Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 20)

Search Results for: abdullah haidir

Antara Penyemai Cinta Dan Penebar Benci

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Cinta membuat hati merekah, benci bikin hati gerah…
Cinta menebar untaian kata indah, benci menebar sumpah serapah..
Cinta menuai pesona, benci menumbuhkan prasangka…
Cinta menawarkan solusi, benci mengulang-ulang kalimat basi..
Cinta mendatangi dan melayani, benci menjauhi dan melucuti…
Cinta datang sambil senyum, pergi berjejak keakraban, benci datang sambil ‘manyun’, pergi berjejak permusuhan…
Cinta, memahat kebaikan saudara dan menutup kesalahannya, Benci, mengaburkan kebaikan saudara dan promosikan kesalahannya…
Cinta tampil dalam raut manis bagai madu, benci hadir dengan raut sinis bagai empedu…
Cinta saat marah tetap santun, benci, santunnya adalah marah..
Cinta menyikapi kesalahan dengan memperbaiki dan menutupi, Benci menyikapi kesalahan dengan caci maki dan mencari-cari…
Cinta berujung nasehat, benci berujung laknat…
Cinta, diamnya menawan, kata-katanya bikin tenteram. Benci diamnya menakutkan, kata-katanya menghunjam…
Saat saudaranya bersalah, komentar pencinta, ‘Perbaiki diri… smoga Allah ampuni..’ . Komentar pembenci, ‘Ini gue cari-cari, celaka sampai mati!”

Tanyakan pada ibu-bapakmu, apakah kau terlahir karena cinta atau karena benci?
Tanyakan pada ibu-bapakmu, apakah kau dirawat dan dibesarkan dengan cinta atau dengan benci?
Tanyakan pada ibu-bapakmu, apakah kini mereka masih mencintaimu atau berubah membencimu?

Jelas sudah, CINTA itu ABADI…. BENCI itu MATI..!!

Riyadh, 1434 H

Tauhid Yang Pertama, Akhlak Juga Utama

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Antara Dua Jargon Dakwah

At-Tauhiid Awwalan… (Tauhid yang pertama), begitu sebuah jargon dakwah yang cukup dikenal di kalangan aktifis dakwah. Menggambarkan pentingnya masalah tauhid dijadikan sebagai tema dakwah yang seharusnya pertama kali disampaikan. Banyak dalil yang dapat diajukan untuk menguatkan sikap ini.

Sementara itu, di sisi lain, sebagian aktifis dakwah lainnya mengusung jargon ‘Akhlaqul karimah’ dalam agenda dakwahnya. Bagi mereka, apapun hasil dari sebuah dakwah haruslah berujung kepada prilaku dan kepribadian menarik, bermanfaat, tidak menyakiti dan merugikan pihak lain. Banyak pula dalil yang diajukan untuk menguatkan sikap ini.

Semestinya, kedua jargon ini dapat saling mengisi dan menguatkan, karena memang begitulah asalnya. Akan tetapi, seringkali yang terjadi dilapangan justru melahirkan polarisasi yang cukup kuat dan tajam, bahkan tak jarang menimbulkan komunitas tersendiri hingga yang berujung pada gesekan dan benturan.

Memang, kalau kita lihat beberapa ayat atau hadits-hadits tentang masalah ini secara terpisah, apalagi jika tidak diimbangi dengan tashawwur (gambaran) utuh tentang sirah bagaimana Rasulullah saw berdakwah, masing-masing pihak akan menemukan pembenarannya.

Pengusung jargon pertama dengan semangat berkobar-kobar berusaha ingin meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan mengembalikan yang menyimpang. Namun kadang abai dengan ucapan yang lembut, pilihan kata yang sesuai dengan situasi dan audiens, ekslusif, abai dengan kedudukan dan kehormatan figur tertentu atau abai menyesuaikan diri dengan psikologi individu atau massa, atau tidak mempedulikan sensitifitas budaya setempat, dst. Sementara pengusung jargon kedua, juga dengan semangat yang berkobar-kobar, ingin menampilkan Islam yang toleran, teduh, inklusif, moderat dan sederet sifat-sifat menyejukkan lainnya. Namun kadang abai dengan perkara tauhid, sering ‘bermain-main’ dengan logika dan perasaan dalam wilayah keyakinan, juga terlalu cair dan ‘meliuk-liuk’ dalam wilayah yang padat dan baku.

Asumsi di atas tentu masih sangat terbuka diperdebatkan batasan-batasannya, akan tetapi adanya polarisasi tersebut, sedikit ataupun banyak, sangat mudah ditangkap oleh siapa saja yang mencermati medan dakwah dengan seksama. Tulisan ini pun bukan untuk membuktikan atau menolak kesimpulan tersebut, tapi lebih ditujukan untuk menjadi entri dalam memahami adanya korelasi erat atau bahkan satu kesatuan yang tak terpisahkan antara tauhid dan akhlak, atau antara akhlak dan tauhid.

Tauhid adalah bagian dari akhlak dan akhlak adalah bagian dari tauhid. Hanya, tauhid biasanya difokuskan pada hubungan seorang hamba kepada Allah, sedangkan akhlak fokus pada hubungan hamba kepada sesama hamba. Tapi kenyataannya, di antara yang sangat menentukan kualitas tauhid seseorang, terkait erat dengan prilakunya terhadap sesama hamba, sementara akhlak yang paling utama dari seorang hamba adalah sikapnya kepada Allah Ta’ala sebagai Pencipta yang tak lain merupakan tauhid itu sendiri.

Atau, mudah-mudahan tidak keliru jika kita meminjam istilah para ulama dalam menyatukan dua istilah berbeda namun saling berkaitan erat (seperti definisi Iman dan Islam), yaitu; izaftaraqaa ijtama’aa wa izajtama’aa iftaraqaa (jika berpisah dia bersatu dan jika bersatu dia berpisah). Maksudnya adalah bahwa istilah ‘tauhid’ jika disebutkan secara terpisah, maka ‘akhlak’ termasuk di dalamnya. Begitu pula ‘akhlak’, jika disebutkan secara terpisah, maka ‘tauhid’ termasuk bagian di dalamnya. Namun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki makna khusus sebagaimana telah disebutkan.

Antara Ketegasan Tauhid Dan Keunggulan Akhlak

Seorang muslim hendaknya berada dalam kondisi seperti ini secara berimbang. Yang satu tidak boleh mengabaikan yang lain. Atau, jangan sampai kita merasa mendapatkan legitimasi terhadap kekurangan pada salah satunya hanya karena kita sudah merasa ideal terhadap lainnya. Seseorang yang memiliki kekeliruan dalam masalah tauhid, jangan merasa masalahnya sepele hanya karena dia merasa akhlaknya baik-baik saja, sebagaimana orang yang bermasalah dalam masalah akhlak, jangan merasa tenang hanya karena dia merasa tauhidnya sudah murni dan mantap. Tidak boleh ada dikotomi pada keduanya. Keberadaan yang satu menguatkan yang lain. Atau, kehilangan salah satunya akan melemahkan yang lain.

Perhatikanlah dakwah Rasulullah saw, apa yang pertama kali dia serukan? Ya, tauhid kepada Allah, beribadah semata kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Tapi perhatikan pula baik-baik, siapa yang pertama kali menerimanya? Tak lain orang-orang terdekatnya yang sudah sangat mengenal kepribadiannya. Pertanda apakah? Pertanda bahwa akhlak beliau sudah dikenal kebaikannya. Sebab masuk Islamnya orang-orang terdekat, setelah hidayah Allah Ta’ala, tak lain karena mereka melihat kepribadian Rasulullah saw yang istimewa. Ini artinya sebuah perpaduan indah dalam sebuah pribadi antara ketegasan tauhid dan keunggulan akhlak.

Karenanya, ketika Rasulullah saw mengadukan kekhawatirannya kepada Khadijah setelah menerima wahyu pertama, Khadijah menghiburnya dengan sesuatu yang bersumber dari akhlaknya yang mulia, “Allah tidak akan menghinakanmu sama sekali, engkau adalah orang yang suka silaturrahim, membantu yang lemah, menghormati tamu dan suka berkontribusi dalam berbagai bidang kebaikan.”

Wujud dari hal tersebut di antaranya tergambar dari pesan Luqman yang Allah abadikan dalam surat Luqman ayat 15, yang berisi pesan untuk tidak menuruti perintah orang tua manakala mereka mengajak kepada kemusyrikan, namun pada saat yang bersamaan, sang anak tetapi diperintahkan untuk mempergauli mereka dengan baik. Ketegasan mempertahankan tauhid yang murni, bukan alasan bagi seorang anak untuk tidak berakhlak mulia terhadap orang tua. Sebaliknya, keinginan untuk menampilkan akhlak menawan, semestinya tidak menghalangi seseorang untuk bersikap tegas, walaupun terhadap orang tua.

Mewujudkan keseimbangan di antara kedua hal ini jelas lebih rumit. Butuh kekuatan hati, sekaligus kelembutannya, kecerdasan akal sekaligus kecerdikannya, ketegasan sikap sekaligus kelenturannya. Secara teoritis hal itu tampak mudah, namun secara praktis, kendala dan tantangan pastinya tidak terhindarkan. Namun betapapun, hal tersebut harus diwujudkan walau sulit dan kadang mengalami kekeliruan. Tak ada jalan lain bagi kita kecuali terus belajar dan berusaha mewujudkan sikap ideal dalam masalah ini, karena disanalah keunggulan dan kemuliaan itu akan terwujud.

Wallahua’lam.

Riyadh, Rabiul Awal 1433 H

Antara Beramal Karena Riya Atau Meninggalkan Karena Takut Riya

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

 

Manhajuna – Penyakit riya (ingin dilihat dan dipuji) begitu halus dibisikkan oleh setan menyelinap di sela-sela amal ibadah kita. Tanpa muhasabah (evaluasi) dan muraqabatullah (merasa terus terpantau oleh Allah) terus menerus, boleh jadi dia telah sekian lama mengiringi dan menghiasi setiap langkah dan amal kita. Karenanya, Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan masalah ini di tengah umatnya.

Beliau bersabda, “Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Ketika beliau ditanya tentang apa itu syirik kecil, beliau bersabda, “Riya.” (HR. Ahmad)

Namun, kekhawatiran seseorang terhadap riya sehingga menghalanginya untuk beramal, juga merupakan bisikan setan dari sisi yang lain. Maka tidak sedikit orang yang enggan melakukan aktifitas kebaikan yang tampak dan terlihat karena takut riya, padahal di sana terdapat manfaat yang besar, baik bagi dirinya ataupun orang lain.

Maka dalam hal ini, upaya setan di antara dua; Seseorang beramal namun disertai riya, sehingga amalnya gugur di sisi Allah, atau dia tidak beramal sama sekali karena takut riya sehingga nilainya sama saja dengan orang yang pertama.

Singkirkan bisikan setan dengan terus beramal  dan selalu waspadai hati dari sikap riya; Itulah ikhlas….

Fudhail bin Iyadh berkata,

تَرْكُ الْعَمَلِ لأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ مِنْهُمَا

“Meninggalkan amal kerena orang lain adalah riya, beramal karena orang lain adalah syirik, dan ikhlash adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)

Allahumma waffiqna bil amalishaalih, warzuqnal ikhlaasha fiihi (Ya Allah, berilah kami taufik untuk beramal saleh, dan karuniakan kami keihklasan di dalamnya)

Riyadh, Rabi’ul Awal 1433

Ziarah Kubur Bagi Wanita

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna – Ada yang bertanya tentang hukum ziarah kubur bagi wanita lengkap dengan dalil-dalilnya….

Hukum berziarah kubur bagi wanita cukup menjadi perdebatan cukup kuat di kalangan para ulama, sejak dulu hingga sekarang. Hal tersebut tak lain karena adanya beragam dalil yang dan beragam pula sudut pandang dalam memahaminya.

Setidaknya ada dua arus utama pendapat dalam masalah ini, yaitu kelompok yang melarangnya dan kelompok yang tetap membolehkannya dan menganggapnya sebagai sunah.

Yang berpendapat bahwa ziarah kubur dilarang bagi wanita adalah jumhur ulama dalam mazhab Maliki, Syaifii dan Hambali. Al-Lajnah Ad-Daimah, dalam kumpulan fatwanya berfatwa dengan pendapat jumhur ulama, begitu pula umumnya para ulama di Arab Saudi.

Sedangkan kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ziarah kubur termasuk disunahkan bagi wanita. Namun, ada juga sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafii dan Ahmad yang berpendapat seperti pendapat mazhab Hanafi.

Pihak yang melarang kaum wanita berziarah kubur berpedoman dengan dua hadits sering dikutip dalam masalah ini, di antaranya;

أَن ّ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ (رواه الترمذي وغيره)

“Sesungguhnya Rasulullah saw melaknat para wanita yang (suka) berziarah kubur.” (HR. Tirmizi dan lainnya)

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ (رواه أبو داود وغيره)

“Rasulullah saw melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur dan mereka yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan meletakkan lampu.” (HR. Abu Daud dan lainnya)

Kedua hadits ini secara jelas menunjukkan kecaman Rasululllah saw terhadap kaum wanita yang berziarah kubur.

Adapun pihak yang tetap menganjurkan ziarah kubur bagi wanita berpedoman pada sejumlah riwayat pula, di antaranya;
Sabda Rasulullah saw:

« نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا (رواه مسلم)

 “Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Hendaklah (sekarang) kalian berziarah kubur,” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Ahmad dan lainnya terdapat tambahan, “Sesungguhnya hal tersebut mengingatkan akhirat”. Hadits ini dipahami bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan. Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang bacaan yang diucapkan ketika seseorang berziarah kubur? Maka Rasulullah saw mengajarkannya untuk membaca,

السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ

Riwayat ini oleh Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim dikatakan sebagai menguatkan bagi orang yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur. Dalam shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menasehati seorang wanita yang menangis di kuburan agar bertakwa kepada Allah dan bersabar. Namun (karena tidak tahu siapa yang menegurnya) wanita tersebut justeru menolak nasehat Rasulullah saw dengan alasan bahwa beliau tidak mendapatkan musibah seperti musibah yang menimpa dirinya… (HR. Bukhari)
Dalam riwayat ini Rasulullah saw hanya menegur sikap wanita tersebtu yang keliru saat berziarah kubur. Tapi beliau tidak menegur dia sebagai wanita yang berziarah kubur. Ini dipahami sebagai taqrir (persetujuan) Rasulullah saw bagi wanita untuk berziarah kubur.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa suatu hari didapatinya Aisyah baru datang dari arah pekuburan. Maka aku katakan kepadanya, “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau datang?” Dia berkata, “Dari kuburan saudaraku, Abdurrahman bin Abu Bakar.” Maka aku berkata kepadanya, “Bukankah Rasulullah saw telah melarang ziarah kubur?” Dia berkata,

نَعَمْ كَانَ نَهَى ، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

“Ya, dahulunya beliau melarang, kemudian beliau memerintahkan untuk menziarahinya.” (HR. Baihaqi)

Terjadi diskusi yang cukup hangat di antara para ulama untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Bagi pihak yang melarang mengatakan bahwa dalil larangan bersumber dari ucapan Rasulullah saw yang jelas dan tegas, bahkan menggunakan kata ‘laknat’. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang membolehkan mereka anggap masih berupa ucapan atau tindakan yang dapat mengandung interpretasi (penafsiran) beragam. Maka dalam hal ini, kesimpulan larangan lebih kuat daripada membolehkan.

Sementara pihak yang membolehkan berpendapat dengan sejumlah kesimpulan;

  • Hikmah berziarah kubur seperti mengingat kematian dan akhirat adalah sesuatu yang dibutuhkan laki-laki dan wanita, maka perintah Rasulullah saw untuk berziarah kubur semesetinya juga berlaku untuk laki-laki dan wanita.
  • Disamping riwayat Aisyah yang bertanya tentang doa ziarah kubur, kemudian dia sendiri yang pulang dari ziarah kubur, serta Rasulullah saw yang menegur wanita yang menangis saat berziarah kubur, menunjukkan sebuah pengamalan dari pemahaman tentang bolehnya berziarah kubur bagi wanita.
  • Adapun terhadap dalil yang dipakai oleh mereka yang melarang ziarah kubur bagi wanita dipahami sebagai batasan berziarah kubur bagi wanita. Yaitu bahwa hadits-hadits larangan itu berlaku apabila wanita yang berziarah kubur mengundang fitnah, misalnya dengan bersolek atau membuka aurat dll, atau dia melakukan perbuatan yang terlarang seperti membangkitkan kesedihan dan menangis tersedu-sedu, sebagaiman umumnya terjadi pada wanita. Atau juga dipahami bahwa larangan tersebut berlaku bagi wanita yang terlalu sering berziarah kubur.
  • Riwayat-riwayat yang disimpulkan sebagai pembolehan ziarah kubur bagi wanita, di anggap sebagai rukhshah (keringanan) atas larangan yang sebelumnya Rasulullah saw berlakukan bagi kaum wanita.
  • Ada juga yang mengkritisi hadits larangan tersebut sebagai hadits yang lemah. Al-Albany memasukkan hadits kedua tentang larangan wanita yang berziarah kubur di atas sebagai hadits lemah dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 225.

Saya lebih memilih pendapat ulama yang pertengahan dalam masalah ini, yaitu bahwa ziarah kubur tidak terlarang bagi wanita, dengan syarat;

  • Tidak menjadi sebab fitnah atau terkena fitnah.
  • Tidak melakukan perbuatan-perbutan yang dilarang.
  • Tidak terlalu sering.

Catatan:

Bagi saya, yang menarik bukan hanya kesimpulan hukumnya. Tapi bagaimana para ulama berupaya keras mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada dan kemudian mendiskusikannya secara ilmiah. Tidak tampak adanya kecaman terhadap pihak lain yang tidak sama terhadap pendapatnya selama pendapatnya didukung oleh dalil dan pandangan yang lurus. Bahkan dalam Mazhab Syafii, seperti dinyatakan oleh Imam Nawawi, para ulamanya berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat, antara yang menganggapnya haram, makruh dan mubah.

Mempelajari perbedaan pendapat dan diskusi di antara para ulama dan bagaimana mereka mengambil kesimpulan dari nash-nash yang ada, akan sangat membantu kita untuk toleran terhadap berbagai perbedaan selama hal tersebut tidak terkait dengan masalah-masalah prinsip dan mendasar. Sehingga ada yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan lezatnya kajian fiqih sebelum dia mengetahui perbedaan-perbedaan di antara mazhab.  Wallahua’lam.

Bagi yang bisa berbahasa Arab, silahkan baca kutipan seorang ulama besar dalam bidang hadits, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Qadir tentang ragam pendapat dalam masalah ziarah kubur bagi kaum wanita. Perhatikan bagaimana keluasan ilmunya, kelapangan dadanya dan bahkan pilihan kata-katanya dalam mengetengahkan perbedaan seperti ini.

Berikut kutipannya;

وَاخْتُلِفَ فِي النِّسَاء فَقِيلَ : دَخَلْنَ فِي عُمُوم الْإِذْن وَهُوَ قَوْل الْأَكْثَر ، وَمَحَلّه مَا إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة وَيُؤَيِّد الْجَوَاز حَدِيث الْبَاب ، وَمَوْضِع الدَّلَالَة مِنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُنْكِر عَلَى الْمَرْأَة قُعُودهَا عِنْد الْقَبْر ، وَتَقْرِيره حُجَّة . وَمِمَّنْ حَمَلَ الْإِذْن عَلَى عُمُومه لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاء عَائِشَة فَرَوَى الْحَاكِم مِنْ طَرِيق اِبْن أَبِي مُلَيْكَة أَنَّهُ رَآهَا زَارَتْ قَبْر أَخِيهَا عَبْد الرَّحْمَن ” فَقِيلَ لَهَا : أَلَيْسَ قَدْ نَهَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ ؟ قَالَتْ نَعَمْ ، كَانَ نَهَى ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا ” وَقِيلَ الْإِذْن خَاصّ بِالرِّجَالِ وَلَا يَجُوز لِلنِّسَاءِ زِيَارَة الْقُبُور ، وَبِهِ جَزَمَ الشَّيْخ أَبُو إِسْحَاق فِي ” الْمُهَذَّب ” وَاسْتَدَلَّ لَهُ بِحَدِيثِ عَبْد اللَّه بْن عَمْرو الَّذِي تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَة إِلَيْهِ فِي ” بَاب اِتِّبَاع النِّسَاء الْجَنَائِز ” وَبِحَدِيثِ ” لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور ” أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيّ وَصَحَّحَهُ مِنْ حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة ، وَلَهُ شَاهِد مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاس وَمِنْ حَدِيث حَسَّان بْن ثَابِت . وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِالْكَرَاهَةِ فِي حَقّهنَّ هَلْ هِيَ كَرَاهَة تَحْرِيم أَوْ تَنْزِيه ؟ قَالَ الْقُرْطُبِيّ : هَذَا اللَّعْن إِنَّمَا هُوَ لِلْمُكْثِرَاتِ مِنْ الزِّيَارَة لِمَا تَقْتَضِيه الصِّفَة مِنْ الْمُبَالَغَة ، وَلَعَلَّ السَّبَب مَا يُفْضِي إِلَيْهِ ذَلِكَ مِنْ تَضْيِيع حَقّ الزَّوْج وَالتَّبَرُّج وَمَا يَنْشَأ مِنْهُنَّ مِنْ الصِّيَاح وَنَحْو ذَلِكَ ، فَقَدْ يُقَال : إِذَا أُمِنَ جَمِيع ذَلِكَ فَلَا مَانِع مِنْ الْإِذْن لِأَنَّ تَذَكُّر الْمَوْت يَحْتَاج إِلَيْهِ الرِّجَال وَالنِّسَاء .

Wallahua’lam…

Riyadh, 1433 H.

Pelajaran Di Balik Peristiwa Isra Mi’raj

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Isra Mi’raj termasuk salah satuperistiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Rasulullah SAW. Banyak makna yang terkandung dalam peristiwa ini besar ini. Namun sayang hal tersebut sering terhalangi oleh berbagai pemahaman dan pengamalan yang tidak berdasar.

Berikut ini, pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut.

1. Di antara hikmah perjalanan Isra Mi’raj sebagaimana dinyatakan para ulama adalah untuk menghibur Rasulullah SAW yang saat itu mengalami duka cita mendalam karena ditinggal orang-orang terdekatnya, yaitu Abu Thalib dan Khadijah RA.

Hal tersebut memberikan pelajaran bahwa dakwah di jalan Allah Ta’ala, meskipun sangat berat, penuh halangan dan rintangan, namun dibalik itu Allah sediakan balasan  dan kebahagiaan yang langsung dapat diarasakan dalam kehidupannya sebelum balasan di akhirat. Banyak hal yang didapatkan ketika seseorang ikhlas berada dalam ‘gerbong dakwah’. Hal mana tidak dia dapatkan pada selainnya. Dalam perjuangan di jalan Allah, akan terasa manisnya keimanan, indahnya persaudaraan, nikmatnya aktifitas dalam berbagai kegiatan, optimisme kehidupan dan dekatnya pertolongan.

2. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat sebagai imam diikuti oleh para nabi sebelumnya.

Hal tersebut menunjukkan kepemimpinan Rasulullah SAW di hadapan para nabi. Sekaligus berisi pesan tentang misi dakwah Rasulullah SAW yang bersifat universal.  Bukan hanya untuk satu suku dan golongan, tetapi untuk semua umat manusia. Semua ajarannya berlaku untuk semua bangsa dan golongan serta dapat direalisasikan.
Adalah keliru pandangan yangmengidentikkan Islam dengan Arab atau Arab dengan Islam. Meskipun tidak dipungkiri bahwa Rasulullah SAW diutus di negeri Arab dan Quran diturunkan dengan bahasa Arab sedangkan negeri-negeri Arab serta bangsa Arab menjadi pusatpenyebaran Islam.

Hal ini pada gilirannya menuntut kita untuk memiliki bekal yang mumpuni tentang ajaran Islam, sehingga dapat memilah mana yang sesungguhnya merupakan ajaran Islam dan mana yang sekedar adat atau budaya lokal saja. Agar jangan sampai lagi ada kaum muslimin yang mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab sedangkan ‘Irama Padang Pasir’ justru diperdengarkan sebagai pembuka pengajian (karena dianggap bagian dari Islam).

3. Isra Mi’raj merupakan merupakan isyarat bahwa faktor utama kemenangan kaum muslimin terhadap musuhnya adalah kuatnya hubungan dia kepada Allah Ta’ala (Quwwatushshilah billah). Kita tidak menafikan kebutuhan terhadap faktor-faktor yang bersifat materi, namun pangkal dari semua ituadalah kekuatan hubungan kepada Allah.

Pada peristiwa ini, tampaksekali dekatnya hubungan Rasulullah SAW kepada sang Khaliq, bahkan kedekatan tersebut diperjelas dengan diangkatnya beliau menemui-Nya dan kemudian menerima perintah langsung ibadah shalat sebagai media untuk menjaga hubungan kepada Allah. Sehingga seorang ulama mengatakan bahwa shalat adalah Mi’rajul Mu’min,naiknya ruh seorang mukmin untuk menghadap Allah Ta’ala.

Karena itu dalam sirah Rasulullah SAW, kita dapatkan bahwa setelah peristiwa Isra Mi’raj, terjadi peristiwa Baiatul Aqabah pertama, beberapa pemuda Madinah berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk menerima Islam dan siap mendakwahkannya dengan berbagai resiko yang akan mereka tanggung. Peristiwa ini kemudian menjadi  tonggak utama bagi eksisnya Islam di Madinah kemudian hari, dan berikutnya menjadi pintu bagi tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia.

4. Isra Mi’raj merupakan ujian keimanan setiap muslim untuk mempercayai apa yang dibawa Rasulullah SAW. Sebab peristiwa sebesar ituhanya dapat diterima dengan bahasa keimanan dan keyakinan. Itulah sesungguhnya inti dari aqidah; Meyakini tanpa keraguan.  Bagi seorang muslim jika berita tersebut benar bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidaka ada peluang bagi dirinya kecuali menerimanya dengan penuh keyakinan, tidak ada yang mustahil dalamkekuasaan Allah Taala.

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakarash-Shiddiq RA ketika tanpa ragu dia menyatakan keimanannya terhadap apa yang dialami Rasulullah SAW. Maka ketika orang-orang ingin mengetahui sikapnya tentang peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW, tanpa ragu beliau langsung menjawab, “Jika benar itu dari Rasulullah, lebih dari itu aku akan percaya!”Karena itu dia dijuluk Ash-Shiddiq (yang membenarkan).

Aqidah dan ajaran dalam Islam tidak bertentangan dengan akal sehat, namun bukan berarti keimanan kita terhadap aqidah Islam bergantung dengan logika.

5. Setelah menempuh perjalanan yang sangat fantastis, penuh keagungan dan kebesaran Allah, diperlihatkannya surga dan neraka, namun akhirnya Rasulullah saw kembali ke bumi di tengah masyarakatnya.

Hal ini memberikan pelajaran bagi seorang muslim, bahwa siapapun yang ingin mengamalkan dan mendakwahkan ajaran Islam, hendaknya dia harus hidup di tengah masyarakatnya dengan segala problematika dan permasalahannya. Islam tidak hanya cukup ditampilkan kebesarannya di atas podium, mimbar, dan kitab-kitab, tetapi kebesarannya harus mampu ditampilkan dalam kehidupan nyata. Dan itu hanya dapat dilakukan ketika semua muslim hidup di tengah masyarakatnya dan bergelut dalam kesehariannya seraya tetap membawa nilai-nilai Islam dalam semua aspek kehidupannya.

Tampilan Rasulullah SAW dalam dakwahnya sungguh-sungguh merupakan tampilan manusia biasa yang berada ditengah-tengah masyarakatnya, beliau menahan lapar, terluka, bersembunyi, memakai baju perang, masuk ke pasar, jalan ke lorong-lorong, menyelesaikan pertikaian antar pribadi atau rumah tangga, dsb.

6. Isra Miraj memiliki pesan yang sangat dalam tentang ketekaitan erat Masjidil Aqsha dalam hati umat Islam. Singgahnya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha dalam perjalanan Isra Mi’raj tentu bukan peristiwa yang dapat dianggap sambil lalu, kecuali dia memiliki kedudukan istimewa di tengah kaummuslimin.

Masjid yang hingga kini masih saja berada dalam kekuasaan kaum Yahudi menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk memiliki perhatian khusus terhadapnya. Karena jatuhnya salah satu tempat suci kaum muslimin di tangan Yahudi menjadi tanggung jawab tersendiri bagi kaum muslimin untuk membebaskannya.

Pihak Yahudi berupaya sekuat tenaga agar masalahal-Aqsha disempitkan sebagai masalah Timur Tengah, kemudian dipersempit lagi menjadi masalah bangsa Arab, lalu dipersempit lagi menjadi masalah bangsa Palestina.Itu jelas menyesatkan, karena sesungguhnya masalah al-Aqsha adalah masalah kaum muslimin secara keseluruhan apapun ras dan suku bangsanya.

Karena itu, walau sekecil apapun, harus ada kontribusi yang dapat diberikan seorang muslim untuk kebebasan Al-Aqsha dan bumi Palestina dari cengkraman tangan-tangan Yahudi yang dimurkai Allah. Walau sekedar untaian doa di sela-sela kekhusyuan ibadah kita kepada-Nya.

Wallahua’lam…

Riyadh, Rajab 1434 H.

Pelajaran Di Balik Peristiwa Isra Mi’raj…
by Abdullah Haidir (Notes) on Tuesday, June 4, 2013 at 11:36am

Isra Mi’raj termasuk salah satuperistiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Rasulullah saw Banyak makna yangterkandung dalam peristiwa ini besar ini. Namun sayang hal tersebut seringterhalangi oleh berbagai pemahaman dan pengamalan yang tidak berdasar.

Berikut ini, pelajaran yangdapat kita ambil dari peristiwa tersebut.

1. Di antara hikmah perjalanan Isra Mi’raj sebagaimanadinyatakan para ulama adalah untuk menghibur Rasulullah saw yang saat itumengalami duka cita mendalam karena ditinggal orang-orang terdekatnya, yaituAbu Thalib dan Khadijah ra.

Hal tersebut memberikanpelajaran bahwa dakwah di jalan Allah Ta’ala, meskipun sangat berat, penuhhalangan dan rintangan, namun dibalik itu Allah sediakan balasan  dan kebahagiaan yang langsung dapat diarasakan dalam kehidupannya sebelum balasan di akhirat. Banyak hal yangdidapatkan ketika seseorang ikhlash berada dalam ‘gerbong dakwah’. Hal manatidak dia dapatkan pada selainnya. Dalam perjuangan di jalan Allah, akan terasamanisnya keimanan, indahnya persaudaraan, nikmatnya aktifitas dalam berbagaikegiatan, optimisme kehidupan dan dekatnya pertolongan.

2. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah sawmelakukan shalat sebagai imam diikuti oleh para nabi sebelumnya.

Hal tersebut menunjukkan kepemimpinan Rasulullah sawdi hadapan para nabi. Sekaligus berisi pesan tentang misi dakwah Rasulullah sawyang bersifat universal.  Bukan hanyauntuk satu suku dan golongan, tetapi untuk semua umat manusia. Semua ajarannyaberlaku untuk semua bangsa dan golongan serta dapat direalisasikan.

Adalah keliru pandangan yangmengidentikkan Islam dengan Arab atau Arab dengan Islam. Meskipun tidak dipungkiribahwa Rasulullah saw diutus di negeri Arab dan al-Quran diturunkan denganbahasa Arab sedangkan negeri-negeri Arab serta bangsa Arab menjadi pusatpenyebaran Islam.

Hal ini pada gilirannyamenuntut kita untuk memiliki bekal yang mumpuni tentang ajaran Islam, sehinggadapat memilah mana yang sesungguhnya merupakan ajaran Islam dan mana yang sekedaradat atau budaya lokal saja. Agar jangan sampai lagi ada kaum muslimin yangmengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab sedangkan ‘Irama Padang Pasir’justru diperdengarkan sebagai pembuka pengajian (karena dianggap bagian dariIslam).

3. Isra Mi’raj merupakan merupakan isyarat bahwafaktor utama kemenangan kaum muslimin terhadap musuhnya adalah kuatnya hubungandia kepada Allah Ta’ala (Quwwatushshilah billah). Kita tidak menafikan kebutuhanterhadap faktor-faktor yang bersifat materi, namun pangkal dari semua ituadalah kekuatan hubungan kepada Allah.

Pada peristiwa ini, tampaksekali dekatnya hubungan Rasulullah saw kepada sang Khaliq, bahkan kedekatantersebut diperjelas dengan diangkatnya beliau menemui-Nya dan kemudian menerimaperintah langsung ibadah shalat sebagai media untuk menjaga hubungan kepadaAllah. Sehingga seorang ulama mengatakan bahwa shalat adalah Mi’rajul Mu’min,naiknya ruh seorang mukmin untuk menghadap Allah Ta’ala.

Karena itu dalam sirahRasulullah saw, kita dapatkan bahwa setelah peristiwa Isra Mi’raj, terjadiperistiwa Baiatul Aqabah pertama, beberapa pemuda Madinah berbaiat kepadaRasulullah saw untuk menerima Islam dan siap mendakwahkannya dengan berbagairesiko yang akan mereka tanggung. Peristiwa ini kemudian menjadi  tonggak utama bagi eksisnya Islam di Madinahkemudian hari, dan berikutnya menjadi pintu bagi tersebarnya Islam ke seluruhpenjuru dunia.

4. Isra Mi’raj merupakan ujian keimanan setiap muslimuntuk mempercayai apa yang dibawa Rasulullah saw. Sebab peristiwa sebesar ituhanya dapat diterima dengan bahasa keimanan dan keyakinan. Itulah sesungguhnyainti dari aqidah; Meyakini tanpa keraguan.  Bagi seorang muslim jika berita tersebut benarbersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidaka ada peluang bagi dirinyakecuali menerimanya dengan penuh keyakinan, tidak ada yang mustahil dalamkekuasaan Allah Taala.

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakarash-Shiddiq ra ketika tanpa ragu dia menyatakan keimanannya terhadap apa yangdialami Rasulullah saw. Maka ketika orang-orang ingin mengetahui sikapnyatentang peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah saw, tanpa ragu beliau langsungmenjawab, “Jika benar itu dari Rasulullah, lebih dari itu aku akan percaya!”Karena itu dia dijuluk Ash-Shiddiq (yang membenarkan).

Aqidah dan ajaran dalam Islamtidak bertentangan dengan akal sehat, namun bukan berarti keimanan kitaterhadap aqidah Islam bergantung dengan logika.

5. Setelah menempuh perjalanan yang sangat fantastis,penuh keagungan dan kebesaran Allah, diperlihatkannya surga dan neraka, namunakhirnya Rasulullah saw kembali ke bumi di tengah masyarakatnya.

Hal ini memberikan pelajaranbagi seorang muslim, bahwa siapapun yang ingin mengamalkan dan mendakwahkanajaran Islam, hendaknya dia harus hidup di tengah masyarakatnya dengan segalaproblematika dan permasalahannya. Islam tidak hanya cukup ditampilkankebesarannya di atas podium, mimbar, dan kitab-kitab, tetapi kebesarannya harusmampu ditampilkan dalam kehidupan nyata. Dan itu hanya dapat dilakukan ketikasemua muslim hidup di tengah masyarakatnya dan bergelut dalam kesehariannyaseraya tetap membawa nilai-nilai Islam dalam semua aspek kehidupannya.

Tampilan Rasulullah saw dalamdakwahnya sungguh-sungguh merupakan tampilan manusia biasa yang berada ditengah-tengah masyarakatnya, beliau menahan lapar, terluka, bersembunyi,memakai baju perang, masuk ke pasar, jalan ke lorong-lorong, menyelesaikanpertikaian antar pribadi atau rumah tangga, dsb.

6. Isra Miraj memiliki pesan yang sangat dalam tentangketekaitan erat Masjidil Aqsha dalam hati umat Islam. Singgahnya Rasulullah sawdi Masjidil Aqsha dalam perjalanan Isra Mi’raj tentu bukan peristiwa yang dapatdianggap sambil lalu, kecuali dia memiliki kedudukan istimewa di tengah kaummuslimin.

Masjid yang hingga kini masih saja berada dalamkekuasaan kaum Yahudi menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam untukmemiliki perhatian khusus terhadapnya. Karena jatuhnya salah satu tempat sucikaum muslimin di tangan Yahudi menjadi tanggung jawab tersendiri bagi kaummuslimin untuk membebaskannya.

Pihak Yahudi berupaya sekuat tenaga agar masalahal-Aqsha disempitkan sebagai masalah Timur Tengah, kemudian dipersempit lagimenjadi masalah bangsa Arab, lalu dipersempit lagi menjadi masalah bangsa Palestina.Itu jelas menyesatkan, karena sesungguhnya masalah al-Aqsha adalah masalah kaummuslimin secara keseluruhan apapun ras dan suku bangsanya.

Karena itu, walau sekecil apapun, harus ada kontribusiyang dapat diberikan seorang muslim untuk kebebasan Al-Aqsha dan bumi Palestinadari cengkraman tangan-tangan Yahudi yang dimurkai Allah. Walau sekedar untaiandoa di sela-sela kekhusyuan ibadah kita kepada-Nya.

Wallahua’lam…

Riyadh, Rajab 1434 H.

Tentang Qadha, Fidyah dan Kafarat Dalam Puasa

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

 

Manhajuna – Bagi orang yang uzur tidak berpuasa di bulan Ramadan, diwajibkan baginya mengqadha puasanya di hari-hari lain sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah: 185.

Waktu qadha puasa terbuka hingga menjelang Ramadan berikutnya. Berdasarkan ucapan Aisyah yang baru sempat mengqadha puasanya di bulan Sya’ban karena sibuk mengurusi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun jika dilakukan lebih cepat, akan lebih baik.
Qadha puasa dapat dilakuakn sekaligus terus menerus sesuai jumlah puasa yang ditinggalkan atau berangsur-angsur.

Orang yang sudah mulai berpuasa qadha Ramadan, maka dia tidak boleh mebatalkannya di tengah hari kecuali uzur syar’i. Puasa qadha adalah puasa wajib dan bukan puasa sunah yang dapat dibatalkan begitu saja di pertengahannya. Orang yang sudah mulai melakukan ibadah yang wajib, harus dituntaskan, tidak boleh dihentikan di pertengahan kecuali ada uzur syar’i.

Qadha hendaknya didahulukan dari puasa sunah Syawal. Akan tetapi, jika puasa Syawal dahulu sebelum menunaikan qadha, apakah pahala puasanya didapatkan? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian berpendapat bahwa puasa Syawal tidak berguna sebelum seseorang mengqadha puasa Ramadan yang tertinggal, karena puasa Syawal terkait dengan puasa Ramadan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa puasa Syawal tetap didapatkan keutamaannya, walaupun seseorang belum puasa qadha, karena pada hakekatnya puasa qadha diberi keluangan waktu menunaikannya hingga Ramadan berikutnya, sedangkan puasa Syawal terbatas pada bulan Syawal.

Jika hingga Ramadan berikutnya seseorang tidak juga membayar qadha puasa Ramadan sebelumnya, jika hal itu terjadi karena sebab yang membuatnya tidak dapat melakukan qadha sebelum bertemu Ramadan berikutnya, maka dia tidak berdosa, cukup baginya mengqadha puasanya. Namun jika hal itu terjadi karena kelalaiannya, artinya sebenarnya dia mampu mengqadha sebelum datang Ramadan berikutnya, maka dia berdosa dan mohon ampun karenanya. Kemudian dia wajib mengqadhanya. Jumhur ulama berpendapat bahwa selain mengqadha diapun harus mengeluarkan fidya berupa memberi seorang  miskin untuk setiap hari puasa yang belum dia qadha. Hal ini didasari pada riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah dalam masalah ini. Adapula ulama yang berpendapat tidak diwajibkan membayar fidyah berdasarkan zahir ayat yang hanya mewajibkan qadha bagi orang yang uzur berpuasa Ramadan. Setidaknya jika fidyah dilakukan bersama qadha, akan lebih hati-hati. Wallahua’lam.

Jika seseorang meninggal dunia, dalam keadaan dia memiliki qadha puasa yang belum ditunaikan, maka dilihat, jika sebelum meninggal dia terus memiliki uzur untuk mengqadha puasanya, seperti sakit terus misalnya, maka dia tidak memiliki kewajiban apa-apa, tidak wajib dipuasakan dan tidak wajib difidyahkan, karena pada hakekatnya dia tidak punya kewajiban puasa. Tapi jika sebelum meninggal dia sebenarnya mampu mengqadha, namun dia tunda-tunda, maka dalam hal ini sebaiknya ahli warisnya atau kerabatnya berpuasa untuknya. Berdasarkan hadits muttafaq alaih, “Siapa meninggal dalam keadaan memiliki kewajiban puasa, maka walinya (kerabatnya) hendaknya berpuasa untuknya.” (Muttafaq alaih)

Jika seseorang ragu jumlah hari yang dia tidak berpuasa, 6 atau 7 hari misalnya. Maka diambil yang lebih sedikit, karena sedikit itu yang yakin, dan hukum asalnya bahwa seseorang tidak terkena kewajiban. Akan tetapi jika dia mengambil yang terbanyak untuk kehati-hatian, itu juga baik. Jika dia tidak ingat sama sekali jumlah harinya, maka dikira-kira berdasarkan dugaan terkuat.
Membayar kafarat dalam bab puasa, berdasarkan zahir dalil yang ada, hanya berlaku bagi mereka yang melakukan jimak di siang hari Ramadan dengan sadar. Yaitu kafarat mughalazah (berat); Memerdekakan budak, jika tidak mampu, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka yang makan dan minum dengan sengaja juga harus dikenakan kafarat, karena pada hakekatnya sama, yaitu merusak kesucian bulan Ramadan. Akan tetapi, pendapat kedua ini tidak dilandasi dalil yang kuat  selain argumen tersebut.

Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa Ramadan, apakah wajib qadha? Terdapat perbedaan pendapat para ulama dlam masalah ini. Sebagian mengatakan wajib qadha saja, sebagian mengatakan wajib qadha dan fidyah jika dia khawatir terhadap anaknya saja, dan sebagian berpendapat bahwa dia wajib fidyah saja. Permasalahannya adalah apakah wanita hamil disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh ataukah dengan orang tua renta atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh? Yang lebih dekat adalah bahwa dia disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh, maka dia diwajibkan untuk mengqadhanya. Disamping ada dalil lain dalam masalah ini. Wallahua’lam.

Adapun fidyah, berlaku bagi orang yang tak mampu puasa karena tua renta atau sakit yang tidak ada harapan sembuh, berdasarkan penafsiran mu’tabar terhadap surat Al-Baqarah: 184. Maka untuk setiap hari yang dia tidak berpuasa, dia memberi maka satu orang miskin. Bisa dalam bentuk mentah dengan mengeluarkan setengah sha (sekitar 1,5 kg makanan pokok) atau dengan memasaknya hingga siap dimakan lalu diberikan kepada orang miskin.

Fidyah juga, sebagaimana telah disebutkan, berlaku bagi orang yang terlambat membayar qadha hingga Ramadan berikutnya dan wanita hamil serta menyusui, sesuai perbedaan pendapat ulama yang ada dalam masalah tersebut.
Wallahu a’lam.

Riyadh, 1433

Silaturrahim

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Definisi dan Kedudukan

Kalimat ini terdiri dari dua kata, silah(صلة)  yang berarti menyambung,dan rahim (الرحم) berarti  kerabat. Maka silaturrahim dengan sederhanadiartikan sebagai upaya menyambung kekerabatan dengan berbagai tindakankebajikan.

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim(2/201), berkata,

صِلَةُ الرَّحِمِ هِيَ الإِحْسَانُإِلَى اْلأَقَارِبِ عَلَى حَسَبِ الْوَاصِلِ الْمَوْصُولِ ؛ فَتَارَةً تَكُونُبِالْمَالِ ، وَتَارَةً تَكُونُ بِالْخِدْمَةِ ، وَتَارَةً تَكُونُ بِالزِّيَارَةِ، وَالسَّلاَمِ ، وَغَيْرُ ذَلِك

“Silaturrahimadalah berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi orang yang menyambung danyang disambung; Kadang dengan harta, kadang dengan pelayanan, kadang dengankunjungan, atau menyampaikan salam, dan selainnya.”

Perintah Silaturrahim telah  nyata diperintahkan dalam Al-Quran dan hadits,

وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيتَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ (سورة النساء: 1)

Danbertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu salingmeminta satu sama lain, dan peliharah hubungan silaturrahim.”(QS. An-Nisa: 1)

Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya, FathulQadir, mengutip ucapan Al-Quthubi yang berkata, “Semua agama sepakattentang wajibnya silaturrahim, dan memutusnya diharamkan.” (FathulQadir, 1/626)
Rasulullah saw bersabda,

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِتَقُولُ مَنْ وَصَلَنِى وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِى قَطَعَهُ اللَّهُ  (متفق عليه)

“Ar-Rahim(kekerabatan) bergantung di Arasy, dia berkata, “Siapa yang menyambungku,maka Allah akan menyambungnya, siapa yang memutusku, maka Allah akanmemutusnya.” (Muttafaq alaih)

Dalam sebuah hadits yang cukup dikenal,Rasulullah saw berabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِىرِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ  (رواه أبو داود)

“Siapayang senang rizkinya dibentangkan dan umurnya dipanjangkan, hendaknya diabersilatur-rahim.” (HR. Abu Daud)

Siapa Yang Dimaksud Kerabat?

Para ulama berbeda pendapat batasan kerabatyang wajib untuk kita pelihara hubungan baiknya. Ada yang berpendapat bahwakerabat yang dimaksud  adalah yangtergolong sebagai mahram, ada juga yang berpendapat bahwa kerabat yang dimaksudadalah yang menjadi ahli waris. Namun yang paling kuat, bahwa kerabat yangdimaksud adalah yang memiliki hubungan pertalian darah, baik dekat maupun jauh.Hanya saja, semakin dekat hubungan kekerabatannya, semakin besar tuntutan untukmenjaga hubungan baik denganya.

Yang paling utama dan paling diperintahkantentu saja adalah silaturrahim kepada kedua orang tua. Bahkan terhadap orangtua ini, tingkatannya dinaikkan, dari silah (الصلة); Menjaga hubunganbaik, menjadi birr (البر); Berbakti. Maka kemudian dikenal dengan istilah BirrulWalidain. Di   antara   kedua orang tua, yang paling utama untukdiperlakukan dengan baik adalah; Ibu, sebagaimana disebutkan dalam sebuahhadits.

Adapun keluarga isteri atau suami, merekatidak dimasukkan kerabat dalam bab ini. Namun kedua pihak; suami isteri,dituntut untuk berbuat baik kepada keluarga pasangan masing-masing danmembantunya serta memberi kemudahan kepada pasangannya untuk agar dapatbersilaturahim dengan kerabatnya.

Bagaimana Bersilaturrahim?

Menjalinsilaturahim dengan kerabat dapat dilakukan sesuai kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat, karena perkara tersebut tidak dijelaskan dalam Al-Quran danSunah, baik macam, jenis maupun ukurannya. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membatasi hal tersebut dengan perkara tertentu. Tapi beliaumenyebutkan secara mutlak. Karena itu, perkara ini dikembalikan kepadakebiasaan. (Syarh Riyadhusshalihin, 5/215)

Bentuk-bentuk silaturahim;

  1. Mengunjungiatau menjamu mereka.
  2. Menanyakankeadaan mereka dan mengucapkan salam kepada mereka.
  3. Memberikanharta. Apakah dalam bentuk sadaqah jika kerabat tersebut membutuhkan, ataudalam bentuk hadiah jika dia tidak membutuhkan. Terdapat riwayat dari Nabi saw,beliau bersabda,

    (إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِصَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ (رواه النسائيوالترمذي

    “Sesungguhnya, sadaqah terhadap orang miskinbernilai sadaqah. Sedangkan sadaqah terhadap kerabat bernilai dua; sadaqah dansilaturrahim.” (HR.Nasai dan Tirmizi)

  4. Menghormati yang tua dan menyayangiyang lemah.
  5. Menempatkan mereka sesuaikedudukannya.
  6. Berpartisipasi dalam kegembiraanmereka dengan memberikan selamat, atau menghibur mereka jika bersedih.
  7. Menjenguk mereka jika sakit ataumengantarkan jenazah mereka.
  8. Memenuhi undangan mereka jika merekamengundang dan tidak ada halangan untuk menghadiri, kecuali jika memiliki uzur.
  9. Lapang dada terhadap mereka, janganmenyimpan dengki terhadap mereka.

Bagaimana Jika Mendapat PerlakuanBuruk Dari Kerabat?

Silaturrahim tetap dianjurkanwalaupun kita mendapat perlakuan buruk dari kerabat. Bahkan, jika seseorangdapat sabar menghadapi hal ini dengan terus berusaha menjaga silaturrahimnya,inilah silaturrahim yang paling utama.

Rasulullah saw bersabda,

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِوَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Tidakdikatakan bersilaturrahim berdasarkan balas budi, tapi yang dikatakanbersilaturrahim adalah orang yang apabila hubungannya diputus, diamenyambungnya.” (HR. Bukhari)

Seorang shahabat pernah mengadukankepada Rasulullah saw tentang kerabatnya yang telah dia upayakan menyambunghubungan dan berbuat baik kepada mereka. Akan tetapi mereka justeru berusamemutusnya dan memperlakukannya dengan buruk. Maka Rasulullah saw katakana,

لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَفَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌعَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Kalaukamu seperti yang engkau katakan, maka seakan-akan engkau menyuapkannya debupanas. Allah akan membelamu selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim)

*) Disampaikan pada pengajian bulanan di KBRI Riyadh

Rumah Ideal

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

 

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيء

“Empat faktor kebahagiaan; Wanita (isteri) shalihah, rumah yang lapang, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al-Arna’uth)

Hadits ini memberikan isyarat tentang 4 faktor rumah yang ideal;

1.  Penghuninya saleh

Penghuninya adalah orang-orang yang beriman kuat dan taat beribadah serta selalu tebar pesona dengan akhlak mulia. Rasulullah saw mengajarkan agar jangan menjadikan rumah kita seperti kuburan yang tidak dilaksanakan ibadah di dalamnya. Dianjurkan agar kita shalat sunnah di rumah dan membaca Al-Quran di dalamnya serta berbagai aktifitas ketaatan lainnya. Juga diajarkan agar setiap anggota keluarga memperlakukan anggota keluarga lainnya dengan baik, suami terhadap isteri dan isteri terhadap suami, orang tua terhadap anak-anak, dan anak terhadap orang tua.

2.   Desain rumahnya layak
 
Di sini Rasulullah saw memesankan agar rumah kita lapang. Menjadi ruang nyaman untuk berteduh dan kembali dari kepenatan di luar serta nyama untuk bercengkrama. Rumah sebaiknya dapat menjaga privacy dari pandangan luar. Juga ada ruang privacy di dalam, karenanya diajarkan agar ruang orang tua terpisah dengan ruang anak. Tempat tidur anak-anak terpisah satu sama lain. Jika berlainan jenis, ruangnya juga sebaiknya terpisah, dll. Namun segala sesuatu disesuaikan dengan kemampuan.

3-   Lingkungannya baik

Rumah sebagus apapun, jika lingkungannya tidak sehat, tidak akan membuat penghuninya betah. Cari lingkungan yang baik bagi tempat tinggal kita. Atau kalau tidak, hendaknya berperan aktif menciptakan lingkungan yang baik dengan berdakwah dan berbagai agenda sosial yang positif. Disinilah hikmah ajaran Islam agar kita berbuat baik dengan tetangga dan berdakwah kepada lingkungan terdekat.

4-   Fasilitas memadai

Disini disimpulkan dengan kendaraan yang nyaman. Intinya adalah bagaimana agar berbagai fasilitas yang ada dapat membantu mobilitas dan aktifitas kita sehari-hari. Tidak ada masalah dengan berbagai fasilitas modern kalau semua itu dapat membantu mobilitas dan aktifitas positif kita. Di sini penting setiap anggota keluarga menyibukkan diri dengan berbagai agenda positif, dengan begitu maka berbagai fasilitas akan terbawa dan termanfaatkan untuk hal-hal yang positif dan semakin menambah nilai pahala. Berbeda jika berbagai fasilitas moderen tersedia, namun penghuninya minim dari agenda positif, akibatnya semua itu hanya menjadi sarana hura-hura dan leha-leha, bahkan bisa jadi menjadi sarana keburukan dan kemaksiatan…

Wallahua’lam.

Riyadh, Rajab 1433.

(AFS/Manhajuna)

Jangan Hasad Dan Jangan Lemah Oleh Hasad

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Penyakit berat yang mengancam kehidupan kita adalah #hasad atau dengki.

#Hasad adalah tidak suka dengan kebaikan yang ada pada orang lain, bahkan dia ingin agar kebaikan itu hilang dari orang tersebut.

Dikatakan bahwa pada setiap manusia tidak ada yang sepi dari sifat #hasad. Hanya saja ada yang dapat menahannya, tapi ada yang tidak dapat membendungnya.

Karena itu kita diperintahkan untuk sering-sering berlindung dari penyakit #hasad dan dari orang hasad,

Sebab jika #hasad sudah bersarang di hati, dari sana lahir berbagai keburukan dan perbuatan nista…

Dan orang yg paling rugi atas sifat #hasad adalah orang yang hasad itu sendiri. Baik terhadap dirinya, maupun agamanya.

Dalam sejarahnya, pembangkangan dan permusuhan sumbernya adalah #hasad

Iblis membangkang kepada Allah, karena #hasad terhadap Nabi Adam, mengapa dia yang terbuat dari api bersujud kepada Adam yg terbuat dari tanah (Al-A’raf 12)

Qabil membunuh habil karena #hasad terhadap saudaranya yang mendapat isteri lebih cantik darinya dan kurbannya diterima sedang dia tidak.

Perhatikan bagaimana kejinya perbuatan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada adiknya yg masih kecil. Tak lain karena #hasad mereka terhadap Nabi Yusuf…

Kaum Yahudi yang #hasad terhadap Rasulullah SAW dan bangsa Arab yang mendapatkan kemuliaan akhir kenabian melahirkan sekian banyak perbuatan nista.

Abdullah bin Ubay bin Salul yang #hasad dengan kemuliaan Rasulullah SAW, menjadikannya sebagai gembong munafik dengan segala perbuatan liciknya…

Begitulah seterusnya, #hasad tidak pernah sepi dari kehidupan manusia.

Benarlah jika dikatakan bahwa #hasad memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.

#Hasad membuat gelap mata, yang tampak hanyalah keburukan orang yg didengki. Tidak sedikitpun kebaikan dia akui, walau sebenarnya banyak.

#Hasad lahir karena kehidupan yang lebih berorientasi dunia, materi, pamor, popularitas, kedudukan dan jabatan…dll.

#Hasad dapat menjangkiti siapa saja, tak terkecuali orang yang sedang berada di jalan dakwah sekalipun…

Rasulullah SAW tidak khawatir dengan kefakiran umatnya. Dia justru khawatir ketika pintu-pintu dunia terbuka…

Lalu umatnya saling berlomba2 mengejar dunia, saling sikut dan saling dengki..(HR. Muslim) #hasad

Mari periksa lagi diri kita dari sifat #hasad berlindunglah kepada Allah dari penyakit yg satu ini..

Biasakan melapangkan dada kita terhadap kebaikan-kebaikan yang dimiliki saudara-saudara kita. Bahkan kita ikut gembira dengan kegembiraan mereka…

Obat #hasad paling mujarab adalah kembali kepada Allah, mengingat kematian dan berharap kemuliaan dari-Nya serta tidak berorientasi duniawi semata.

Jika ada org yang #hasad terhadap kita, juga jangan terlalu sedih dan galau. Karena orang-orang yang lebih mulia dari kita pun tetp ada yang hasad kepadanya..

Berlindunglah kpd Allah dari orang yang #hasad. Kemudian tetaplah berjalan di jalan kebaikan. Jangan sekali-kali kebaikan kita hentikan karena hasad orang lain.

Cukuplah ketenangan, keteguhan serta senyum kita membuat orang yang #hasad kian menderita. Penderitaan yang tak berpahala, justru berdosa

Jangan balas #hasad dengan hasad. Balaslah dengan doa, ucapan baik, dan menebar cinta, kerja dan harmoni…

Jangan terlalu berharap orang yang #hasad akan berubah… Ini memang jenis penyakit yang sulit dihilangkan. Yang penting diri kita tetap ajeg dan kuat..

Kata Mu’awiyah RA.: Semua permusuhan mudah dipadamkan. Kecuali permusuhan yang sumbernya adalah #hasad

Riyadh, Rajab 1434…

Rasulullah; Suami Yang Memahami Kejiwaan Istri

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

 

Aisyah RA., berkata, “Pada saat hari Raya, orang-orang hitam sedang melakukan permainan dengan tameng dan tombaknya, entah apakah aku minta atau Beliau yang berkata,
“Kamu ingin melihatnya?”
“Ya” kataku, maka beliau menempatkan aku di belakangnya. Pipiku menempel pipinya, lalu dia berkata (kepada mereka yang melakukan permainan),
“Lanjutkan permainan kalian wahai Bani Arfadah (orang-orang Habsyah),” hingga ketika aku telah bosan, beliau bertanya,
“Cukup?”
“Ya.” Jawabku.
“Pergilah..” kata Rasulullah SAW. (Muttafaq ‘alaih)

Suatu kali beliau berkata kepada Aisyah,
“Sungguh aku mengetahui kapan  engkau sedang senang kepadaku dan kapan kamu sedang kesal”.
“Bagaimana engkau mengetahui hal itu?” tanya Aisyah,
“Jika engkau sedang suka kepadaku, engkau akan berkata, ‘Tidak, demi Tuhannya Muhammad, dan jika engkau sedang marah kepadaku, engkau akan berkata, ‘Tidak, demi Tuhannya Ibrahim” Jawab Rasulullah SAW.
Aisyah berkata,
‘Benar wahai Rasulullah, aku hanya dapat meninggalkan namamu (tetapi tidak meninggalkan dirimu).”   [Muttafaq alaih]

Adakah kita, para suami, seperti Rasulullah SAW? …..

Sumber: Isteri dan Puteri Rasulullah SAW, Mengenal dan Mencintai Ahlul-Bait.

Riyadh, Muharram 1433H

(AFS/Manhajuna)