Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 3)

Search Results for: abdullah haidir

Membudayakan Sifat Malu

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ؛ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رضي الله عنه قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى؛ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري]

Kosa kata

أَدْرَكَ : diketahui, didapatkan

النُّبُوَّة : kenabian

لَمْ : tidak

تَسْتَحِ(تَسْتَحِي) : malu

(فَـ) ـاصْنَعْ : (maka) perbuatlah

شِئْـ(ـتَ) : (kamu) kehendaki

Terjemah hadits

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshary Al-Badry radhiallaahu ‘anhu dia berkata, ‘Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya ungkapan yang telah diketahui orang dari ucapan para nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Kedudukan Hadits

Hadits ini termasuk Jawami’ul Kalim yang dimiliki Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terkandung inti ajaran Islam, karena sebuah perbuatan terdiri dari dua bagian, perkara yang mendatangkan rasa malu untuk melakukannya, seperti perkara haram, makruh dan sesuatu yang bertentangan dengan keutamaan, maka meninggalkannya disyari’atkan, atau perkara sebaliknya, yaitu perkara wajib, sunnah dan mubah, maka melakukannya disyariatkan.

Pemahaman Hadits

Maksud dari كلام النبوة الأولى adalah perkara yang telah disepakati dan dianjurkan para Nabi sebelum Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam serta tidak terhapus dalam syariat mereka karena merupakan perkara yang sangat aksiomatis (pasti) secara logika.

Kalimatفاصنع ما شئت (perbuatlah sesuka hatimu) dipahami oleh para ulama dengan beberapa pemahaman:
1. Sebagai bentuk ancaman, pemahamannya adalah jika kamu tidak malu silakan perbuat sesukamu, nanti kamu akan terima balasannya. Hal ini seperti ancaman Allah terhadap orang kafir untuk berbuat sesuka hati mereka dalam Al-Quran, surat Fushshilat: 40.

2. Bermakna berita, pemahamannya adalah jika seseorang telah hilang rasa malunya, maka dia akan berbuat sesuka hatinya (tak peduli hal tersebut dilarang atau diharamkan).

3. Indikasi dibolehkannya sesuatu. Maksudnya jika ada perbuatan yang engkau tidak merasa malu melakukannya baik kepada Allah atau kepada manusia, maka lakukanlah, karena berarti hal itu dibolehkan.

Dari ketiga pemahaman di atas, yang paling kuat adalah pemahaman pertama, meskipun kedua pemahaman berikutnya ada ulama yang menguatkannya.(*)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

• Malu adalah ajaran yang disepakati oleh para nabi .
• Jika seseorang telah meninggalkan rasa malu, maka jangan harap lagi (kebaikan) darinya sedikit pun.
• Malu merupakan landasan akhlak mulia dan selalu bermuara kepada kebaikan. Siapa yang banyak malunya lebih banyak kebaikannya, dan siapa yang sedikit rasa malunya semakin sedikit kebaikannya.
• Tidak ada rasa malu dalam mengajarkan hukum-hukum agama serta menuntut ilmu dan kebenaran. Allah ta’ala berfirman : “Dan Allah tidak malu dari kebenaran” (33 : 53).
• Diantara manfaat rasa malu adalah ‘Iffah (menjaga diri dari perbuatan tercela) dan Wafa’ (menepati janji)
• Rasa malu merupakan cabang iman yang wajib diwujud-kan.

Tema hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

– Menumbuhkan rasa malu secara proporsional : Al-Baqarah (2): 26, Al-Ahzab (33): 53

– Malu akan mendatangkan ‘iffah : Al-Qashah (28): 25

(*) Al-Wafi fi Syarhi al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 151, Syarh al-Arbain An-Nawawiyah: Imam An-Nawawi, 150, dan: Syekh Ibnu Utsaimin, hal. 233.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Panduan Haji

Panduan HajiDownload

Salam Pengantar

Alhamdulillah, walau tertatih-tatih, buku panduan haji ini selesai kami susun. Tampak sangat ala kadarnya, karenanya kami tidak berpretensi buku ini menjadi rujukan satu-satunya bagi jamaah haji, tapi lebih sebagai pelengkap dan pembanding dari referensi yang ada. Kami sangat berharap dan berterimakasih jika ada koreksi yang disampaikan apabila terdapat kekeliruan, atau masukan dan usulan untuk melengkapi buku ini. Salam hangat untuk semua saudara kami di mana saja berada. Semoga, sebagaimana ibadah haji mempertemukan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia, hati kita juga selalu dipertemukan dalam keimanan dan ketakwaan, sebelum kita dipertemukan di surga Allah kelak, aamiin

Riyadh, Syawwal 1430- September 2009

Akhukum wa muhibukum fillah,

Abdullah Haidir
abu_rumaisha@hotmail.com

Tentang Hukum Memotong Rambut dan Kuku Bagi Yang Ingin Berkurban

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Tentang Hukum Memotong Rambut dan Kuku Bagi Yang Ingin Berkurban Jika Telah Masuk Sepuluh Hari Pertama Zulhijjah.

http://www.suatsaygin.net/wp-content/uploads/2014/10/kurban-2.jpg

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا (رواه مسلم

Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah masuk sepuluh (hari pertama Zulhijah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka hendaknya dia tidak mengambil bagian dari rambutnya dan kulitnya.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi, ketika menjelaskan hadits di atas berkata dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim (juz 13, hal. 138, berdasarkan Maktabah Syamilah)

