Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 10)

Search Results for: abdullah haidir

Penciptaan dan Penentuan Nasib Manusia – Bag I

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ؛ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ ، فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ،  فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

[رواه البخاري ومسلم]

Kosa Kata

حدثنا : menyampaikan (kpd kami) خَلْقه : Penciptaan (nya)
يجمع : Dikumpulkan بطن : perut
علقة : setetes darah نطفة : setetes mani
المَلَكَ : Malaikat مضغة : segumpal daging
أجله : kematian (nya) يَنْفُخُ : Meniup
سعيد : bahagia شقيٌّ : Celaka
يسبق : Mendahului ذراع : hasta (jarak antara telapak tangan dan siku)

Terjemah Hadits

Dari Abu Abdurrahman; Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu beliau berkata,Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar serta dibenarkan (ucapannya),

“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut (rahim) ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama itu juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian diutus kepadanya satu malaikat, lalu dia meniupkan ruh pada-nya. Kemudian dia (malaikat) diperintahkan untuk menetapkan empat perkara; menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.

Demi Allah yang tidak ada ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta, akan tetapi ketentuan telah mendahuluinya, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta, akan tetapi ketentuan mendahuluinya, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.”

(HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Kedudukan Hadits

Hadits ini sangat agung, merangkum semua perjalanan hidup manusia dari awal penciptaannya, kehidupannya di dunia hingga nasibnya kelak di hari kiamat apakah kekal dengan kebahagiaannya atau kesengsaraannya berdasarkan amal dan perbuatannya di dunia berdasarkan ketentuan dalam ilmu Allah Ta’ala. [2]

(Bersambung)

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Qadr, no. 6594, Shahih Muslim, Kitab Al-Qadr, no. 2643
  2. Al-Wafie, hal. 24

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Setan Adalah Musuhmu

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Jika setan sempat membuatmu terhuyung-huyung oleh bisikan maksiat, bikin dia terjengkang KO oleh pernyataan taubat…

Jika setan sempat melemahkan langkahmu dengan berbagai syubhat, buat dia terkulai dengan langkahmu berbaris rapat…

Jika setan sempat membuat pikiranmu ragu, bikin dia shock dengan kerja kerasmu yang terus melaju…

Jika setan sempat terbahak-bahak melihatmu yang kebingungan, bikin dia tersedu-sedu menangisimu yang cepat mengembalikan kesadaran…

Jika setan sempat puas membuatmu kehilangan nakhoda, bikin dia melas karena kita memiliki banyak nakhoda siap siaga…

Jika setan gembira karena langkahmu perangi kebatilan sempat terhalang, bikin dia kecewa dengan prinsipmu bahwa tdk ada kata mundur bagi pejuang…

Jika setan sukacita karena banyak yg mengolok-olokmu, bikin dia berduka nestapa karena ketegaranmu…

Jika setan sempat tertawa terjengkang-jengkang karena engkau di-bully, bikin dia kejang-kejang karena prinsip perjuanganmu yang tidak bisa dibeli…

Jangan masuk dalam skenario setan tuk menghalangimu jadi pejuang, bikinlah skenario yang memmbuatmu sebagai pejuang dan setan jadi pecundang..

Allah Ta’ala tidak hanya memberi info bahwa ‘setan adalah musuhmu’, tapi Dia juga tegaskan, ‘Jadikan setan sebagai musuhmu’ (QS Fathir: 6)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً

(AFS/Manhajuna.com)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Mengapa Kita Butuh Nasihat?

Manhajuna.com – Sebagai hamba Allah Ta’ala yang di pundaknya terdapat tugas dan berbagai kewajiban, sementara di hadapannya terdapat berbagai ujian dan cobaan, maka nasehat merupakan modal utama dalam mengarungi kehidupan.

Apalagi jika kita sadari, tabi’at manusia yang mudah lupa, lalai, terpengaruh dan cenderung pada apa yang dimaui hawa nafsu yang umumnya mengajak pada kemungkaran. Maka pada titik ini, semakin nyata bahwa kita sangat membutuhkan nasihat.

Karena itu, dalam surat al-Ashr, termasuk syarat bagi seseorang untuk meraih keberuntungan dalam kehidupan ini setelah beriman dan beramal shaleh adalah mereka yang selalu saling memberi dan menerima nasehat. Bahkan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam menegaskan kepada kita bahwa: Agama adalah Nasehat.

Maka sebagai seorang muslim, siapapun kita; masyarakat awam, tenaga profesional, pejabat, TKI, guru, bahkan ustadz, tokoh masyara-kat, hingga kyai sekalipun, nasehat merupakan kebutuhan yang sangat prinsip.

Nasihat dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk verbal melalui lisan. Jika nasehat secara lisan sulit kita lakukan kepada seseorang, insya Allah dengan melakukannya melalui tulisan semoga dapat menjadi penyambung lidah kita kepada orang yang ingin kita nasehati.

“…..Dan (mereka yang) nasehat menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”  (QS. Al-Ashr: 3)

Semoga Amal kita semua diterima oleh Allah Ta’ala termasuk usaha kita untuk saling menasihati dalam kebenaran. Aamiin.

Sumber: Kata Pengantar buku Nasihat dari Hati ke Hati oleh Ustadz Abdullah Haidir, di muraja’ah oleh Ustadz Fir’adi Nashrudin, Lc. Penerbit Maktab Dakwah Sulay, Riyadh, Arab Saudi.

(Manhajuna/IAN)

Lukisan Kehidupan

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Kita tentu pernah melihat sebuah lukisan yang indah, katakanlah tentang lukisan sebuah pemandangan. Sering kita terkesima dan terpana dengan lukisan seperti itu, komentar-komentar takjub dan apresiasi positif reflek terlontar dari mulut-mulut kita.

Tapi yang patut kita sadari adalah bahwa sesungguhnya yang membuat menarik bukan sekedar pemandangannya, tetapi kemampuan orang yang melukiskannya. Dengan objek pemandangan yang sama, jika dilukis oleh orang yang bukan ahlinya, tentu akan berbeda pula sikap dan apresiasi kita terhadap lukisan tersebut.

Kehidupan kita ini, pada dasarnya merupakan ‘pemandangan’ yang akan terekam bak sebuah lukisan. Bolehlah hal tersebut kita katakan sebagai ‘Lukisan Kehidupan’. Dan kitalah yang telah Allah tetapkan untuk menjadi pelukis bagi kehidupan kita sendiri. Maka, langkah kaki, lenggang tangan, lidah yang terucap, sejurus pandangan mata, pendengaran telinga dan gerak semua organ tubuh kita, tak ubahnya bagaikan kuas yang sedang menari-nari di atas kanvas kehidupan. Itulah arti dari hari-hari yang kita lalui dalam kehidupan ini.

Oleh karena itu, kini masalahnya bukan lagi apakah kita seorang maestro pelukis terkenal macam Picasso dan Afandi atau bukan, tetapi adalah bahwa -suka atau tidak suka- hasil ‘lukisan’ kita pada akhirnya akan dilihat dan dinilai orang. Kesadaran tersebut jelas akan mendorong naluri kita untuk berkata bahwa ‘lukisan kehidupan’ saya harus terlihat indah dipandang. Dan, selama kesempatan ‘melukis’ itu masih diberikan, kita masih diberi kebebasan berekspresi untuk memperindah lukisan kehidupan kita; meluruskan guratan-guratan yang kurang harmonis, memperjelas sapuan warna yang buram, mengarahkan segmen gambar yang tak terarah, dst.

Hingga akhirnya, ketika mata ini terpejam dan nafas terakhir telah dihembuskan, itulah saatnya lukisan kita telah usai, lalu dibingkai, dan kemudian siap dipajang di ‘ruang depan rumah kita’. Ketika itu pula kita tinggal menunggu bagaimana komentar orang-orang yang melihat lukisan kita yang secara refleks –tanpa basa basi dan formalitas- akan terlontar dari mulut-mulut mereka. Bagaimana reaksi dan apresiasi yang akan mereka berikan, tentu sangat tergantung dengan kualitas lukisan yang terpampang.. Di situlah salah satu parameter kehidupan kita sedang ditentukan.

Suatu saat para shahabat melihat jenazah yang sedang digotong, lalu mereka memuji kebaikannya, maka Rasulullah saw bersabda, ‘pasti.’ Kemudian lewat lagi jenazah yang lain, lalu mereka menyebut-nyebut keburukannya, Beliau bersabda, ‘Pasti.’ Umar bin Khattab bertanya, ‘Apanya yang pasti wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, “Yang kalian sebutkan kebaikannya, pasti masuk surga, sedangkan yang kalian sebutkan keburukannya pasti masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi ini.” (Muttafaq alaih)

Seorang penyair berkata,

إنما المرء حديث من بعده
فكن حديثا حسنا لمن وعى

Seseorang akan menjadi pembicaraan orang-orang sesudahnya, maka jadilah bahan pembicaraan yang baik bagi orang yang mendengarnya.

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Pemahaman Salah Tentang Setan

Syubhat Tentang Wujud Setan 

Ada dua syubhat yang beredar di tengah masyarakat tentang wujud setan:

Pertama, syubhat yang mengatakan bahwa setan sebenarnya tak lebih merupakan simbol keburukan semata, atau bisikan-bisikan buruk yang terdapat dalam jiwa. Jadi wujud setan -menurut pendapat ini- sebenarnya tidak ada.

Pendapat ini banyak beredar di kalangan cendikiawan yang selalu berupaya menyesuaikan ajaran dan prinsip-prinsip Islam dengan logika semata. Maka ketika wujud setan terasa sangat abstrak dalam logika, lahirlah kesimpulan tersebut.

Kedua, syubhat yang secara berlebih-lebihan berupaya mereka-reka wujud setan sedemikian rupa, dengan berbagai bentuk dan keyakinan yang umumnya memberikan kesan menyeramkan.

Syubhat ini umumnya banyak beredar di masyarakat awam akibat dari pengaruh keyakinan-keyakinan tradisional dari keper-cayaan luar Islam. Maka lahirlah cerita-cerita fiktif yang tak jarang menjadi keyakinan tersendiri di sebagian masyarakat; seperti kisah ‘Sundel bolong’, ‘nenek lampir’, ‘si manis Jembatan Ancol’, dsb. Apalagi ketika media cetak atau elektronik mengangkat kisah ini dalam bentuk cerita fiksi atau film.

Dampak Syubhat Tentang Wujud Setan

Kedua syubhat di atas jelas tidak di dukung oleh nash-nash yang ada kecuali kesimpulan akal atau rekaan semata. Selain itu, kedua syubhat tersebut berdampak negatif bagi kaum muslimin dalam mensikapi keberadaan setan.

Yang pertama dapat menimbulkan sikap meremehkan keberadaan setan, dan kemudian akan melemahkan atau menghilangkan sama sekali sikap perlawanan atau mempertahankan diri terhadap sang musuh. Sebab perlawanan atau mempertahankan diri akan tumbuh manakala adanya keyakinan terhadap keber-adaan musuh. Jika tidak, maka sikap tersebut sulit diwujudkan. Berikutnya jelas, sedikit demi sedikit dia akan masuk perangkap setan yang tidak dia sadarinya berupa penyimpangan dan pelanggaran terhadap ajara Allah Ta’ala. [1]

Sebaliknya syubhat kedua, akan membuat seseorang keliru mengantisipasi ketakutannya dan kekhawatirannya terhadap setan. Yang dia takuti hanya akibat dunianya saja, itupun dengan kesimpulan dan pemahaman yang berlebih-lebihan. Sementara itu tipu daya setan yang sangat banyak dan dapat menjerumuskannya dalam kemaksiatan dan kesyirikan tidak pernah dia takuti.

Hal inilah yang sekarang tampak banyak membentuk opini di tengah masyarakat tentang keberadaan setan itu. Ketakutan mereka terhadap setan tidak membuat mereka semakin taat kepada Allah Ta’ala dan bersih aqidahnya, tapi justru semakin menjerumuskan mereka pada perbuatan-perbuatan kemaksiatan bahkan hingga kepada perbuatan syirik dan kufur.

Lantas, bagaimanakah pandangan yang shahih tentang setan? Nantikan, artikel selanjutnya yang berjudul, Pandangan Islam Tentang Setan.

Catatan Kaki:

  1. Madahkhil asy-Syaithan ‘ala ash-Shalihin, DR Abdullah al-Khathir, hal. 4

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha.

Baca Juga: Memohon Perlindungan Allah Ta’ala dari Godaan setan

(Manhajuna/IAN)

Diantara Motivasi Mempelajari dan Memahami Al-Qur’an

Manhajuna.com – Sesungguhnya sebaik-baik pengerahan tenaga, dana dan penghabisan usia adalah untuk menafsirkan Al-Qur’anul-Karim yang merupakan sebaik-baik kalam, sebab dia adalah Kalamullah.

Maka, tafsir adalah ilmu yang paling afdhal (utama) dan paling agung secara mutlak, karena obyek pembahasannya adalah Al-Qur’an.

Imam Syafi’i rahimahullah mengabadikan hal ini dalam sya’irnya,

كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلـَةٌ               إِلاَّ الْحَـــــدِيْثَ وَإِلاَّ الْفِقْهَ فِي الدِّيْنِ

الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْــــــــهِ قَالَ حَـدَّثَنَا             وَمَا سِوَى ذَلِكَ وَسْوَاسُ الشَّيْطَانِ

Semua ilmu selain Al-Quran adalah kesibukan yang kurang berarti, kecuali hadits dan fiqh

Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya ada ucapan: haddatsana (memberitakan kepada kami), sementara selain itu adalah bisikan setan. [1]

Demi ilmu inilah, Masruq bin Al-Ajda’ (wafat th 63 H) dari generasi tabi’in, rela berlelah-lelah menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya untuk mencari penafsiran sebuah ayat.

Suatu ketika ulama asli Yaman yang menetap di Kufah ini pergi ke Basrah ingin menemui seseorang untuk menanyakan penafsiran sebuah ayat. Tapi, sesampainya di Basrah, ia diberitahu bahwa orang yang dia cari telah pergi menuju Syam. Tidak patah semangat, ia pun menyiapkan perbekalan untuk pergi ke Syam untuk menemui orang tersebut sampai akhirnya ia pun mengetahui penafsiran ayat yang dimaksud.[2] Ibarat orang yang ingin meminang wanita idamannya, maka mas kawin semahal apapun terasa murah dan pasti akan diturutinya.

Sesungguhnya, tanpa mengambil petunjuk dari ajaran-ajaran Al-Quran (Ta’alimul Qur’an) maka mengharapkan kebangkitan individu muslim atau umat Islam adalah utopia dan tidak akan terealisir dengan nyata. Dan secara aksiomatis, seseorang tidak mungkin dapat mengamalkan ta’alim ini kecuali setelah memahami Al-Quran dan men-tadabburi-nya.

Dengan kemauan yang kuat dan tindakan yang sungguh-sungguh dalam diri kita untuk belajar memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang diiringi dengan pengamalan, semoga kita jadi tidak termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Imam Ath-Thabari (wafat th 310 H),

“Sesungguhnya aku benar-benar heran kepada orang yang membaca Al-Quran tapi tidak mengetahui tafsirnya, bagaimana ia dapat merasakan kelezatan bacaaannya.” [3]

Catatan kaki:

  1. Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra, As-Subki, 1/297, Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, 10/254
  2. Tafsir Ibnu ‘Athiyah, 1/119, Tafsir Al-Qurthubi, 1/26, dll.
  3. Mu’jamul Udabaa, Yaaqut Al-Hamawi, 18/63, Tafsir Ath-Thabari, 1/6, Siyar A’lam An-Nubala, Az-Zahabi, 14/274

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha. Tulisan di atas dikutip dari Kata Pengantar yang disampaikan oleh Ahmad Qusyairi Suhail, MA

(Manhajuna/IAN)

Jangan Tunggu….

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Jangan tunggu datangnya kehangatan untuk mengusir kedinginan…. segera bangkit dan lawan dingin…. maka akan datang kehangatan….

Jangan tunggu suasana menyenangkan untuk tersenyum… tersenyumlah… kan kau dapatkan suasana menyenangkan…. dapet pahala lagi…

Jangan tunggu limpahan harta untuk menikah…. menikahlah… Allah kan berikan kecukupan… (An-Nur: 32)

Jangan tunggu kaya untuk bersedekah… bersedekahlah… Allah kan berikan harta berlipat-lipat (Al-Baqarah: 261)

Jangan tunggu mendapatkan ilham untuk menulis…. mulailah menulis…. kan banyak kau dapatkan ilham di sela-selanya..

Jangan tunggu orang lain memahami keadaanmu, berupayalah memahami keadaan orang lain.. mereka akan dapat memahami keadaanmu…

Jangan tunggu memiliki ilmu banyak untuk mengajak dan mengajarkan kebaikan… mulailah mengajak dan mengajarkan kebaikan sesuai yang kita ketahui, maka sedikit demi sedikit ilmu kita kan bertambah…

Jangan tunggu suasana tenang untuk melakukan shalat…lakukan shalat untuk mendapatkan ketenangan…Rasulullah saw berkata kepada bilal, “Wahai Bilal… ayo kita cari ketenangan dengan shalat..” (HR. Abu Daud)

Jangan tunggu kebatilan hilang dengan sendirinya…. mulailah bergabung menegakkan kebenaran. Jika kebenaran telah tegak, yang batil kan runtuh…(Al-Isra: 81)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Memohon Perlindungan Allah Ta’ala dari Godaan Setan

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Bacaan ini dikenal dengan istilah Al-Isti’azah (الاستعاذة) atau At-Ta’awwuz (التعوذ), yang berarti memohon perlindungan.

Kalimat isti’azah bukan termasuk bagian dari surat Al-Fatihah. Namun layak dibahas sebagai pembukaan karena dia merupakan bacaan yang dianjurkan untuk dibaca setiap kali hendak mem-baca Al-Quran berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Jika engkau membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari Setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl 98)

﴿ الشيطان ﴾

Berasal dari kata [شَطَنَ], artinya jauh. Karena setan adalah makhluk yang jauh dari kebaikan dan rahmat Allah Ta’ala.

At-Thabari dalam Tafsirnya [1] berkata, “Setan dalam ungkapan orang Arab adalah setiap yang membangkang, baik dari kalangan jin, manusia, hewan atau apa saja.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (QS. Al-An’am: 112).

﴿ الرجيم ﴾

Berasal dari kata [الرَّجْم] artinya rajam atau lempar. Karena setan adalah makhluk yang dilempar dengan bintang-bintang di langit. Perhatikan firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ

“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al-Mulk: 5)

Hal tersebut menunjukkan bahwa setan adalah makhluk yang terusir dan tidak disukai keberadaannya. Dia adalah makhluk yang terkutuk.

Dalam kalimat Isti’azah ini seorang hamba memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala dan kelemahan serta ketidakberdayaan dirinya dalam menghadapi setan yang merupakan musuh paling nyata bagi mereka. Sebab, jika manusia hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri, mereka tidak dapat menghalau berbagai tipu daya setan, karena manusia tidak dapat melihat mereka, sementara mereka dapat melihat manusia, karena itu manusia butuh pertolongan siapa yang dapat melihat mereka yang mereka tidak dapat melihat-Nya, yaitu Allah Ta’ala. [2]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

Secara umum kalimat isti’azah berisi mohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan, agar dia tidak dapat mencelakakan dirinya, baik agama maupun dunianya.

Catatan Kaki:

  1. Tafsir At-Thabari, 1/76.
  2. Tafsir Ibnu Katsir, 1/9

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha

(Manhajuna/IAN)

Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. III)

Al-Harits bin ‘Ashim Al-‘Asy’ary, Abu Malik radhiallahu anhu

Al-‘Asy’ar adalah suku yang terkenal di Yaman, beliau datang menemui Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam bersama orang-orang ‘Asy’-ariyyin. Wafat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab karena penyakit Tha’un. Beliau meriwayatkan 27 hadits dari Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam.

Jabir bin Abdullah Al-Anshary Al-Kazrajy As-Silmy, Abu Abdillah radhiallahu anhu

Masuk Islam sebelum masa hijrah, ikut hadir dalam Ba’iat Aqobah mengikuti bapaknya ketika dia masih kecil. Ikut berjihad bersama Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam sebanyak sembilan belas kali, namun tidak ikut perang Badar dan Uhud karena dicegah bapaknya. Setelah bapaknya terbunuh beliau tidak pernah absen dalam peperangan bersama Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadits, ada 1540 hadits yang beliau riwayatkan. Wafat pada tahun 74 H di Madinah.

Jundub bin Junadah (Abu Zar Al-Ghifari) Ibnu Sufyan bin Abid radhiallahu anhu

Berasal dari suku Ghifar, termasuk shahabat yang pertama masuk Islam. Dikenal dengan kejujurannya. Beliau adalah orang pertama yang diberi salam Islam oleh Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Wafat di Rabzah, tahun 32 H. Dalam kitab-kitab hadits terdapat 281 hadits yang beliau riwayatkan. Beliau meriwayatkan 50 hadits.

Mu’az bin Jabal Al-Anshari Al-Khazrajy, Abu Abdirrahman radhiallahu anhu

Dikenal sebagai shahabat yang paling banyak mengetahui perkara halal dan haram berdasarkan persaksian Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, sebagaimana sabdanya, “Orang yang paling mengetahui perkara halal dan haram dari umatku adalah Mu’az bin Jabal.”

Mu’az dikenal sebagai pemuda tampan, halus budi, santun, pemalu dan dermawan. Masuk Islam pada usia 18 tahun. Ikut serta dalam Baitul Aqabah, perang Badr dan seluruh perang lainnya. Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam mengirimnya ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Wafat ketika usianya masih muda, yaitu pada usia 34 tahun, tahun 18 H, karena penyakit Tha’un yang dideritanya. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 157.

Nawwas bin Sam’an bin Khalid bin Amr Al-Amiry Al-Kulaby radhiallahu anhu

Shahabat yang berasal dari negeri Syam, datang menghadap Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam bersama bapaknya. Lalu tinggal di Madinah selama setahun untuk mendalami agama. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 17.

Nu’man bin Basyir bin Ka’ab Al-Khazrajy Al-Anshary radhiallahu anhu

Beliau dilahirkan pada bulan ke-14 setelah hijrah dan terhitung sebagai kelahiran pertama dari kalangan Anshar setelah Hijrah. Ketika Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam meninggal, beliau baru berusia delapan tahun. Umar bin Khattab memberinya jabatan Gubernur di wilayah Hims. Pada masa pemerin-tahan Yazid bin Mu’awiyah kekuasaan beliau diberikan lagi. Beliau terbunuh di sebuah kampung di negeri Himsh, karena menyerukan bai’at kepada Abdullah bin Zubair, pada tahun 56H.

Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudry, Abu Sa’id radhiallahu anhu

Al-Khudry termasuk marga dalam suku Khazraj. Ditolak ikut dalam perang Uhud karena dianggap masih kecil, sementara bapaknya mati syahid dalam perang tersebut. Setelah itu beliau ikut berperang bersama Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam sebanyak 12 kali. Beliau termasuk ahli fiqh dan ulama di kalangan shahabat. Wafat di Madinah tahun 64 H. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 1170.

Sahal bin Sa’ad As-Sa’idy, Al-Anshary Al-Khazrajy, Abu Al-‘Abbas radhiallahu anhu

Beliau dan bapaknya adalah shahabat Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam. Sebelumnya bernama Huzn (sedih), kemudian Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam ganti namanya menjadi Sahal (mudah). Ketika Nabi wafat usianya baru lima belas tahun. Beliau diberi usia panjang hingga melebihi usia 100 tahun, sempat bertemu Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofy (pada masa Bani Umayyah). Wafat pada tahun 88 H. Hadits yang diriwayatkan seba-nyak 188 H.

Syaddad bin Aus, Ibnu Tsabit Al-Khazraji Al-Anshari radhiallahu anhu

Shahabat agung dari kalangan penguasa. Umar bin Khattab memberinya jabatan sebagai gubernur daerah Hims (Syiria). Ketika Utsman bin ‘Affan, Syaddad menghindar dari fitnah dengan hanya beribadah. Beliau dikenal fasih berbicara, santun dan bijak. Wafat di Al-Quds (Palestina) tahun 58 H.

Sufyan bin Abdullah bin Abu Rabi’ah bin Al-Harits Ast-Tsaqofi radhiallahu anhu

Berasal dari Thaif. Pada masa Umar diangkat sebagai pegawai khalifah untuk wilayah Tha’if. Beliau masuk Islam bersamaan dengan utusan dari Bani Tsaqif yang meng-hadap Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Tamim bin Aus Ad-Dary Ibnu Kharijah radhiallahu anhu

Seorang shahabat agung yang berasal dari negeri Syam, kunyahnya Abu Ruqoyah. Awalnya dia adalah seorang Nasrani, kemudian masuk Islam pada tahun 9 H, lalu menetap di Madinah. Seteleh terbunuhnya Utsman, beliau pindah kembali ke negeri Syam, tepatnya di Baitul Maqdis, Palestina. [1]

Umar bin Khattab Al-Qurasy Al-Adawy, Abu Hafs, Amirul Mukminin radhiallahu anhu

Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebelum masuk Islam dikenal sebagai duta kaum musyrikin dan sangat keras menentang kaum muslimin. Namun setelah dia masuk Islam, kaum muslimin merasakan kelapangan, sebaliknya kaum musyrikin merasa terdesak. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Dahulu kami tidak berani shalat di dekat Ka’bah hingga Umar masuk Islam. Beliau masuk Islam setelah yang masuk Islam terdiri dari empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita pada tahun keenam kenabian dan menyatakannya terang-terangan di hadapan orang-orang Quraisy. Beliau ikut serta dalam semua peperangan bersama Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Dibai’at sebagai khalifah pada saat wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, pada tahun 13 H, sesuai pesan beliau. Pada masa kekua-saannya, negeri Syam dan Iraq berhasil ditundukkan, begitu pula Al-Quds (Palestina), negeri Mada’in, Mesir dan seluruh Jazirah Arab.

Beliau mati syahid setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, orang Majusi, ketika beliau shalat Shubuh, pada tahun 23 H. Namun setelah tikaman tersebut dia masih sempat hidup selama tiga hari.

Uqbah bin Amr bin Tsa’labah bin Asirah bin Athiyah al-Khzrajy al-Anshary, Abu Mas’ud al-Badry radhiallahu anhu

Dikatakan Al-Badry bukan karena ikut perang Badr, tapi karena dia tinggal di daerah Badr. Dia ikut dalam Bai’at Aqabah kedua dan merupakan orang yang paling muda usianya saat itu, kemudian dia ikut perang Uhud dan peperangan sesudahnya. Kemudian beliau tinggal di Kufah dan menjadi kepercayaan Ali bin Abi Thalib. Wafat tahun 42 H.

Wabishah bin Ma’bad bin Malik bin ‘Ubaid Al-‘Asady radhiallahu anhu

Masuk Islam pada tahun 9 H, beliau dikenal sering menangis, tinggal di daerah Riqqah dan wafat di sana. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 11.

Catatan kaki:
  1. Al-Ishabah Fi Tamyiizi Ash-Shahabah, I/367

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

Baca Juga:

Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. I)

Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. II)

(Manhajuna/IAN)

Relasi Dakwah dan Kekuasaan

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Mengamati sejarah para nabi, kita dapatkan ada Nabi yang jadi penguasa/pejabat, ada pula Nabi yang menyampaikan dakwahnya di depan penguasa. Maka, relasi antara dakwah dan kekuasaan, sebagaimana diungkapkan oleh Abul Hasan An-Nadawi, adalah di antara dua; Menyampaikan nilai keimanan kepada orang yg sedang duduk di kursi kekuasaan, atau mengantarkan orang beriman pada kursi kekuasaan.

Yang mana saja dari keduanya yang lebih dahulu sampai dan lebih bermanfaat, maka kita menyambutnya dengan gembira, terlepas apakah kita lebih cenderung pada salah satu dari keduanya.

Berlapang dada, apalagi jika saling membantu dan menyempurnakan dalam hal ini, tentu lebih baik, bukan? ketimbang saling tuding dan menafikan peran masing-masing.

Moga kita selalu diberikan kepahaman dan keikhlasan serta kelapangan dada dalam setiap langkah dakwah dan kehidupan.

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir