Oleh: Faris Jihady, Lc
Tidak ada yang mengingkari betapa pentingnya kisah dalam tradisi lisan manusia, terlebih dalam tradisi kesusastraan. Kisah atau cerita merupakan salah satu cara terbaik dalam mewariskan makna, kesan, dan pesan yang mendalam dalam jiwa pendengar dan penyimaknya.
Kisah atau cerita dalam tradisi lisan manusia, umumnya menjadi konsumsi pembicaraan khalayak umum, karenanya kebenaran faktual dalam kisah atau cerita tak begitu penting. Yang terpenting adalah aspek artistik kisah tersebut yang dikemas dengan diksi, penggambaran latar suasana, penempatan tokoh, pengaturan alur dan seterusnya, agar ia menjadi semenarik mungkin di telinga pendengar atau di benak pembaca. karenanya dapat disimpulkan secara sederhana, seni kisah merupakan seni “mencipta peristiwa”, yang boleh jadi bersumber dari peristiwa yang bercampur dengan renungan dan imajinasi pemilik cerita.
Kisah Al-Qur’an sangat berbeda dari definisi standar di atas, ia bukan semata layaknya “karya seni sastra” semata yang bertujuan “seni sastra”, tetapi lebih dari itu ia mengandung tujuan kutural-religius sekaligus, yang membangun persepsi tentang Sunnatullah (hukum-hukum ilahi) yang berlaku dalam kemanusiaan, berbasiskan kaidah iktibar dan perenungan.
Dalam memenuhi dua maksud utama tersebut; sebagai “seni sastra” yang juga bertujuan kultural-religius, kisah Qur’ani tak cukup dengan kemasan pada aspek artistik, namun juga sangat mementingkan kebenaran historis secara faktual, karena kisah Qur’ani sejatinya mencerminkan karakter khas Qur’an itu sendiri, yang menyentuh aspek-aspek intuisi keindahan dalam jiwa manusia, sekaligus membangkitkan kesadaran religius-transendental. Sebagaimana Al-Qur’an mengajak bicara hati, ia juga mengajak bicara akal, dan kesadaran religius (tadayyun) tak mungkin dibangun di atas persepsi yang lemah secara faktual-historis, namun harus dibangun di atas kebenaran yang pasti (al-haq).
Kisah Qur’ani dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan “qashash” / قصص , istilah ini sendiri secara implisit menegaskan makna tentang hakikat kebenaran historis yang ada dalam kisah-kisah Qur’ani tersebut, bahwasanya ia benar-benar terjadi dan diceritakan sebagaimana adanya. Qisshah قصة yang makna dasarnya secara etimologis berarti; “menapaktilasi jejak” / تتبع الأثر واقتفاؤه digunakan oleh Al-Qur’an sebagai istilah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah yang betul-betul terjadi.
Selain penggunaan istilah “Qisshah” untuk menceritakan kisah-kisah tersebut, dalam banyak tempat Allah Ta’ala secara eksplisit juga menegaskan kebenaran historis ini; sebagaimana terekspresikan setelah kisah Zakariya, Maryam, dan Isa ‘alayhimussalam;
[إنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ [آل عمران : 62
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar..”(Ali Imran: 62)
Penegasan makna ini tidak hanya sekali, tapi juga terulang, misalnya sebelum memulai kisah panjang tentang Ashabul Kahfi (Penghuni Gua)
[ نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ [الكهف : 13
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar..”
Penegasan kebenaran historis kisah-kisah Al-Qur’an ini, berimplikasi pada tujuan utama dari keberadaan kisah-kisah tersebut, yaitu penegasan akan kebenaran risalah Muhammad saw, bahwa tidak ada campur tangan manusawi dalam kebenaran risalah.
Pertanyaan sederhananya; dimana letak relevansinya? antara kebenaran historis kisah-kisah Al-Qur’an dengan ketiadaan campur tangan manusia pada risalah Muhammad saw?
Jawabannya adalah; kisah-kisah tersebut semuanya adalah tentang masa lalu jauh sebelum kehidupan Muhammad saw, dan pada masa itu –dalam logika sederhana- sulit dicari sumber sejarah primer tentang kehidupan masa lalu yang mendetil. Karenanya, pembuktian utama tentang keberadaan kehidupan kaum di masa lampau secara mendetil tak lain adalah bersumber dari wahyu (divine source). Dalam logika ringkas; bagaimana mungkin Muhammad yang ummiy –buta huruf- dan ketiadaan sumber primer tentang kehidupan jauh pra Islam, dapat menceritakan kabar di masa lampau dengan sangat detil? Dalam masalah ini, seorang orientalis, Ignac Goldziher, memunculkan hipotesa yang absurd bahwa risalah Muhammad saw tak lain semata mencampur dan memilah dari wawasan yang terinspirasi dari interaksinya dengan budaya agama Yahudi dan Nasrani. Betapa absurd !
