tindakan yang menodai makna syukur itu sendiri.

Saudaraku,
Ketika Mekkah futuh (tertaklukan) di tangan kaum muslimin, Rasulullah s.a.w duduk tertunduk di atas untanya, pertanda ketawadhu’an beliau di hadapan Allah s.w.t, selanjutnya beliau shalat delapan raka’at di rumahnya Ummu Hani’. Sebagian ulama menyebut bahwa shalat tersebut adalah shalat Dhuha. Namun jika melihat momentum yang ada, shalat tersebut lebih dekat dengan istilah shalat al-fath (shalat yang didirikan setelah meraih kemenangan).

Saudaraku,
Sebaliknya, semua kita tidak ingin gagal, kalah, terpuruk dan seterusnya. Namun jika kita disapa dengan kekalahan, kegagalan, ketidak beruntungan, yakinilah bahwa itu merupakan bentuk pengajaran dan didikan-Nya kepada kita.

Barang kali kita belum maksimal dalam memperjuangkan cita-cita dan kurang bersungguh-sungguh untuk menggapai kemenangan. Atau mungkin, kita terlalu percaya diri bisa meraih hasil maksimal, sehingga do’a-do’a dan pegangan tangan kita kepada-Nya menjadi melemah. Atau mungkin, ujian Allah terhadap kejujuran iman dan kekuatan tekad kita.

Aksiomatik, jika kita kalah memang dada terasa sesak. Awan mendung berarak di langit hati kita. Seulas senyum teramat berat untuk dihadirkan. Kaki pun teramat kaku untuk diayunkan. Hari-hari pun terasa kelabu.

Namun, sebagai insan beriman, kita tidak boleh larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Kepedihan hati yang mengguncang jiwa kita. Dan keperihan bathin yang mengendap dalam sukma. Kita harus segera bangkit. Bangun dari mimpi buruk. Optimis menatap hari esok. Bibir kita berucap, “Qadarallahu wa ma sya’a fa’al,” semua telah Allah takdirkan dan Dia berbuat seperti yang Dia kehendaki. “Al-hamdulillah ‘ala kulli hal,” segala puji bagi Allah atas setiap keadaan.

Jangan kita biarkan setan menguasai hati kita, dengan meniupkan rasa putus asa, kecewa berlebihan, merasa jalan telah buntu. Jiwa menjadi limbung. Pandangan mata menjadi suram. Semangat menjadi lunglai. Jika ini yang menimpa kita berarti kita telah gagal menyisiri ujian dari-Nya.

Al-Fakhrur-Razi dalam tafsirnya “at-tafsir al-kabir” menyebutkan bahwa berputus asa dari rahmat Allah, disulut karena tiga hal, meyakini bahwa Allah tidak mampu dalam kesempurnaan, yakin bahwa ilmu Allah tidak meliputi seluruh makhluk-Nya, atau yakin bahwa Allah bakhil dan tidak mudah memberi. Dan jika seseorang telah meyakini satu hal saja dari tiga keyakinan itu, maka orang tersebut telah jatuh pada kekufuran. Itu sebabnya dalam al-Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya tidaklah berputus asa terhadap rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87).

Ketika Ibnu Abbas mendengar kabar duka dengan kepergian salah seorang putrinya, ia turun dari untanya dan melakukan shalat dua raka’at, lalu ia berkata, “Aku telah melaksanakan perintah-Nya, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. al-Baqarah: 153).

Saudaraku,
Mari bentengi diri kita dengan sabar dan perkokoh dasar pijakan kaki kita dengan memperbanyak ibadah yang disimbolkan dengan shalat Sunnah, insya Allah goncangan hidup yang dirasa, kekalahan yang mendera, akan membuat kita semakin kuat dalam menjalani hidup. Semakin merapatkan kita pada kasih sayang-Nya.

Dan mudah-mudahan kegagalan yang menyapa kita, merupakan awal dari kemenangan panjang yang Allah siapkan untuk kita. Perjuangan kita. Cita-cita kita. Kemenangan duniawi dan ukhrawi. Wallahu a’lam bishawab.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 2.251 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *