Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 26)

Search Results for: abdullah haidir

Berdoalah Selalu…

Abu Daud dalam Sunannya dan lainnya meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ

Berdoa adalah ibadah.

Lalu beliau membaca ayat;

وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhan kalian berkata, Berdoalah kepadaku, Aku akan kabulkan permintaan kalian.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Ada dua sisi dalam masalah doa; Ibadah dan menyampaikan permintaan. Doa yang diiringi dengan kesadaran bahwa dia adalah ibadah selain meminta kepada Allah, lebih utama ketimbang doa yang semata dimotivasi oleh sekedar meminta saja.

Berdoa adalah salah satu wujud yang sangat riil dari penghambaan seseorang kepada Allah Taala. Maka harus hadir bersamanya perasaan lemah, kecil, kurang, butuh, rendah dan hina di hadapan-Nya.

Terkadang doa-doa kita melemah atau merasa tak perlu manakala kondisi sedang normal tak ada kendala dan baru kuat serta mantap ketika dilanda problem. Ini gambaran jika doa hanya dipandang semata untuk meminta, bukan sebagai ibadah.

Padahal mestinya, saat kondisi kita normal, senang, sukses, jangan lengah dan lalai untuk terus berdoa kepada Allah, sebab apa yang ada pada kita sekarang tidak lebih menjamin dibanding apa yang ada di sisi Allah. Hal seperti inilah yang akan membuat kita mudah mendapatkan pertolongan disaat-saat sulit.

Nabi SAW berpesan

تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ , يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَإِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ

Kenali Allah saat senang, Dia akan mengenalimu saat susah, jika meminta, mintalah kepada Allah.” (HR. Tirmizi)

Jika kita ibaratkan; Seseorang yang saat senang dia suka berkomunikasi dengan kita, maka saat dia susah, kita akan lebih cepat merespon permintaannya. Beda halnya dengan orang yang saat senang lupa terhadap kita, lalu saat susah dia datang kepada kita mohon bantuan, maka kitapun enggan merespon.

Maka berdoalah terus, nikmatilah doa-doa kita kepada Allah, penuhi syarat-syarat terkabulnya doa, jadikan kesenangan dan keinginan kita yang lebih utama pada doa itu sendiri, bukan sekedar pada terkabulnya.

Inilah yg dikatakan Umar bin Khattab radhiallahu anhu

أَنَا لاَ أَحْمِلُ هَمَّ الإِجَابَةِ وَلَكِنْ أَحْمِلُ هَمَّ الدُّعَاءِ

Aku lebih terdorong keinginan berdoa ketimbang keinginan terkabulkan.”

Karena setiap doa yang telah terpenuhi syarat-syaratnya pasti terkabulkan dengan apa yang Allah kehendaki, bukan dengan apa yang kita kehendaki.

Semoga kita menjadi orang yang pandai berdoa dan memenuhi syarat-syarat terkabulnya, kapan saja dan dalam kondisi apa saja.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Catatan Ramadan: Buka Puasa…

Buka puasa adalah saat-saat yang dinantikan oleh mereka yang berpuasa. Kenikmatannya bukan sebatas pada makanan yang disantap, tapi suasana ruhani dan relijius tampak lebih terasa pengaruhnya. Inilah bonus langsung yang Allah berikan bagi orang yang berbuka puasa:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Bagi orang yang shaum akan mendapatkan dua kegembiraan yang dia akan bergembira dengan keduanya, yaitu apabila berbuka dia bergembira dan apabila berjumpa dengan Rabbnya dia bergembira disebabkan ‘ibadah shaum itu“. (Muttafaq alaih)

Ada beberapa hal perlu diperhatikan saat berbuka:

1. Perhatikan adab makan; Baca basmalah, makan dengan tangan kanan dan ambil makanan yang terdekat. Jangan lupa berdoa saat berbuka, karena itu termasuk waktu yang mustajabah.

2. Awali buka puasa dengan ruthab (kurma setengah masak) jika tidak, maka dengan kurma yang sudah masak dan jika tidak ada juga minumlah beberapa teguk air putih.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan beberapa ruthab (kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan air maka dengan beberapa kurma, dan apabila tidak ada kurma maka beliau minum air putih beberapa teguk.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi)

Setelah itu baru menyantap makanan lainnya.