Kisah Al-Qur’an; Ringkasan Sejarah Kemanusiaan
Kisah-kisah Qur’ani jika direnungkan dengan sebenar-benar, memberikan kesimpulan penting; meski Al-Qur’an bukan buku cerita, bukan pula buku sejarah –yang karena itu tidak menceritakan seluruh peristiwa kehidupan di atas muka bumi- , tapi ia meringkas seluruh sejarah kemanusiaan. Ia meringkas seluruh substansi yang terus terulang dalam sejarah manusia pada setiap generasi, apa yang diistilahkan sebagian cendekiawan, dengan “sunnah nafsiyah سنة نفسية “ –tabiat jiwa- pada tataran individu, dan “sunnah ijtimaiyah سنة اجتماعية” –tabiat sosial- pada tataran komunitas.
Sunnah Nafsiyah –tabiat jiwa- pada tataran individu, misalnya, dapat kita rasakan kehadirannya pada kisah Yusuf as, yang hanya tercantum satu kali saja dalam Al-Qur’an. Surat Yusuf, begitu Allah mengabadikan sosok ini, menggambarkan tabiat manusiawi seorang ayah yang mungkin saja sulit berlaku adil dalam kasih sayang, serta rasa iri saudara-saudara Yusuf yang sangat manusiawi. Allah juga mengekspresikan tabiat manusiawi dalam hal ketertarikan antar lawan jenis, dan bagaimana seharusnya jiwa yang matang dengan iman mengendalikannya.
Sedangkan Sunnah Ijtimaiyyah –tabiat sosial- pada tataran komunitas, seringkali dapat kita temukan di banyak tempat dalam Al-Qur’an, tentang kaum-kaum yang bergelimang dalam kemakmuran dan kezaliman sosial, serta pendustaan kepada para nabi. Tentang kaum Aad pemilik kekuatan fisik, Tsamud penghancur gunung dan merubahnya menjadi rumah, Fir’aun pemilik bala tentara tak terbatas, tentang Qarun pemilik kunci-kunci gudang harta tak terhingga, serta Yahudi dengan segala tabiatnya sepanjang masa.
Kedua tabiat tersebut adalah substansi kehidupan dalam sejarah manusia yang terus berulang pada setiap generasinya. Karenanya, tak berlebihan jika kisah-kisah Qur’ani “meringkas” sejarah kemanusiaan.
Dalam sudut pandang lain, kisah Qur’ani merupakan sarana yang merekam gambaran “profil-profil kemanusiaan” yang berbeda-beda, meskipun dalam level setara semisal; nabi dan Rasul, mereka memiliki karakter dan cara masing-masing yang khas dalam sejarah hidup dan dakwah mereka.
– Ada tipe Nuh; sosok dengan kesabaran yang mengalahkan waktu 950 tahun, namun di akhir ia mohon kepada Rabbnya agar tak menyisakan seorangpun dari kaumnya,
– ada tipe Musa; sang pembebas Bani Israil yang mendoakan kebinasaan bagi Fir’aun dan pengikunya,
– ada tipe Ibrahim yang berkata; “siapa yang mengikutiku, ia bagian dariku, siapa yang ingkar padaku, sesungguhnya Engkau –Ya Allah- Maha Pengampun. Lagi Penyayang”
– Ada pula Isa; yang bertutur; “Ya Allah, jika Engkau azab mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba2Mu, namun jika Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Bijaksana”.
Semua uraian di atas, tentang ringkasan sejarah kemanusiaan dan contoh-contoh profilnya , menegaskan satu kesimpulan penting; Al-Qur’an adalah Kitabul Insaniyah كتاب الإنسانية yang secara diperuntukkan untuk membimbing hati, jiwa, dan akal manusia secara paripurna.
WAllahu A’lam
Referensi utama;
1. Ulumul Qur’an, wa I’jazuhu wa Tarikhu Tautsiqih (Ilmu-Ilmu AlQur’an, Mukjizat dan Sejarahnya), Prof Dr Adnan Zarzur.
2. AtTashwir Al-Fanny fil Qur’anil Karim (Gambaran Artistik dalam AlQur’an), Sayyid Quthb.