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِذَا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحى فلايمس من شعره وبشره شيئا) وفى رواية فلايأخذن شعرا ولايقلمن ظُفُرًا وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيمَن دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَرَبِيعَةُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَدَاوُدُ وَبَعْضُ أصحاب الشافعى أنه يحرم عليه أخذ شئ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ فِي وَقْتِ الْأُضْحِيَّةِ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُ هُوَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةَ تنزيه وليس بحرام وقال أبو حنيفة لايكره وقال مالك فى رواية لايكره وَفِي رِوَايَةٍ يُكْرَهُ وَفِي رِوَايَةٍ يَحْرُمُ فِي التَّطَوُّعِ دُونَ الْوَاجِبِ وَاحْتَجَّ مَنْ حَرَّمَ بِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ وَالْآخَرُونَ بِحَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يقلده ويبعث به ولايحرم عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ الْبَعْثُ بِالْهَدْيِ أَكْثَرُ مِنْ إِرَادَةِ التَّضْحِيَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لايحرم ذَلِكَ وَحَمَلَ أَحَادِيثَ النَّهْيِ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْمُرَادُ بِالنَّهْيِ عَنْ أَخْذِ الظُّفُرِ والشعر النهى عن إزالة الظفر بقلم أوكسر أَوْ غَيْرِهِ وَالْمَنْعُ مِنْ إِزَالَةِ الشَّعْرِ بِحَلْقٍ أَوْ تَقْصِيرٍ أَوْ نَتْفٍ أَوْ إِحْرَاقٍ أَوْ أَخْذِهِ بِنَوْرَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَسَوَاءُ شَعْرُ الْإِبْطِ وَالشَّارِبِ وَالْعَانَةِ وَالرَّأْسِ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ شُعُورُ بَدَنِهِ …….

“Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Jika telah masuk sepuluh (hari pertama Zulhijah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka hendaknya dia tidak menyentuh rambutnya dan kulitnya sedikitpun.”

Dalam riwayat lain, “Jangan mencabut rambut dan memotong kuku.”

Para ulama berbeda pendapat tentang apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Zulhijah sementara seseorang hendak berkurban. Said bin Musayab, Rabiah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafii berpendapat diharamkan mengambil atau memotong sedikit dari rambut dan kukunya hingga kurbannya disembelih pada waktu penyembelihan.

Adapun Imam Syafii dan para ulama pengikutnya berkata bahwa hal tersebut makruh karahah tanzih (makruh yang lebih dekat kepada kebolehan) dan tidak haram.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat tidak makruh.

Adapun Imam Malik berpendapat dalam satu riwayat, tidak makruh, sedang dalam riwayat lain, makruh, dalam riwayat lainnya lagi diharamkan dalam qurban sunah, bukan wajib.   (seperti qurban nazar).

Yang mengharamkan berdalil dengan hadits ini (hadits Ummu Salamah).

Sedangkan Asy-Syafii dan yang lainnya berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata, “Dahulu aku memilin kalung hadyu (hewan qurban) Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam, kemudian beliau mengalungkannya dan mengirimnya (ke tanah haram) dan tidak ada sesuatupun yang beliau haramkan  apa yang telah Allah halalkan hingga hadyunya disembelih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Asy-Syafii berkata, “Mengirim hewan kurban” (untuk disembelih) lebih kuat dari sekedar “ingin berkurban”   Maka hal ini menunjukkan bahwa perkara tersebut (memotong rambut dan kuku) tidak diharamkan. Adapun hadits yang berisi larangan  dipahami sebagai makruh tanzih (lebih dekat kepada kebolehan).

Para ulama dari kalangan kami (mazhab Syafii) berkata, bahwa yang dimaksud larangan mengambil kuku dan rambut, adalah larangan memotong kuku dengan alat pemotong kuku atau dengan memecahnya atau dengan cara lainnya. Adapun larangan memotong rambut adalah dengan menggundulnya, atau memendekkannya atau mencabutnya atau membakarnya atau dengan pencukur atau selainnya, apakah rambut ketiak, kumis, bulu kemalun, rambut kepala dan lainnya dari rambut di tubuhnya…..”

Kesimpulan:

Masalah ini (memotong rambut dan kuku ketika masuk bulan Zulhijah bagi orang yang hendak berkurban) adalah masalah yang diperselisihkan kedudukan hukumnya di kalangan para ulama salaf, apakah larangannya bersifat haram atau tidak. Namun meninggalkannya lebih baik dan lebih hati-hati tanpa harus bersikap keras terhadap orang yang melakukannya.

Karena itu, menjelang/sebelum masuk awal Zulhijjah*), bagi orang yang hendak berkurban, hendaknya merapihkan dirinya agar tidak ada tuntutan memotong rambut dan kukunya sebelum kurbannya disembelih. Wallahu a’lam

*) Tahun 2015 M atau 1436 H ini, akhir bulan Zulqo’dah jatuh pada hari Sabtu, 13 September (islamicfinder.org).

Bergantung Kepada Allah Ta’ala

عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ؛ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ J يَوْماً، فَقَالَ: « يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ  يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفِ »

[رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.  وفي رواية غير الترمذي:]

 احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

Kosa kata

خلف di belakang أُعَلِّمُـ(ك) (aku) ajarkan (engkau)
اِحْفَظ Peliharalah /jagalah تجاهـ(ك) dihadapan-(mu)
اسْتَعَنْـ(تَ) (engkau) minta pertolongan اجتمعـ(ت) berkumpul
ينفعو(ك) memberikan manfaat (kepadamu) يضرو(ك) (mereka) mendatangkan bahaya (kepadamu)
رُفِعَـ(ت) diangkat الأقلام (قلم) Pena
جَفَّـ(ت) kering الصحف (صحيفة) catatan

 Terjemah hadits

Dari Abu Al-Abbas; Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata, “Suatu saat Aku (menunggang hewan)  di belakang Nabi , maka beliau bersabda,

“Wahai ananda, Aku akan ajarkan kepadamu bebe-rapa perkara: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya berada di hadapanmu. Jika kamu ingin memohon, mohonlah kepada Allah, jika kamu ingin minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.

