Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ , فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ «
“Sesungguhnya kalian akan diseri pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama orang tua kalian, oleh karena itu perindahlah nama-nama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4948).
Saudaraku,
Anak adalah buah kasih sayang setiap pasangan suami-istri (pasutri). Kehadirannya menyejukkan hati, menenteramkan sanubari kita. Ia seperti angin pada alam. Indah bagai bunga di taman kota. Semerbak mewangi seharum kasturi. Dan menghadirkan suasana damai, ceria penuh keriangan canda. Sehingga, banyak pasutri yang semakin membuncah cintanya kepada pasangannya ketika bunga-bunga harapan itu hadir.
Tidak sedikit pasangan yang sebelumnya sedikit mengalami keretakan hubungan, kembali hangat dan mesra. Yang sebelumnya keluarga seperti di sapa musim kemarau panjang, kehadirannya bagaikan kucuran hujan deras mengucuri bumi keluarga. Yang sebelumnya seperti asap gelap yang menaungi Sumatera dan Kalimantan, anak hadir seperti angin kedamaian yang mampu mengusir asap pengap dari langit-langit hati keluarga.
Saudaraku,
Masih basah dalam ingatan kita, dulu ketika kita menikah beberapa bulan. Maka setiap kali kita bertemu dengan orang tua, mertua, sanak famili, kerabat, para tetangga dan teman-teman kita, mereka tidak pernah bertanya, sudah punya rumah belum? Kendaraan kita type apa? Tabungan kita di Bank seberapa banyak? Sudah rampungkah angsuran rumah kita dan seterusnya. Karena pasti yang ditanyakan adalah soal anak, (istri kita) sudah hamil belum? Sudah berapa bulan? Dan yang senada dengan itu.
Maka bagi yang pasangannya belum ngisi (baca; hamil) atau belum dikaruniai anak padahal pernikahan sudah memasuki tahun kedua, tentu pertanyaan secara tiba-tiba tersebut terasa menyakitkan, atau membuat kita blingsatan dan kurang Pe-de. Belum lagi ejekan-ejekan atau lebih tepatnya candaan dari rekan-rekan atau kerabat dekat seputar kurang nya kita memaksimalisasi dalam upaya memiliki anak. Tentu, meski kita pun ikut tertawa dan mengelak sejadi-jadinya dengan berbagai argument. Tetapi dalam hati ini begitu terasa pedih bahkan kecewa. Bukan tidak mungkin terkadang kita khilaf menganggap bahwa Allah yang Maha Adil dan Bijaksana itu tidak berlaku adil terhadap kita. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Saudaraku,
Sang waktu terus bergulir dengan cepat. Dan tatkala kita telah berubah status menjadi seorang ayah, maka hati kita sangat berbunga-bunga. Bahkan kebahagiaan kita itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tapi pada saat yang sama, hati kita juga diliputi perasaan bingung. Karena kita harus memilihkan nama terbaik buat sang buah hati. Bertanya ke sana ke mari. Berkonsultasi dengan beberapa ustadz dan tokoh agama. Karena nama seorang anak terhadap keluarga kadang mirip seperti papan nama pada sebuah toko. Di situlah sebuah kesan dan citra bisa dinilai. Mulai dari pemilihan nama, gaya tulisan, warna dan jenis serta penempatannya. Jangan berharap konsumen akan tertarik masuk ke toko kita, jika tulisan papan namanya asal-asalan. Tidak menarik dan tak mengesankan keindahan.
Saudaraku,
Jangan pernah kita menganggap remeh arti sebuah nama. Terlebih jika nama itu diperuntukkan buat sang buah hati kita. Karena dari nama anaklah, citra sebuah keluarga bisa ternilai. Kehormatan sebuah keluarga terukur. Kualitas keluarga terangkai.
Sayangnya, tidak semua orang tua memahami persoalan ini. Sehingga lahirlah bayi-bayi yang punya nama asal-asalan. Tanpa arti, tanpa hikmah, tanpa harapan, tanpa cita-cita. “Sing penting iku nggo tenger wae” (yang penting untuk tanda saja), kata sebagian orang Jawa yang kurang memahami arti sebuah nama.
Hal itulah yang kini kerap dipikirkan kang RAKEREM sebut saja begitu. Seorang aktifis Majlis Ta’lim. Saudara kita ini baru saja mendapat anugerah; kehadiran bayi laki-laki. Ia masih dibingungkan dengan pilihan nama. Ia sedang berpikir keras untuk menentukan nama bayinya. “Nama anak harus punya nilai,” tekad kang RAKEREM begitu kuat. Sekuat kritik buat ayahnya yang telah memberi nama ‘RAKEREM’.
Ketika kang RAKEREM telah mempelajari Islam lewat Majlis Ta’lim rutin pekanan. Ia paham betul bagaimana Islam mengajarkan soal nama, ia sempat kecewa. Bahkan kekecewaannya sampai ke dasar hatinya yang paling dalam. Masalahnya, nama ‘RAKEREM’ sulit dicarikan artinya di kamus nama berbahasa Arab. Apalagi, nilai yang bisa diambil pelajaran dan do’a yang digantungkan dari namanya. Dan lebih kecewa lagi ketika kang RAKEREM bertanya kepada ayahnya soal pemilihan nama itu. “Ayah juga nggak tahu artinya!” ucap ayah kang KAREP suatu kali. Ketika didesak kenapa ayahnya memilih nama itu, jawaban sang ayah sederhana saja. “Soalnya waktu kamu lahir dulu, ayah lagi lihat film ‘TITANIK’ (keinginan ayah kamu tidak kerem, kandas dan gagal seperti kapal mewah itu), maka akhirnya kamu kuberi nama “RAKEREM” supaya kelak bisa menjadi sukses dan berhasil dalam menjalani hidup.”
Mungkin makna dan harapan yang bagus, tetapi kurang familiar bagi orang yang telah mempelajari fiqh ‘seputar kewajiban orang tua terhadap anak’. Nama itu pula yang terkadang membuat kang RAKEREM menjadi malu dengan teman-teman sepengajiannya. Terlebih ketika kang RAKEREM menghayati sabda Rasulullah s.a.w, bahwa seorang hamba di akherat kelak akan dipanggil sesuai dengan namanya dan nama orang tuanya.” Seperti tersebut dalam sunan Abu Daud. Ia menjadi minder di hadapan manusia dan malu di hadapan Allah s.w.t.
Tapi, apa mau dikata. Jagung sudah menjadi shop. Tepung sudah menjadi gorengan. Nama sudah terlanjur melekat. Repot kalau dirubah. Ribet untuk menjalankannya. Karena mesti merubah akte kelahiran, ijazah TK, SD, SMP, SMU, dan eS satu serta eS dan seterusnya.
Saudaraku,
Cara mudah mengubah nama tanpa mesti mengubah dokumen keluarga, adalah dengan merubah nama panggilan. Kang RAKEREM berharap, dengan nama anaknya kelak, ia bisa mendompleng. Ia bisa menyebut dirinya dengan Abu titik-titik. Artinya, bapak dari nama bayi laki-lakinya itu. Kalau nama sang bayi Hudzaifah. Maka, nama panggilan kang RAKEREM menjadi Abu Hudzaifah. Kalau nama sang bayi Yusuf. Maka, nama panggilan kang RAKEREM menjadi Abu Yusuf. Wah, keren! Dan sangat spektakuler.
Tapi, ia masih belum sreg dengan pilihan nama buat anaknya. Yang jelas, tidak mungkin kang RAKEREM menamai anaknya dengan Abu Bakar atau Abu Salamah. Karena nama panggilan buat dirinya menjadi Abu Abu: Abu Abu Bakar atau Abu Abu Salamah. Wah, jadi nggak pas dan malah tidak jelas.
Kang RAKEREM terus berpikir. Tapi, belum juga ketemu.
Kang RAKEREM pernah bertanya kepada istrinya. Tapi, istrinya tidak memberi satu nama pun. Cuma ngasih saran, agar nama bayinya tidak kepanjangan. Repot mesti dipanggil apa. Kalau disebut semua, sulit dihapal. Kalau disingkat, nanti malah kurang bagus.
Saran istrinya itu, menjadi pertimbangan baru buat Kang RAKEREM. “Betul juga, ya,!” ucapnya dalam hati. Salah seorang dari teman pengajiannya pernah memberi saran untuk menamai anaknya dengan nama yang teramat bagus: Shibghatullah! Artinya, celupan atau bentukan dari Allah. Tapi, kang RAKEREM malah bingung tak karuan. Ia kerepotan memanggil sang anak. Kalau dipanggil secara utuh, selain susah juga kepanjangan. Kalau mau disingkat, motongnya di mana?.
Kadang, kalau nama seorang anak kepanjangan dan sulit disingkat, juga repot untuk memanggilnya. Seperti nama sang anak sebenarnya bagus: Misbahuddin. Artinya, penerang agama. Tapi, sang kakek dan neneknya yang justru akhirnya menyingkat menjadi Udin. Hingga dewasa, anak itu tetap dipanggil Udin.
Juga ada seorang ustadz alumnus sebuah Universitas di Arab Saudi, namanya Khudhari. Artinya yang hijau sejuk dipandang. Karena dari kecil dipanggil Dodor, maka sampai menjadi ustadz pun tetap dipanggil dengan sebutan ustadz Dodor.
Saudaraku,
Dari sekian pengalaman itu, kang RAKEREM akhirnya menemukan satu nama. Panggilannya tidak sulit. Tidak juga terlalu panjang. Bahkan, sangat singkat. Namanya, HAKIM. Artinya yang bijaksana dan adil. Dari segi sejarah, nama HAKIM (Hakim bin Hizam) mengingatkan kang RAKEREM pada sosok kaya raya nan dermawan dari kalangan sahabat. Yang pernah membebaskan 100 orang budak dan menyembelih 100 ekor unta pada saat jama’ah haji wukuf di Arafah.
Selain itu, ada satu hal yang membuat hati kang RAKEREM berbunga-bunga. Tak lama lagi, teman-temannya akan memanggil dirinya dengan panggilan baru: Abu Hakim. “Hmm..hmm, nama yang keren dan penuh makna!” ucap Kang RAKEREM kepada istrinya. Dan istrinya hanya tersenyum sumringah pertanda setuju dan merasa terangkat serta tersanjung. Yang sesaat lagi akan dipanggil Ummu Hakim.
Ketika kang RAKEREM nelpon kepada orang tuanya di daerah lain, selain minta do’a, sebenarnya ia juga punya maksud lain. Ia ingin memberikan pelajaran buat ayahnya yang asal ngasih nama. Agar, ayahnya sadar bahwa nama anak itu harus punya arti dan pelajaran serta harapan.
“Siapa namanya, nak RaKerem?” tanya ayahnya di seberang sana. Dengan perasaan bangga kang RaKerem mengatakan, “Hakim, Yah! Artinya yang adil dan bijaksana. Bagus kan, Yah!”
Ayah kang RaKerem terdengar mengangguk-angguk tanda setuju. “Luar biasa, RaKerem! Kamu memang hebat pilih nama. Nggak sia-sia kamu aktif menjadi aktifis Majlis Ta’lim. Hebat!”. Hebat!.” ucap ayahnya.
“Dengan nama itu, aku bisa memanggil cucuku dengan inisial bagus: HABIRA! Singkatan dari Hakim bin RaKerem!” lanjut ayahnya bangga sembari mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat.
Saudaraku,
Cermati dan pilihkanlah nama yang indah, Islami, bermakna dan bernilai serta berbobot buat sang buah hati. Ambillah nama para nabi, rasul, para sahabat dan shalihin. Mudah-mudahan anak-anak kita bisa mengikuti jejak langkah mereka. Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan orang tua yang dikaruniai anak-anak yang shalih dan berbakti ? anak-anak semacam itulah yang akan menjadi Qurratu a’yun (penyejuk mata) bagi orang tua dan siapa saja yang memandangnya.
Qurratu a’yun akan lahir dari nama pilihan orang tua yang terbaik selain pendidikan yang telah diteladankan nabi kita Muhammad s.a.w dan generasi terbaik pada masanya dan masa sesudahnya. Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)