Idhul Fitri sudah berlalu beberapa hari, suasana lebaran masih tersisa. Tapi jangan lupa, ada beberapa perkara terkait puasa yang penting kita pahami dan amalkan.
Pertama adalah qadha puasa. Ini ibarat hutang yg harus kita bayar. Qadha puasa berlaku bagi mereka yg tidak dapat berpuasa karena uzur namun dapat berada dalam kondisi normal kembali. Seperti sakit yg ada harapan sembuh, safar, haidh atau nifas.
Waktu pelaksanaan qadha puasa membentang sejak pasca Ramadan hingga Ramadan berikutnya. Namun lebih cepat lebih baik. Lebih baik lagi jika dilakukan sebelum puasa sunah syawal.
Qadha puasa dapat dilakukan di hari apa saja. Yg penting niat sejak malam hari sebelum fajar, krn qadha dianggap sebagai puasa wajib yg tertunda. Jadi tdk boleh seseorang berpuasa sunah biasa, lalu ketika siang dia baru niatkan puasanya utk qadha.
Soal niat ini, para ulama menyatakan, kalau puasanya puasa wajib, seperti puasa Ramadan, baik yang langsung atau qadha, puasa nazar atau puasa kafarat, maka niatnya harus di malam hari sebelum terbit fajar. Kalau puasa sunah, maka tidak mengapa niatnya setelah terbit fajar.
Begitupun kalau sudah niat puasa qadha, maka seseorang tidak boleh membatalkan puasanya begitu saja, kecuali ada uzur syar’i spt sakit, safar, dll. Beda dengan puasa sunah biasa yang dapat dibatalkan karena alasan2 tertentu, seperti menghormati tamu dll.
Berikutnya puasa syawal. Ini memang sunah. Tapi sangat dianjurkan kita amalkan, rugi jika terlewatkan. Sebab sebagaimana hadits shahih, berpuasa Ramadan yang dilanjutkan dengan puasa 6 hari bulan syawal dinilai sebagai puasa setahun.
Puasa enam hari bulan Syawal dapat dilakukan di hari apa saja di bulan syawal, berturut2 atau terpisah2. Namun semakin cepat semakin baik. Walaupun layak dipertimbangkan jika kita bertamu ke rumah kerabat sementara mereka ingin agar kita menyantap hidangannya.
Mana yang hendaknya didahulukan, puasa qadha atau puasa syawal? Para ulama mengatakan, jika mudah baginya puasa qadha sebelum puasa syawal, maka lebih utama puasa qadha dahulu, baru kemudian puasa syawal. Tapi jika terasa berat, tidak mengapa lakukan puasa syawal sebelum puasa qadha
Karena puasa qadha sifatnya terbuka dilakukan kapan saja hingga setahun kedepan, sedangkan puasa syawal hanya terdapat di bulan Syawal. Namun tetap harus diingatkan, jangan mudah menunda2 puasa qadha, jika tidak ada kendala berarti.
Bahkan ada sebagian ulama yang membolehkan berpuasa qadha sekaligus niat puasa syawal. Artinya dalam satu puasa ada dua niat; qadha dan puasa syawal. Pendapat ini cukup kuat dan meringankan. Dia ibarat orang yang masuk masjid lalu shalat rawatib sekaligus sebagai tahiyatul masjid.
Namun wallahu a’lam, lebih hati-hati jika dipisah antara qadha dan puasa syawal. Sebab puasa syawal adalah ibadah yang berdiri sendiri dan dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadan sehingga memberi nilai puasa setahun.
Para ulama berpendapat, dikatakan fadhilahnya seperti puasa setahun karena setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh lipat kebaikan, puasa sebulan plus 6 hari syawal dikali sepuluh jadi 360, kurang lebih setahun. Jika qadha Ramadan digabung dengan puasa Syawal, maka tidak dikatakan sebulan plus enam hari. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimana dengan kafarat? Kafarat dapat diumpamakan sebagai ganjaran atau sangsi atas sebuah pelanggaran. Kafarat terkait puasa berlaku bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam puasa, dalam hal ini karena melakukan jimak di siang hari puasa dengan sengaja.