Ketahuilah, sungguh jika sebuah umat berkumpul untuk mendatangkan suatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikit pun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mendatangkan suatu kecelakaan bagimu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakaimu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering”

(HR. Tirmizi., Dia berkata: Hadits hasan shahih)[1]

 Dalam sebuah riwayat selain Tirmizi [2] (Rasulullah bersabda):

“Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di depanmu. Kenalilah Allah di waktu senang niscaya Dia akan mengenalmu di waktu susah. Ketahuilah, bahwa apa yang ditetapkan luput darimu, tidak akan menimpamu, dan apa yang  ditetapkan akan menimpamu, tidak akan luput darimu. Ketahuilah, kemenangan itu bersama (membutuhkan) kesabaran, jalan keluar (akan datang) bersama kesulitan dan bersama kesulitan (akan datang) kemudahan.”

Kedudukan Hadits

Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Hadits ini mengandung pelajaran dan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam perkara agama, sehingga ada ulama yang berkata, ‘Ketika Aku perhatikan hadits ini, aku menjadi sangat terkesima dan tercengang. Alangkah ruginya orang yang tidak mengetahui hadits ini, atau orang yang sedikit memahami maknanya.” [3]

Fiqhul Hadits

Kalimat إحفظ الله  (Jagalah Allah) maksudnya adalah jagalah batasan dan syariat Allah, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kalimat تجده تجاهك   (Engkau akan mendapati-Nya berada di hadapanmu) maksudnya adalah bahwa Allah akan selalu membimbingnya.

Kalimat رفعت الأقلام وجفت الصحف (Pena telah diangkat dan lembaran telah kering) maksudnya adalah bahwa apa yang telah Allah tentukan telah final, pena telah diangkat dan lembaran telah kering, tidak ada perubahan pada ketentuan Allah.

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Hadits ini menunjukkan sifat rendah hati (tawadhu) Rasulullah ﷺ dan kedekatan beliau kepada para shahabat-nya tak terkecuali kepada anak-anak, hingga beliau bersedia berboncengan ketika mengendarai hewan tunggangannya.
  • Perhatian Rasulullah ﷺ dalam mengarahkan umatnya serta menyiapkan generasi mukmin idaman.
  • Menanamkan aqidah kepada Allah, hendaknya dilakukan sejak usia dini.
  • Termasuk adab pengajaran adalah menarik perhatian pelajar agar timbul keinginannya terhadap pengetahuan sehingga hal tersebut lebih terkesan dalam dirinya.
  • Siapa yang konsekuen melaksanakan perintah-perintah Allah, nicsaya Allah akan menjaganya di dunia dan akhirat.
  • Beramal saleh serta melaksanakan perintah Allah dapat menolak bencana dan mengeluarkan seseorang dari kesulitan.
  • Tidak mengarahkan permintaan apapun (yang tidak dapat dilakukan makhluk) selain kepada Allah semata.
  • Manusia tidak akan mengalami musibah kecuali berda-sarkan ketetapan Allah Ta’ala .
  • Menghargai waktu dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat , sebagaimana Rasulullah ﷺ memanfaatkan waktunya saat beliau berkendaraan.
  • Seorang mukmin –setelah berusaha maksimal- hendak-nya pasrah kepada ketentuan Allah dan ridha atas segala ketetapan terhadap diri-Nya.
  • Jika seseorang mengalami masa-masa senang atau berhasil, hendaklah dia tidak lupa kepada Allah, bersyukur dan ta’at kepada-Nya serta menggunakan semua kebaikan yang ada padanya sesuai dengan apa yang Allah cintai dan ridhoi, agar ketika datang masa sulit baginya, Allah tidak melupakannya.
  • Keutamaan sabar adalah dapat mengantarkan seseorang kepada keberhasilan dan kemenangan dalam kehidupan.
  • Seseorang yang mengalami keburukan, hendaknya dia tidak larut dalam kesedihan, karena: ‘Apa yang telah ditetap-kan akan menimpamu, tidak akan luput darimu’, begitu juga jika dia tidak dapat meraih sesuatu yang dicintainya, hendaknya dia tidak larut dalam kesedihan, karena: ‘Apa yang ditetapkan luput darimu, tidak akan kau dapatkan.
  • Kemudahan akan didapat setelah berbagai kesulitan yang menghadang seseorang dalam kehidupannya.

Tema hadits dan ayat Al-Quran yang terkait

Menyiapkan generasi beriman : An-Nisa (4): 9,  Al-Furqon (25): 74, Al-Ahqof (46):15
Allah tempat bergantung dan berlindung : Al-Fatihah (1): 5, Yusuf (12): 67,

Al-Ikhlash (112): 2

Musibah dan Keberha-silan hanya datang dari Allah Ta’ala : At-Taghabun (64): 11, At-Taubah (9): 51
Jangan lupa diri ketika senang : Al-Hadid (57): 22-23, Al-An’am (6): 44
Sabar merupakan modal keberhasilan : Al-Mukminun (23): 11, Al-Baqarah (2): 155-156)
Setelah kesulitan akan datang kemudahan : Al-Baqarah (2): 214, Asy-Syarh (94): 5-6.
Catatan Kaki:
  1. Jami’ At-Tirmizi, Kitab Sifati Yaumil Qiyamah, 2516. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih al-Jami’, no. 7957
  2. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih al-Jami’, no. 5244 dan Shahih Ibnu Majah, no. 62
  3. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 337

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Sakit; Menggali Kebaikan Dibalik Penderitaan

Tidak ada orang yang ingin sakit. Justeru kita dianjurkan untuk menghindar dari sakit dengan berbagai cara yang dibenarkan. Namun jika itu terjadi, tugas kita adalah menyikapinya dengan tepat agar dia berbuah kebaikan. Sebab, sakit, tak lain merupakan ujian Allah kepada hamba-Nya.

Yang beruntung adalah mereka yang tetap sabar dan ridha serta tetap husnuzzan dengan ketetapan Allah dengan sakit yang diderita. Merekalah yang Allah janjikan keberkahan, rahmat dan hidayah;

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiun. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yagn sempurna dan rahmat dari tuhan mereka dan mereka itulah orang –orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 156-167)

Mereka juga yang dikatakan Rasulullah ﷺ sebagai pribadi Muslim yang menakjubkan,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ   (رواه مسلم)

“Perkara seorang mu’min adalah menakjubkan, semua urusannya menjadi baik, dan itu tidak terjadi kecuali seorang mu’min; Jika mendapatkan kebaikan, dia bersyukur, maka itu akan menjadi baik baginya, jika mendapatkan keburukan dia bersabar, maka itu akan menjadi baik baginya.” (HR. Muslim)

Mereka juga yang dijanjikan ampunan dosa atas derita yang dialaminya. Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ  (رواه البخاري)

“Tidaklah seorang muslim mengalami musibah; lelah, sakit, kesal, sedih, gangguan, keresahan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali semua itu menjadi penghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)

Maka, dibalik penderitaan sakit dan musibah secara umum, sesungguhnya terdapat sumber pahala yang dapat kita gali untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Karenanya, saat mendapatkan musibah, selain mengucapkan Innaa lillahi wa inna ilaihi raajiun, kita juga diajarkan Rasulullah ﷺ untuk menambahnya dengan berdoa,

اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا  (رواه مسلم)

“Ya Allah, berilah aku pahala dari musibahkku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim)

Mendapatkan kebaikan dari sesuatu yang kita senangi adalah biasa. Tetapi mendapatkan kebaikan dari penderitaan yang dialami adalah sebuah keistimewaan. Hal tersebut dapat diraih seorang mu’min yang ridha dan sabar atas penderitaannya.

Nah, sambil tetap berikhtiar mendapatkan kesembuhan, jangan lupakan kebersihan hati dan kematangan jiwa untuk menggali kebaikan dibalik sakit yang diderita. Semoga Allah berikan kesembuhan. Wallahua’lam.

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Tauhid Yang Pertama, Akhlak Juga Utama

At-Tauhiid Awwalan… (Tauhid yang pertama), begitu sebuah jargon dakwah yang cukup dikenal di kalangan aktifis dakwah. Menggambarkan pentingnya masalah tauhid dijadikan sebagai tema dakwah yang seharusnya pertama kali disampaikan. Banyak dalil yang dapat diajukan untuk menguatkan sikap ini.

Sementara itu, di sisi lain, sebagian aktifis dakwah lainnya mengusung jargon ‘Akhlaqul karimah’ dalam agenda dakwahnya. Bagi mereka, apapun hasil dari sebuah dakwah haruslah berujung kepada prilaku dan kepribadian menarik, bermanfaat, tidak menyakiti dan merugikan pihak lain. Banyak pula dalil yang diajukan untuk menguatkan sikap ini.

Semestinya, kedua jargon ini dapat saling mengisi dan menguatkan, karena memang begitulah asalnya. Akan tetapi, seringkali yang terjadi dilapangan justru melahirkan polarisasi yang cukup kuat dan tajam, bahkan tak jarang menimbulkan komunitas tersendiri hingga yang berujung pada gesekan dan benturan.

Memang, kalau kita lihat beberapa ayat atau hadits-hadits tentang masalah ini secara terpisah, apalagi jika tidak diimbangi dengan tashawwur (gambaran) utuh tentang sirah bagaimana Rasulullah ﷺ berdakwah, masing-masing pihak akan menemukan pembenarannya.

Pengusung jargon pertama dengan semangat berkobar-kobar berusaha ingin meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan mengembalikan yang menyimpang. Namun kadang abai dengan ucapan yang lembut, pilihan kata yang sesuai dengan situasi dan audiens, eksklusif, abai dengan kedudukan dan kehormatan figur tertentu atau abai menyesuaikan diri dengan psikologi individu atau massa, atau tidak mempedulikan sensitifitas budaya setempat, dst. Sementara pengusung jargon kedua, juga dengan semangat yang berkobar-kobar, ingin menampilkan Islam yang toleran, teduh, inklusif, moderat dan sederet sifat-sifat menyejukkan lainnya. Namun kadang abai dengan perkara tauhid, sering ‘bermain-main’ dengan logika dan perasaan dalam wilayah keyakinan, juga terlalu cair dan ‘meliuk-liuk’ dalam wilayah yang padat dan baku.

Asumsi di atas tentu masih sangat terbuka diperdebatkan batasan-batasannya, akan tetapi adanya polarisasi tersebut, sedikit ataupun banyak, sangat mudah ditangkap oleh siapa saja yang mencermati medan dakwah dengan seksama. Tulisan ini pun bukan untuk membuktikan atau menolak kesimpulan tersebut, tapi lebih ditujukan untuk menjadi entri dalam memahami adanya korelasi erat atau bahkan satu kesatuan yang tak terpisahkan antara tauhid dan akhlak, atau antara akhlak dan tauhid.

Tauhid adalah bagian dari akhlak dan akhlak adalah bagian dari tauhid. Hanya, tauhid biasanya difokuskan pada hubungan seorang hamba kepada Allah, sedangkan akhlak fokus pada hubungan hamba kepada sesama hamba. Tapi kenyataannya, di antara yang sangat menentukan kualitas tauhid seseorang, terkait erat dengan prilakunya terhadap sesama hamba, sementara akhlak yang paling utama dari seorang hamba adalah sikapnya kepada Allah Ta’ala sebagai Pencipta yang tak lain merupakan tauhid itu sendiri.

Atau, mudah-mudahan tidak keliru jika kita meminjam istilah para ulama dalam menyatukan dua istilah berbeda namun saling berkaitan erat (seperti definisi Iman dan Islam), yaitu; izaftaraqaa ijtama’aa wa izajtama’aa iftaraqaa (jika berpisah dia bersatu dan jika bersatu dia berpisah). Maksudnya adalah bahwa istilah ‘tauhid’ jika disebutkan secara terpisah, maka ‘akhlak’ termasuk di dalamnya. Begitu pula ‘akhlak’, jika disebutkan secara terpisah, maka ‘tauhid’ termasuk bagian di dalamnya. Namun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki makna khusus sebagaimana telah disebutkan.

Seorang muslim hendaknya berada dalam kondisi seperti ini secara berimbang. Yang satu tidak boleh mengabaikan yang lain. Atau, jangan sampai kita merasa mendapatkan legitimasi terhadap kekurangan pada salah satunya hanya karena kita sudah merasa ideal terhadap lainnya. Seseorang yang memiliki kekeliruan dalam masalah tauhid, jangan merasa masalahnya sepele hanya karena dia merasa akhlaknya baik-baik saja, sebagaimana orang yang bermasalah dalam masalah akhlak, jangan merasa tenang hanya karena dia merasa tauhidnya sudah murni dan mantap. Tidak boleh ada dikotomi pada keduanya. Keberadaan yang satu menguatkan yang lain. Atau, kehilangan salah satunya akan melemahkan yang lain.

Perhatikanlah dakwah Rasulullah ﷺ, apa yang pertama kali dia serukan? Ya, tauhid kepada Allah, beribadah semata kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Tapi perhatikan pula baik-baik, siapa yang pertama kali menerimanya? Tak lain orang-orang terdekatnya yang sudah sangat mengenal kepribadiannya. Pertanda apakah? Pertanda bahwa akhlak beliau sudah dikenal kebaikannya. Sebab masuk Islamnya orang-orang terdekat, setelah hidayah Allah Ta’ala, tak lain karena mereka melihat kepribadian Rasulullah ﷺ yang istimewa. Ini artinya sebuah perpaduan indah dalam sebuah pribadi antara ketegasan tauhid dan keunggulan akhlak.

Karenanya, ketika Rasulullah ﷺ mengadukan kekhawatirannya kepada Khadijah setelah menerima wahyu pertama, Khadijah menghiburnya dengan sesuatu yang bersumber dari akhlaknya yang mulia, “Allah tidak akan menghinakanmu sama sekali, engkau adalah orang yang suka silaturrahim, membantu yang lemah, menghormati tamu dan suka berkontribusi dalam berbagai bidang kebaikan.”

Wujud dari hal tersebut di antaranya tergambar dari pesan Luqman yang Allah abadikan dalam surat Luqman ayat 15, yang berisi pesan untuk tidak menuruti perintah orang tua manakala mereka mengajak kepada kemusyrikan, namun pada saat yang bersamaan, sang anak tetap diperintahkan untuk mempergauli mereka dengan baik. Ketegasan mempertahankan tauhid yang murni, bukan alasan bagi seorang anak untuk tidak berakhlak mulia terhadap orang tua. Sebaliknya, keinginan untuk menampilkan akhlak menawan, semestinya tidak menghalangi seseorang untuk bersikap tegas jika sudah berurusan dengan akidah dan tauhid, walaupun terhadap orang tua.

Mewujudkan keseimbangan di antara kedua hal ini jelas lebih rumit. Butuh kekuatan hati, sekaligus kelembutannya, kecerdasan akal sekaligus kecerdikannya, ketegasan sikap sekaligus kelenturannya. Secara teoritis hal itu tampak mudah, namun secara praktis, kendala dan tantangan pastinya tidak terhindarkan. Namun betapapun, hal tersebut harus diwujudkan walau sulit dan kadang mengalami kekeliruan. Tak ada jalan lain bagi kita kecuali terus belajar dan berusaha mewujudkan sikap ideal dalam masalah ini, karena disanalah keunggulan dan kemuliaan itu akan terwujud.

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Pelihara Hidayah

Umumnya, jalan-jalan ketaatan yang Allah berikan akan mengantarkan kita pada hidayah dan keimanan yang lebih kuat. Sebaliknya, jalan-jalan keburukan dan kemaksiatan yang Allah larang, akan mengantarkan kita pada kelemahan iman dan kesesatan.

Akan tetapi, jangan pernah berhenti pada kondisi yang kita alami sekarang ini. Jika kita berada dalam hidayah, jangan sombong, seakan-akan keselamatan telah diboyong. Sedangkan jika kita berada dalam kubangan dosa, jangan putus asa, seakan tidak ada pintu keselamatan yang terbuka.