3. Dari riwayat di atas juga diisyaratkan bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam berbuka ringan saja untuk kemudian segera shalat (Maghrib). Ini lebih baik ketimbang langsung makan makanan berat. Dari sisi ibadah tidak menyebabkan terlambat shalat dari sisi kesehatan pun lebih baik bagi lambung agar tidak kaget dengan makanan yang banyak sekaligus setelah kosong seharian.

4. Usahakan sedapat mungkin buka bersama keluarga inti. Kesempatan terbaik untuk membangun kehangatan keluarga dalam bingkai iman dan takwa.

5. Mengendalikan diri ternyata tidak hanya dibutuhkan saat berpuasa, tapi juga tetap dibutuhkan ketika berbuka. Makanlah secukupnya jangan terlalu kenyang.

Penting menyederhanakan jenis makanan yang dihidangkan agar tidak terjebak pada sikap berlebih-lebihan yang terlarang atau tabzir dengan membuang makanan.

Selamat menantikan berbuka semoga Allah ridhai.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Catatan Ramadan: Qiyam Ramadan…

InsyaAllah malam ini jika tidak ada halangan kita akan mulai qiyam Ramadan. Ternyata amaliyah pertama yang khusus dilakukan di bulan mulia ini bukanlah puasa, tapi qiyamullah atau lebih dikenal dgn istilah qiyam Ramadan atau lebih populer lagi dengan istilah shalat Taraweh.

Semoga hal ini menyadarkan kita dan kaum muslimin utk secara bersama-sama menghidupkan sunah yang agung ini sepanjang malam bulan ini. Karenanya qiyamullail di bulan ini ada dua kekhususan dibanding di bulan lainnya;

1. Sunah dilakukan di awal malam
2. Sunah dilakukan berjamaah bersama imam hingga selesai

Bahkan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam berpesan

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

Barangsiapa shalat bersama imam hingga selesai, sesungguhnya hal itu telah menyamai shalat satu malam penuh..” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)

Kekhususan ini menurut para ulama adalah untuk memudahkan kaum muslimin menghidupkan qiyamullail di bulan Ramadan. Maka ini merupakan kemudahan Allah yang harus kita manfaatkan.

Hendaknya kita sadari, selain syahrushshiyam شهر الصيام (bulan puasa) Ramadan juga syahrul qiyam شهر القيام (bulan qiyamullail).

Maka, jika di siang Ramadan kita hidupkan bulan mulia ini dengan ibadah puasa, di malamnya kita hidupkan dengan qiyamullail. Jika kita tidak sudi ada satu hari saja di bulan Ramadan dimana kita tidak berpuasa tanpa uzur, mestinya kitapun tidak sudi jika ada satu malam saja di bulan ini kita tidak qiyamullail tanpa uzur.

Karena itu sabda Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam tentang fadhilah puasa Ramadan, sepadan dengan fadhilah qiyam ramadan.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaq alaih)

ُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa bangun (shalat) malam pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap (ridla Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan di ampuni.” (HR. Abu Daud)

Kuatkan hati kita sejak malam pertama Ramadan untuk menghidupkan qiyam ramadan hingga malam terakhir bulan ini tanpa putus. Jangan mudah meninggalkannya hanya karena sebab-sebab yg masih bisa diatasi. Lakukan setulus dan sekhusyu mungkin serta berjamaah bersama imam hingga selesai.

Inilah salah satu faktor kesuksesan kita di bulan ini, selamat melakukan shiyam dan qiyam. Semoga Allah berkahi.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Seputar Hukum dan Ketentuan Menjamak Shalat Karena Turun Hujan

Oleh Ustad Abdlullah Haidir, Lc.

Menjamak shalat dalam safar, relatif sudah cukup dikenal dan sering dipraktekkan di tengah masyarakat. Namun, berbeda dengan qashar shalat yang hanya dibolehkan dalam safar, menjamak shalat, selain dalam safar, juga dibolehkan dalam kasus dan kondisi tertentu. Di antaranya saat turun hujan. Hanya saja masalah ini cenderung belum akrab dipahami oleh masyarakat. Padahal ini adalah bagian dari rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepada hamba-Nya, dan Dia senang jika rukhshahnya dimanfaatkan, sekaligus hal ini merupakan sikap menghidupkan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Berikut catatan ringkas dalam masalah ini. Jumhur ulama (ulama kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hambali) berpendapat dibolehkannya menjamak shalat Maghrib dan Isya karena turun hujan yang dapat membasahi pakaian. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صَلَّى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat di Madinah; Zuhur dan Ashar dengan jamak, Maghrib dan Isya dengan jamak.” (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat Muslim ditambahkan,

مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ

Bukan karena takut dan safar.”

Imam Malik dan Syafii berkata, “Saya mengira bahwa alasannya adalah karena hujan..”

Terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhum menjamak shalat dengan alasan hujan.

Sebagian ulama dari kalangan jumhur berpendapat bahwa jamak shalat karena hujan hanya berlaku bagi shalat Maghrib dan Isya karena waktu malam dianggap lebih berat kesulitannya. Namun sebagian lainnya berpendapat dibolehkannya menjamak Dzuhur dan Ashar, selama ada alasannya, yaitu adanya kesulitan karena turunnya hujan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits di atas.”

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, bab: Al-Jam’u Lil Mathar, watstsalj, wal Bar, wa nahwiha,
XV/290,)

Jamak yang dilakukan adalah jamak taqdim, yaitu pada waktu shalat yang pertama. Adapun jamak ta’khir, sebagian ulama membolehkan dan sebagiannya tidak membolehkan.

Hujan bagaimana yang membolehkan jamak shalat? Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya ‘Al-Mughni’, “Hujan yang menyebabkan boleh menjamak shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan untuk keluar (bolak balik untuk shalat berjamaah). Adapun jika gerimis atau hujan rintik-rintik yang tidak membasahi pakaian, maka tidak boleh menjamak shalat (karenanya).” (Al-Mughni, 3/133).

Jalan becek dan berlumpur, udara sangat dingin, angin kencang di malam gelap juga dianggap sebagai uzur (alasan) untuk menjamak shalat karena sama-sama menimbulkan kesulitan seperti hujan. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu Fatawanya (Al-Mughni, 3/133, Majmu Fatawa, 24/183)

Kesimpulannya, jika hujannya besar yang membuat basah kuyup, atau menimbulkan becek yang menyulitkan jamaah shalat untuk pulang pergi ke masjid melakukan shalat pada waktunya masing-masing, maka dibolehkan bagi jamaah shalat di masjid untuk menjamak shalat. Meskipun hujan tersebut tidak turun terus menerus pada kedua waktu shalat, atau dia terhenti saat shalat ditunaikan. Bahkan jika hujannya terhenti sebelum shalat ditunaikan, namun jika hujannya besar, menimbulkan becek atau berlumpur sehingga menyulitkan jamaah masjid untuk pulang pergi ke masjid melakukan shalat berjamaah, maka dibolehkan menjamak shalat.

Pada prinsipnya, menjamak shalat di waktu hujan, adalah untuk memberikan keringanan bagi mereka yang berangkat ke masjid di waktu hujan. Maka, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang shalat di rumah, atau di tempatnya masing-masing.

Meskipun ini amalan yang telah dinyatakan oleh jumhur ulama, namun karena banyak masyarakat yang belum mengetahuinya, maka sebaiknya pengamalannya dilakukan dengan bijaksana. Minimal memberitahu jamaah akan kedudukan hukum dalam masalah ini. Agar tidak timbul silang sengketa yang tidak layak di dalam masjid.

Keputusan imam hendaknya dipatuhi. Jika imam memandang tidak perlu melakukan shalat jamak, maka jamaah sebaiknya tidak shalat jamak, karena imam ditetapkan untuk diikuti. Bagi imam shalat sebaiknya mengkaji kedudukan hukum dalam masalah ini agar dapat menjadi pedoman, atau paling tidak dia bertanya kepada para ulama untuk mengetahui kedudukannya. Wallahua’lam.

Wallahua’lam.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Apa dan Bagaimana Sholat Rawatib (Bagian-3)

Baik, sesuai janji, walau sedikit terlambat, kita lanjuntukan pembahasan tentang shalat rawatib.

Sebelumnya sudah ada dua pembahasan dalam masalah ini, silakan disimak dahulu:
Apa dan Bagaimana Sholat Rawatib (Bagian-1)
Apa dan Bagaimana Sholat Rawatib (Bagian-2)

Ada beberapa permasalahan dalam shalat rawatib yang perlu dibahas sebagai bahan pemahaman dan pengamalan kita.

Pertama, terkait dengan dimana sebaiknya shalat rawatib dilakukan jika berjamaah di masjid? Apakah di rumah atau di masjid?

Tidak ada dalil khusus tentang masalah ini dalam shalat rawatib. Hanya saja ada hadits tentang keutamaan shalat di dalam rumah kecuali shalat fardhu.

(صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ. (رواه البخاري

Wahai manusia, shalat di rumah kalian, shalat yang paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari)

Namun, dalam hal ini hendaknya diperhatikan, jika di rumah justeru membuatnya berat untuk shalat rawatib, maka sebaiknya shalat di masjid.

Di sisi lain, bagi yang shalat wajib di rumah, terutama wanita atau laki-laki kalau ada, maka shalat rawatib tetap disunahkan, sesuai ketentuannya.

Berikutnya, jika seseorang ke masjid, apakah shalat rawatib dahulu atau shalat tahiyyatul masjid? Apakah dapat digabungkan atau harus terpisah?

Sebenarnya tahiyatul masjid intinya adalah bagaimana ketika seseorang masuk masjid, yang pertama dia lakukan adalah shalat.

Tahiyyatul masjid artinya penghormatan terhadap masjid. Dalam Islam hal tersebut dilakukan dengan shalat sebelum melakukan yang lain, apapun shalatnya.

Maka jika seseorang masuk masjid, lalu dia shalat rawatib, dengan sendirinya itu dianggap sebagai tahiyatul masjid. Jadi, tidak perlu shalat dua kali.

Jika sudah iqomah shalat wajib, maka dilarang shalat rawatib dan shalat-shalat lainnya. Berdasarkan hadits yang menyatakan demikian.

إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة

Jika iqamah shalat sudah dilakukan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib“. (HR. Muslim)

Namun masalahnya, jika sedang shalat rawatib lalu ada iqamah, apa yang harus dilakukan? Para ulama berikan jalan tengah.

Jika baru saja mulai shalat, maka sebaiknya dibatalkan shalatnya untuk ikut bergabung dalam shalat berjamaah, berdasarkan hadits sebelumnya.

Namun, jika sudah jelang selesai, atau minimal sudah di rakaat kedua, maka segera percepat shalatnya hingga salam, lalu segera gabung dengan jamaah.

Permasalahan lain lagi, apakah shalat Jumat ada rawatibnya? Ada yang menyamakannya dengan shalat zuhur, ada rawatib qabliah dan ba’diah.

Yang lebih kuat adalah bahwa dalam shalat Jumat, yang ada hanya rawatib ba’diah, yaitu sesudahnya saja, berdasarkan hadits yang tegas dalam masalah ini.

إذَا صَلَّى أحدُكم الجُمُعةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

Jika kalian shalat Jumat, maka shalatlah sesudahnya 4 rakaat“. (HR. Muslim)

Ada juga riwayat shahih bahwa Rasulullah saw shalat dua rakaat di rumahnya setelah shalat Jumat. (HR. Bukhari Muslim)

Dari sini para ulama menyatakan bahwa shalat rawatib Jumat, dapat dilakukan dua atau empat rakaat, sesuai kondisi dan keluangan waktu.

Adapun qabliah Jumat, tidak ada hadits yang menyatakan secara spesifik. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada shalat sunah seblum Jumat.

Justeru amalan yang sangat dianjurkan saat menanti khatib naik mimbar adalah shalat, selain ibadah-ibadah lainnya, dapat dilakukan berulang-ulang.

Bagaimana dengan shalat dua rakaat setelah azan pertama sebelum azan kedua yang biasa dilakukan di sebagian masjid?

Perlu bijak menyikapi masalah ini, jangan terburu bilang bid’ah atau menyimpang dari sunah, ini masuk wilayah khilaf furu’.

Di sebagian mazhab (syafii dan hanafi) memang menyatakan bahwa shalat Jumat ada qabliyah-nya seperti shalat Zuhur. Maka shalat itu termasuk qabliah.

Namun, mazhab Maliki dan Hambali tidak mengakui adanya qabliah Jumat. Namun, itu pun masih ada alasan untuk shalat dua rakaat tersebut.

Pertama, shalat tersebut dapat dimasukkan dalam keumuman sunahnya shalat sebelum khutbah dimulai. Kedua, termasuk shalat yang disunahkan antara 2 adzan

Jadi, bagi yang tidak mengakui adanya qabliah Jumat, dia dapat tetap shalat sunah antara kedua azan tersebut. Ini lebih baik untuk kesankan kebersamaan.

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat dan mohon maaf kalau ada salah.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.