Maka kafaratnya adalah seperti disebutkan dalam hadits shahih, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin, masing-masing setengah sha’ bahan makanan pokok (kurang lebih 1,5 kg)
Kalau fidyah bagaimana? Fidyah ini ibarat tebusan, sesuatu yang harus dilakukan karena tidak mampu lagi berpuasa, baik di bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi bedanya dengan kafarat adalah kalau kafarat karena pelanggaran, sedangkan fidyah adalah karena ketidakmampuan permanen.
Fidyah puasa berlaku bagi dua golongan; Orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan orang sakit permanen yang sudah tidak ada harapan sembuh. Sebagaimana hal ini merupakan penafsiran para ulama dengan surat Al-Baqarah 184.
Maka jika ada orang seperti itu, dihitung berapa hari dia tidak puasa, lalu keluarkan untuk setiap harinya setengah sha’ makanan pokok, kurang lebih 1,5 kg, beras misalnya. Sebaiknya dikeluarkan dalam bentuk makanan, tidak diuangkan. Sebagian ulama berpendapat boleh diuangkan.
Yang jadi bahan perdebatan cukup hangat adalah; Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, apakah dia mengqadha puasanya atau membayar fidyah? Atau qadha dan kafarah?
Hal tersebut karena wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Quran atau hadits apa yang seharusnya mereka lakukan. Maka para ulama berijtihad untuk menetapkan ketentuan yang berlaku baginya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit biasa yang dapat sembuh dan pulih kembali, karenanya mereka berpendapat puasa yang ditinggalkan harus diqadha. Tidak cukup diganti dengan fidyah berupa makanan.
Bahkan ulama dalam mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, jika wanita hamil dan menyusui tersebut tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya, bukan terhadap dirinya, maka selain qadha puasa, dia pun harus bayar kafarat dengan beri makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Tapi ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, cukup baginya membayar fidyah berupa makanan saja, tanpa harus qadha. Pendapat ini merujuk kpd pendapat Ibnu Abas dan Ibnu Umar yg menganggap wanita hamil seperti orang tua renta.
Jika mudah baginya mengqadha puasa, maka lakukanlah qadha puasa. Jika terasa berat dia dapat mencicilnya setiap bulan sekian hari. Tapi jika terasa berat sekali, misalnya jika kehamilan terus menerus sekian tahun, maka wallahu a’lam, dapat beralih dengan bayar fidyah.
Ada lagi satu pembahasan soal fidyah dan qadha ini. Yaitu jika seseorang keburu meninggal dunia sementara dia masih memiliki hutang puasa. Misal, seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadan beberapa hari karena sakit. Lalu setelah Ramadan dia sembuh, namun sebelum sempat qadha dia wafat
Dalam kondisi demikian, maka hendaknya ada kerabatnya yang berpuasa untuknya, apakah suami atau isterinya, anak2nya atau saudara2nya. Sesuai jumlah hari yang dia tinggalkan puasanya. Hal ini berdasarkan hadits muttafaq alaih.
Nabi saw bersabda, “Siapa yang meninggal sementara dia meninggalkan (hutang) puasa, maka hendaknya wali (keluarga)nya berpuasa untuknya.” Dalam hadits riwayat Muslim, seorang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ibunya yang punya hutang puasa, apakah harus dia qadha?
Maka Rasulullah saw balik bertanya, “Jika ibunya punya hutang, apakah anaknya yang membayarnya…. maka ‘hutang’ kepada Allah lebih layak dibayar. Di sisi lain, penting bagi seseorang untuk beritahu keluarga, berapa hari utang puasanya… agar jika wafat dapat diketahui berapa ‘utang’nya
Selain berpuasa, opsi lainnya juga dapat diganti dengan fidyah makanan seukuran setengah sha, atau sekilo setengah beras. Maka dihitung jumlah harinya, lalu dikalikan 1,5 kg beras dan diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam. Sampai disini kajiannya, semoga bermanfaat.
(Manhajuna/IAN)