Prinsipnya…. Jangan pernah berhenti merawat, menjaga, menyuburkan keimanan, baik dengan doa, beribadah, meningkatkan pemahaman dan berbagai ketaatan serta menjauh dari kemaksiatan.

Sebab, dalam beberapa kondisi, hidayah adalah misteri;

Nabi Musa yang diasuh Fir’aun menjadi tokoh beriman dan pejuang, namun Kan’an yang diasuh oleh Nabi Nuh alaihissalam, justru kufur dan membangkang….

Asiah isteri Fir’aun yang tinggal di istana bersamanya, tetap istiqamah dalam iman, namun isteri Nabi Nuh dan Nabi Luth justeru memilih kesesatan.

Abu Thalib yang begitu dekat dengan Rasulullah ﷺ, meninggal tanpa membawa iman, sementara Ushairam (salah seorang shahabat yang baru masuk Islam, tak lama kemudian syahid di medan juang) di kesempatan terakhir kehidupannya membawa syahid meraih impian.

Najasyi, raja Habasyah, negeri tujuan hijrah para shahabat pertama kali, dikabarkan akhirnya menerima Islam dan mati membawa keimanan, sementara Ubaidillah bin Jahsy yang hijrah bersama isterinya Ummu Habibah ke Habasyah untuk menyelamatkan imannya dari kekejaman kafir Quraisy, justeru di sana murtad, dan akhirnya mati dalam kekufuran…

Di negeri-negeri Islam, tidak sedikit generasi muslim yang kepincut dengan budaya western, sedikit demi sedikit menjauhi Islam sebagai pedomannya, sementara di Eropa-Amerika yang menjadi sumber budaya tersebut, orang kafir berbondong-bondong mempelajari Islam untuk memeluknya.

Di kantor dakwah tempat saya bekerja (Riyadh), hampir setiap hari ada orang mengucapkan syahadat ingin mendapatkan nikmat Islam, tapi suatu saat, saya kedatangan suami yang membawa isterinya. Dia mengadu bahwa isterinya ingin keluar dari Islam…!

Allahumma yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa alaa diinik…. Yaa Allah yang membolakbalikkan hati, tetapkan hati kami dalam agama-Mu….

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Takwa dan Akhlak Mulia

عَنْ أَبِي ذَرّ؛ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ، وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ؛ مُعَاذِ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ قَالَ

« اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ »

[رواه الترمذي وقال: حديث حسن، وفي بعض النسخ: حسن صحيح]

Kosa Kata

اتَّقِ (الله) : Bertakwalah (kepada Allah) حَيْثُمَا : Di mana saja
الحَسَنَة : Kebaikan السَّيِّئَة : keburukan
أَتْبِع : Iringilah خَالِقْ : pergaulilah
تَمْحُـ(هَا) : menghapus-(nya) (بـ)خُلُق : (dengan) akhlak

Terjemah Hadits

Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah  beliau bersabda,

“Bertakwalah engkau kepada Allah kapan dan di mana saja engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

 (HR. Tirmizi, dia berkata haditsnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih) [1]

Kedudukan Hadits

Nilai hadits ini terdapat dalam dua seruan yang ada di dalamnya, yaitu,

  1. Seruan untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan hal tersebut merupakan tujuan agama dan sumber segala kebaikan dan keutamaan, sebagaimana dia juga merupakan wasiat Allah sejak dahulu hingga sekarang.
  2. Seruan untuk berakhlak mulia, inipun merupakan salah satu tujuan agama. Akhlak mulia dapat merekatkan ikatan di antara umat, tersemainya rasa cinta serta mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi sebab terangkatnya derajat seorang hamba. [2]

Pemahaman Hadits

Taqwa menurut bahasa artinya: menggunakan pelindung dan penghalang yang dapat menghalangi dan melindungi seseorang dari apa yang dia takuti dan hindari.

Sedang menurut istilah taqwa adalah: “Upaya seorang hamba yang mencari pelindung antara dirinya dari apa yang ditakutkan dari Rabbnya berupa kemurkaan, kemarahan, dan balasan-Nya, yaitu dengan melakukan ketaatan dan menjauhi  kemaksiatan kepada-Nya.” [3]

Makna Haitsuma kunta adalah: Di setiap waktu dan tempat engkau berada, sendiri atau dalam keramaian, dilihat orang atau tidak dilihat.

Ada dua versi makna al-Hasanah yang dikemukakan para ulama dalam ungkapan wa atbi’issayyi’atal hasanata tamhuha (ikutilah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya);

  1. Maksudnya adalah taubat, jadi maknanya adalah jika kamu berbuat salah (dosa) hendaklah kamu bertaubat yang akan dapat menghapus dosa-dosamu.
  2. Maksudnya semua bentuk amal saleh. Karena di antara fungsi amal saleh adalah menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan seorang hamba, sebagaimana banyak disebutkan dalam beberapa nash. Namun, dosa yang dimaksud adalah dosa kecil yang berkaitan dengan hak Allah. Adapun dosa besar membutuhkan taubat nasuha untuk menghapusnya. Atau jika dosa terkait dengan hak manusia dituntut meminta dihalalkan perbuatannya. [4]

Pelajaran yang Terdapat Dalam Hadits

  • Takwa merupakan bekal kehidupan seorang muslim di mana saja dia berada dan dalam kondisi apapun yang dihadapinya. Tidak hanya dibutuhkan pada waktu dan momen-momen tertentu.
  • Bersegera melakukan ketaatan setelah melakukan keburukan, karena kebaikan akan menghapus keburukan.
  • Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia.
  • Seorang muslim hendaknya menjaga keseimbangan hubungan yang baik secara vertikal maupun horizontal, antaranya dirinya dengan Allah Ta’ala, dan dengan sesama manusia.
  • Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Menjaga hubungan baik kepada Allah dan kepada  sesama manusia. : Ali Imran (2): 112
Takwa; bekal kehidupan : Al-Baqarah (2): 197, Ath-Thalaq (65): 2,4-5 
Taubat, Amal shaleh dapat menghapus dosa : An-Nisa (4): 17, Al-Furqan (25): 69,

Hud (11): 114 

Akhlak mulia

 

: Al-Qalam (68): 4
Catatan Kaki
  1. Jami’ At-Tirmizi, Abwab al-Birri wash-Shilah, no. 1987. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami’, no. 97, Misykatul Mashabih, no. 5083
  2. Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyah, hal. 158
  3. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 285
  4. Qawa’id wa Fawa’id min Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 163. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah: Ibnu Daqiq Al-Ied, hal. 141

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Jaddid Imanaka…. Perbarui Imanmu…!!

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Iman adalah karunia terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba. Dialah kunci utama kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka, merawat keimanan yang telah Allah tancapkan di dada kita, mestinya merupakan bagian terpenting dalam agenda kehidupan. Jika seseorang merasa penting untuk merawat sesuatu yang dia anggap berharga dalam hidupnya, maka terhadap keimanan mestinya lebih dari itu. Karena, baik atau tidaknya kualitas iman kita, berbanding lurus dengan baik atau tidaknya kualitas hidup kita.

Apalagi jika kita memahami, bahwa iman bukanlah sesuatu yang bersifat statis, mati dan tidak berubah-ubah. Tapi iman adalah sesuatu yang sangat dinamis, berubah-ubah, naik turun, dapat bersih bak pualam atau gelap seperti bayang di tengah malam. Itu semua sangat terkait dengan seberapa besar perhatian kita terhadap keimanan yang kita miliki.

Rasulullah ﷺ bersabda,

 إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ فَاسْأَلُوا الله أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ  (رواه الحاكم)

“Sesungguhnya keimanan akan lapuk dalam diri kalian, sebagaimana lapuknya baju. Mohonlah kepada Allah agar Dia selalu memperbaharui keimanan dalam hati kalian.” (HR. Hakim)

Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ ini, maka hal yang sangat urgen (penting) kita lakukan adalah selalu merenovasi atau memperbarui keimanan (tajdidul iman) agar tampak fresh, segar, dan memberikan energi positif dalam menapaki kehidupan.

Hal pertama yang dapat kita lakukan sebagaimana pesan Rasulullah ﷺ di atas adalah banyak berdoa dengan khusyu dan sungguh-sungguh, memohon kepada Allah Ta’ala agar selalu meneguhkan keimanan kita. Karenanya, di antara doa yang banyak dibaca Rasulullah ﷺ adalah,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ  (رواه الترمذي)

“Wahai yang membolak balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agamamu.” (HR. Tirmizi)

Selanjutnya hendaknya kita rajin menyiram hati yang menjadi wadah keimanan dengan siraman zikir, termasuk di dalamnya tilawatil quran. Sebab dia merupakan penenang  hati dan pelipur lara yang paling ampuh. Jika hati telah tenang, maka keimanan akan nyaman dan sehat.

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (سورة  الرعد: ٢٨)

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat (zikir) kepada Allah.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Hal lain lagi yang penting dilakukan untuk memperbarui keimanan adalah menghadiri majelis ilmu. Dengan menghadiri majelis ilmu, banyak yang dapat kita raih untuk memperbarui keimanan kita.

Di antaranya kita akan selalu mendapatkan nasehat. Walaupun kadang dengan tema yang sama, seperti nasehat tentang shalat, namun nasehat yang terus menerus kita terima pada akhirnya akan mampu memperbarui keimanan kita.

Lalu dengan ilmu yang kita dapatkan, maka kita akan dapat menangkal setiap syubhat atau fitnah yang dapat melemahkan keimanan. Betapa banyak orang yang keimanannya lemah karena syubhat-syubhat atau teori-teori sesat yang dia terima karena tidak memiliki ilmu yang cukup.

Begitupun dengan hadir di majelis ilmu, kita akan bertemu dengan saudara-saudara kita seiman yang sama-sama ingin memperbaiki keimanannya. Kebersamaan ini memberikan pengaruh yang tidak sedikit untuk memperbarui keimanan. Karena itu dikatakan,

الْمُؤْمِنُ ضَعِيفٌ بِنَفْسِهِ قَوِيٌّ بِغَيْرِهِ

“Seorang mukmin lemah jika hanya bersama dirinya, tapi akan kuat jika bersama selainnya.”

Karena pentingnya majelis, maka Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan kita untuk aktif di dalamnya dengan berbagai penyemangat yang beliau sampaikan. Makanya, hal ini menjadi bagian dari ‘tradisi’ para shahabat untuk berkumpul satu sama lain demi menyegarkan keimanannya. Terkenal ungkapan di tengah para shahabat,

إِجْلِسُوا بِنَا نَزْدَدُ إِيْمَاناً

“Mari kita duduk bersama untuk menambah keimanan.”

Perkara lain yang dapat memperbarui keimanan adalah merawat ibadah, baik yang fardhu dan sunah dan pada saat yang bersamaan menjauhi perbuatan munkar dan maksiat. Sebab ibadah pada hakikatnya bukan hanya menjanjikan pahala dari Allah Ta’ala. Tapi dia dapat berfungsi menjadi semacam energi kehidupan yang membuatnya akan selalu segar dan fit. Meninggalkan atau mengabaikan ibadah, sama artinya kita mengabaikan keimanan yang telah Allah berikan. Ibarat  tanaman yang tidak pernah disiram. Sebaliknya dengan maksiat, dia bukan hanya mendapatkan ancaman dosa, akan tetapi berdampak buruk bagi kesehatan jiwa. Dirinya akan semakin malas dan berat dalam menyambut seruan Allah dan akhirnya membuat hidupnya tak tentu arah. Akibat yang paling berbahaya adalah keimanannya yang akan terancam.

Semoga kita selalu mendapat taufiq dari Allah Ta’ala untuk selalu menyadari betapa pentingnya bagi kita merawat keimanan kita, setiap hari, setiap saat, setiap desah nafas kita…

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا اْلإِيْمَانَ وَ زَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَ كَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَ الْفُسُوقَ وَ الْعِصْيَانَ وَ اجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِينَ

“Ya Allah, berilah kami kecintaan terhadap iman dan hiasilah hati kami dengannya. Jadikanlah kami benci dengan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”

Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Hukum dan Adab I’tikaf

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Definisi:

I’tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu’ara: 71. Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat beribadah.

Landasan Hukum:

Syariat I’tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para sahabat.

–  Dalam surat Al Baqarah ayat 125 Allah Ta’ala berfirman,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ     (سورة البقرة: 135)

“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Albaqarah: 125)

Aisyah radhiallahu anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ (متفق عليه)

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I’tikaf sesudahnya.” (Muttafaq alaih).

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk i’tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.

Lama i’tikaf dan Waktunya

Pendapat yang kuat bahwa lama I’tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dirinya di masa jahiliah pernah bernazar untuk I’tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, ‘Tunaikan nazarmu.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa I’tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I’tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa i’tikaf boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I’tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat bahwa mereka melakukan i’tikaf kurang dari sehari.

Sedangkan lama maksimal i’tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di tahun wafatnya pernah melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Adapun waktu i’tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan i’tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah i’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR. Muslim). Namun waktu i’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Masjid Tempat I’tikaf

Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum’at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Disamping, jika i’tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i’tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat i’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.

Yang dimaksud masjid sebagai tempat i’tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.

Secara tekni, akan lebih baik jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta i’tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur  dan menyimpan barang bawaan.

Kapan mulai I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan dan kapan berakhir?

Jumhur ulama berpendapat bahwa i’tikaf dimulai sejak sebelum matahari terbenam di malam ke-21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan bahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar.  Ada juga yang berpendapat bahwa awal i’tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika hendak i’tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat i’tikafnya (HR. Muslim).

Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa i’tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu i’tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.

I’tikaf Bagi Wanita

Wanita dibolehkan melakukan I’tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan i’tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I’tikaf (HR. Bukhari)

Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya, atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.

Keluar dari Masjid saat I’tikaf

Secara umum, orang yang sedang i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.

Aisyah radhillahu anha berkata,

وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا  (متفق عليه)

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I’tikaf.” (Muttafaq alaih)

Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang i’tikaf boleh keluar masjid  adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.

Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I’tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali i’tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i’tikaf.

Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka i’tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat i’tikaf lagi dari awal.

Bahkan,  orang yang sedang i’tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).

Pembatal I’tikaf

Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I’tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I’tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.

Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I’tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.

Seseorang dibolehkan membatalkan I’tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.

Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang

Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti  tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau i’tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disisirkan Aisyah ra, saat beliau I’tikaf.

Dilarang saat I’tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya.

Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.

Filosofi I’tikaf

I’tikaf, selain dikenal sebagai salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam, dia merupakan ajaran yang direkomendasi syariat bagi mereka yang ingin lebih berkonsentrasi untuk membersihkan dan membina jiwanya agar hubungannya kepada Allah lebih kuat. Juga agar ketergantungannya terhadap dunia tidak mendominasi dirinya. Diharapkan, dengan I’tikaf, akan lahir kesadaran dalam jiwa seorang muslim, bahwa kebersihan hati dan jiwa yang tidak didominasi tuntutan duniawi merupakan syarat utama untuk mendapatkan keselamatan hidup, di dunia maupun akhirat.

Jika pada ajaran lain terdapat ajaran meditasi, bertapa atau semacamnya untuk membersihkan hati dan menimbulkan konsentrasi, maka hal seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang mengajarkannya. Disamping, banyak praktek ibadah yang telah diajarkan memiliki fungsi seperti itu, dan I’tikaf termasuk di dalamnya. Kalaupun Rasulullah shallallahu alaih wa sallam pernah melakukan khulwah (menyendiri) di goa Hira, hal itu beliau lakukan sebelum menerima wahyu. Adapun setelah dirinya diangkat menjadi seorang Nabi, maka beliau tidak lagi melakukan khulwah dan tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan seperti yang pernah beliau lakukan di goa Hira.

Dalam konteks zaman sekarang, i’tikaf merupakan jawaban aplikatif atas budaya masyarakat yang cenderung mengakhiri bulan Ramadan dengan meninggalkan masjid dan beralih ke pusat-pusat perbelanjaan… maka, melakukan i’tikaf pada zaman sekarang, dapat dikatagorikan sebagai tindakan menghidupkan sunah yang telah banyak diabaikan masyarakat…

Wallahua’lam bishshaawab

Maraji;

  1. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab, Imam Nawawi rahimahullah.
  2. Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah.
  3. Hiwar fil I’tikaf Ma’a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin, rahimahullah.
  4. Fiqhul I’tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih.

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir