Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 4)

Search Results for: abdullah haidir

Berpuasa di Musim Panas

Oleh Ustad Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Kitab Syu’abul Iman (3933) dari Qatadah, bahwa Amir bin Qais menangis saat menghadapi sakratul. Lalu ditanyakan kepadanya tentang sebab hal itu. Maka dia berkata,

مَا أَبْكِي جَزَعاً مِنَ الْمَوْتِ وَ لاَ حِرْصاً عَلَىالدُّنْيَا وَ لَكِنْ أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ ، عَلىَ قِيَامِ الَّليْلِفِي الشِّتَاءِ

“Aku menangis bukan karena takut kematian atau khawatir kehilangan dunia. Tapi aku menangisi zama’ul hawajir (berpuasa di musim panas) dan qiyamullail di musim dingin (yang akan aku tinggalkan).”

(ظمأ) artinya dahaga, (الهواجر) jamak dari kata (الهاجرة) yaitu waktu siang hari di musim sangat panas. Istilah tersebut  (ظمأ الهواجر) kemudian digunakan utk istilah berpuasa di saat cuaca sangat panas.

Dalam Mushanaf Abu Syaibah (57) diriwayatkan bahwa saat Ibnu Umar menderita sakit, dia berkata,

مَا تَرَكْتُ خَلْفِي شَيْئاً مِنَ الدُّنْيَاآسَى عَلَيْهِ غَيْرَ ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَغَيْرَ مَشْيٍ إِلَى الصَّلاَةِ

“Tidak ada sesuatu yang sangat aku sayangkan untuk aku tinggalkan di dunia ini selain zama’ulhawajir (berpuasa di musim panas) dan berjalan menuju tempat shalat.”

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu biasanya berpuasa di musim panas dan tidak berpuasa di musim dingin.
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu saat menjelang kematiannya berpesan kepada puteranya; Abdullah. Dia berkata, “Hendaknya engkau mewujudkan sifat-sifat keimanan.” Lalu beliau menyebutkan yang paling pertama; “Berpuasa saat panas sangat terik di musim panas.”
Diriwayatkan bahwa sejumlah wanita shalihat menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk melakukan puasa. Ketika ditanyakan latar belakangnya, mereka berkata, “Sesungguhnya sebuah barang, jika harganya murah, semua orang dapat membelinya.” Mereka ingin memberi isyarat bahwa mereka ingin bersungguh-sungguh melakukan suatu amal yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang karena beratnya amal tersebut sebagai wujud tingginya cita-cita mereka.
Suatu saat Abu Musa Al-Asy’ari berada dalam sebuah perahu. Tiba-tiba ada seseorang yang berseru kepadanya, ‘Wahai penumpang perahu, berhentilah. Maukah aku beritahu kalian dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan atas diri-Nya?’ Abu Musa berkata, ‘Ya, beritahukan kami.’Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri-Nya bahwa siapa yang membuat jiwanya kehausan (untuk berpuasa) karena Allah pada hari yang panas, maka wajib bagi Allah memberinya minum pada hari kiamat.”
Maka sejak saat itu, Abu Musa selalu menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk berpuasa.
Suatu ketika Al-Hajjaj melakukan safar, lalu dia singgah di sebuah perkampungan antara Mekkah dan Madinah. Kemudian dia mengundang orang-orang untuk makan siang bersamanya. Tiba-tiba dilihatnya seorang badui, maka diundangnya orang tersebut untuk makan siang bersamanya. Namun badui tersebut berkata,
“Aku sudah diundang oleh yang lebih mulia darimu, dan aku sudah terima undangannya.’
“Siapa dia?” kata Al-Hajjaj
“Allah Ta’ala. Dia mengundangku untuk berpuasa, maka aku berpuasa.”
“Di hari yang sangat panas seperti ini?” Kata Al-Hajjaj tercengang.
“Ya, aku berpuasa untuk menghadapi hari yang lebih panas dari hari ini…”

Abu Darda berkata,

صُومُوا يَوْمًا شَدِيدًا حَرَّهُ لِحَرِّ يَوْمِالنُّشُورِ وَ صَلُّوا رَكْعَتَيْنِ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ لِظُلْمَةِ الْقُبُورِ

“Berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk menghadapi hari kebangkitan, dan shalatlah dua rakaat di kegelapan malam, untuk menghadapi gelapnya kubur.”

Abu Darda berkata, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw di bulan Ramadhan pada hari yang sangat panas, sehingga setiap kami meletakkan tangannya di atas kepalanya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa selain Rasulullah SAW dan Abdullah bin Rawahah.” (Muttafaq alaih).

Semoga memotivasi kita utk berpuasa walau cuaca sangat panas….
Allahumma waffiqna bithaa’atika ….

Sumber:
–         Lathaiful Ma’arif; Ibnu Rajab Al-Hambali
–         Hilyatul Auliya; Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
–         Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

 

Musim Panas

Musim panas kembali kita rasakan. Terik matahari ditambah angin yang juga panas sering membuat kita “blingsatan” jika berada di siang hari. Sering tanpa sadar keluar keluhan kita atau bahkan umpatan terhadap udara yang tidak bersahabat ini. Padahal dilarang bagi seorang mu’min mencela sesuatu yang merupakan makhluk Allah ta’ala, sebab mereka tak lain adalah makhluk yang tunduk kepada Allah ta’ala.

Mengapa kita tidak berfikir positif sekalian dengan panasnya cuaca yang kita rasakan, sehinggap lahir sikap positif yang sangat bermanfaat buat kita. Tentu akan sangat terasa bedanya panas yang kita sikapi dengan negatif lewat umpatan dan keluhan dengan panas yang kita sikapi dengan positif lewat kesabaran dan mengambil pelajaran didalamnya.

Diantara pelajaran yang sangat bermanfaat dapat kita ambil dari panas terik yang sangat menyengat ini adalah semakin mendekatkan kita dengan pemahaman akan besar dan panasnya azab Allah di neraka. Tentu saja tidak layak membandingkan panas neraka dengan panas dunia, sebagaimana membandingkan nikmat syurga dengan nikmat dunia, akan tetapi paling tidak kita yang telah merasakan sengatan panas disini yang sulit kita dapatkan di negeri kita akan dengan mudah mengatakan: “Jika panas di dunia saja sudah seperti ini, apalagi panas di neraka”.

Kesimpulan tersebut akan semakin lengkap dan berbekas dalam kehidupan kita apabila kemudian melahirkan kesimpulan dan sikap berikutnya: “Ah biarlah merasakan panas di dunia, asal jangan terkena panas neraka di akhirat”. Kesimpulan ini jika dengan jujur diungkapkan maka orang tersebut akan langsung mendapatkan dua keuntungan.

Pertama: Sehatnya kondisi kejiwaan seseorang karena mentalnya telah siap menanggung beban yang ada.

Kedua: Menjaga diri dari perbuatan maksiat, karena khawatir dia terjerumus dalam siksa panas yang tidak tertahankan di akhirat atau sebaliknya mendorong untuk beramal lebih giat walau disaat udara yang sangat berat.

Ketika orang-orang munafik memprovokasi kaum muslimin untuk tidak berperang di jalan Allah dengan alasan terik panas matahari, maka dengan tegas Allah memberikan jawaban:

“Katakanlah: “Api neraka jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah 81)

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Ihsan Dalam Segala Hal

عَنْ أَبِي يَعْلَى؛ شَدَّاد ابْنِ أَوْسٍ رضي الله عنه، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ قَالَ: « إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ » [رواه مسلم]

Kosa kata

الإِحْسَان : berlaku baik قَتَلْـ(ـتُمْ) : (kalian) membunuh
القِتْلَة : cara membunuh ذَبَحْـ(ـتُمْ) : (kalian) menyembelih
الذِّبْحَة : cara  menyembelih يُحِدَّ : mengasah
شَفْرَتَـ(ـهُ) : pisau-(nya)/alat menyembelih يُرِحْ : senangkanlah
    ذَبِيْحَتَـ(ـهُ) : hewan sembelihan(nya)

 Terjemah hadits

Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus رضي الله عنه, Rasulullah bersabda,

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berlaku baik (ihsan) dalam setiap hal. Jika kalian membunuh maka berlaku baiklah dalam cara membunuhnya. Jika kalian menyembelih berlaku baiklah dalam cara menyembelih, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.

(HR. Muslim) [1]

Kedudukan hadits

Hadits ini merupakan salah satu prinsip agama yang penting, karena didalamnya terkandung ajaran untuk melakukan tindakan yang paling baik ketika menunaikan seluruh ajaran Islam. [2]

Pemahaman Hadits

Ihsan  (الإحسان)artinya mendatangkan manfaat kepada pihak lain, atau menampilkan yang terbaik dan maksimal dalam menunaikan sesuatu.

Kalimat (كتب) dalam nash Al-Quran dan hadits umumnya diartikan sebagai kewajiban. Perhatikan ayat-ayat berikut: An-Nisa: 103 dan Al-Baqarah: 183. Maka dengan demikian, menampilkan hal yang baik(إحسان) merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim.

Ihsan dalam membunuh (yang telah dihalalkan seperti qishash atau dalam peperangan fi sabilillah), misalnya dengan menggunakan alat yang sangat tajam dan lebih cepat mematikan serta tidak melakukan penyiksaan di dalamnya. Seperti dengan menyayat, membakar, dll.

Ihsan dalam menyembelih adalah, mengasah pisaunya hingga tajam, menggiring hewan dengan lembut, dilakukan oleh orang yang ahli dalam masalah tersebut, memotong saluran darah dan pernafasan di lehernya, tidak menyem-belih di hadapan hewan lain yang belum disembelih, membaca Bismillah ketika menyembelih, membiarkan hewan yang telah disembelih hingga dingin sebelum dikuliti. [3]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Islam menuntut sikap dan perbuatan terbaik (berdasarkan ketentuan syariat) kepada setiap pemeluknya dalam setiap tindakan dan perbuatan.
  • Membunuh dan menyembelih dalam hadits di atas hanya sebagai contoh yang Rasulullah Intinya adalah kalimat pertamanya, yaitu, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berlaku baik (ihsan) dalam setiap hal.” Atau dapat juga dipahami bahwa jika perkara membunuh dan menyembelih saja, yang notabene mengandung kekerasan, Islam menganjurkan umatnya berbuat baik, apalagi dalam perkara lainnya.
  • Syariat Islam menuntut perbuatan ihsan dan lemah lembut kepada setiap makhluk termasuk kepada hewan.
  • Syariat Islam menghendaki individu muslim sebagai pribadi yang unggul di bidangnya masing-masing.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Profesionalisme : Al-Qashash (28): 77
Berbuat baik kepada seluruh makhluk : Al-Baqarah (2): 195
Catatan Kaki:
  1. Shahih Muslim, Kitab Ash-Shaid, Bab Al-Amr bi ihasnizzabhi wal qatli wa tahdidi syafrati, no. 1955
  2. Al-Wafi fi Syarhi al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 117
  3. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah: Ibnu Daqiq Al-Ied, hal. 137

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Tentang Puasa Rajab

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.


Hadits-hadist tentang keutamaan puasa Rajab memang umumnya dhaif, bahkan maudhu. Namun tidak lantas serta merta dapat dikatakan bahwa puasa Rajab adalah bid’ah. Maksudnya adalah siapa yg hendak puasa sunah di bulan Rajab masih tetap mendapatkan keutamaan, berdasarkan keumuman anjuran puasa sunah.

Bahkan jumhur ulama berpendapat sunahnya puasa di bulan Rajab berdasarkan hadits yang berisi anjuran tentang keutamaan puasa di bulan-bulan terhormat.

  إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,dalam setahun terdapat dua belas bulan diantaranya empat bulan haram; tiga bulan diantaranya berurutan, (keempat bulan haram itu adalah) Dzulqa’dah, Dzulhijjah Muharram dan Rajab bulan Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhiroh) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda,

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ

“Berpuasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkan.” (HR. Abu Daud)

Maksud tinggalkan dalam hadits di atas adalah tidak berpuasa. Maksudnya tidak harus terus berpuasa pada bulan-bulan haram, dapat diselingi dengan tidak berpuasa.

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru berdasarkan hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”

Walaupun hadits tentang anjuran berpuasa pada bulan-bulan terhormat tersebut diperselisihkan keshahihannya. Bahkan kalaupun dia hadits dhaif, selama tidak sangat dhaif, oleh sebagian ulama boleh dijadikan hujjah untuk fadha’ilul a’mal (amal-amal sunah tambahan).

Jadi yang perlu diluruskan dalam puasa Rajab adalah niat. Yaitu puasa sunah di bulan-bulan yang terhormat. Tidak perlu mematikan semangat puasanya. Wallahua’lam.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Menyibukkan Diri dengan yang Bermanfaat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ، تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ 

[حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]

Kosa kata

ترك(ـه) : meninggalkan يعني(ـه)  : penting/bermanfaat (baginya)

Terjemah hadits

Dari Abu Hurairah t dia berkata, “Rasulullah bersabda,

‘Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia me-ninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

(Hadits Hasan riwayat Tirmizi dan lainnya) [1]

Kedudukan Hadits

Ibnu Rajab berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat berharga dalam masalah moral dan etika.”

Abu Muhammad bin Abu Zaid berkata, “Etika yang baik terangkum dalam empat hadits, yaitu sabdanya, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam,’ ‘Tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya,” pesan singkat Nabi kepada seseorang “Jangan marah,” dan sabdanya, “Orang beriman mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [2]

Pemahaman Hadits

Ya’niihi  artinya sesuatu yang dituntut dan sangat diperhatikan seseorang. Maka indikasi baiknya Islam seseorang adalah apabila dia meninggalkan apa tidak dituntutnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, urusan agama maupun dunia. Termasuk dalam perkara ini adalah semua perkara yang diharamkan, makruh, perkara mubah yang berlebihan dan tidak ada manfaatnya. [3]

Namun penekanan yang lebih kuat disampaikan dalam hadits ini adalah masalah ucapan, yaitu meninggalkan ucapan yang tidak berguna. Standar bermanfaat atau tidaknya sesuatu adalah ketentuan syariat, bukan pendapat hawa nafsu. [4]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

1-Islam menghendaki terbentuknya masyarakat mulia dan produktif, dimana pemeluknya selalu memanfaatkan setiap potensi dan kesempatan serta tidak menyianyiakannya.

2-Termasuk sifat orang muslim adalah menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mulia serta menjauhkan perkara yang hina dan rendah. Pemahaman kebalikannya adalah bahwa menyibukkkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan tanda kelemahan iman.

3-Setiap muslim dituntut mendidik diri sendiri untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di dalamnya.

4-Penting untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan positif agar tidak ada waktu yang terisi dengan kesia-siaan.

5-Pribadi Islam yang baik bukan hanya mereka yang meninggalkan perkara-perkara haram atau makruh, tetapi juga bahkan meninggalkan perkara yang dibolehkan, jika nyata-nyata hal tersebut tidak bermanfaat.

Baca Juga: Waktu Ibarat Pedang

Tema hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Optimalisasi waktu dan potensi : Al-‘Ashr (103): 1-3, Al-Baqarah (2): 148
Meninggalkan hidup terlena : Al-Munafiqun (63): 9, Luqman (31): 6
Hati-hati dalam berucap : Qaaf  (50): 18, Az-Zukhruf (43): 80
Catatan Kaki:
  1. Jami at-Tirmizi, Abwabu Az-Zuhd, no. 2317, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih al-Jami’, no. 10854. Diriwayatkan pula Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, at-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
  2. Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, Jami’ al-Ulum wal Hikam, hal. 201
  3. Tuhfatul Alwazie, hal. 6/500
  4. Jami al-Ulum wal Hikam, hal. 201-203

Baca Juga: Menyapa Allah di Waktu Lapang

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Mengendalikan Emosi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ: « أَوْصِنِي، قَالَ: “لاَ تَغْضَبْ” فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: “لاَ تَغْضَبْ”» [رواه البخاري]

Kosa kata

أَوْصِـ(نِي)    : Nasehatilah  (saya) رَدَّدَ       : Mengulanginya
تَغْضَبْ        : (Engkau) marah مِرَاراً      : Berulang kali

Terjemah hadits

Dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu,

“Seseorang berkata kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, “Nasehatilah saya.’ Beliau bersabda, ‘Jangan marah.’ Lalu dia mengulanginya (minta nasehat) berulangkali. Beliau (tetap) bersabda, ‘Jangan marah.”  (HR. Bukhari) [1]

Kedudukan Hadits

Al-Jurdani berkata, “Hadits ini sangat agung, termasuk Jawami’ul Kalim yang merangkum kebaikan dunia dan akhirat, karena dalam hadits ini terdapat perintah untuk menjauhi sebab-sebab marah yang merupakan sumber keburukan, dan menghindar darinya merupakan sumber kebaikan” [2]

Pemahaman Hadits

Tidak tertutup kemungkinan bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat seperti itu, karena beliau mengetahui bahwa orang yang bertanya tersebut memiliki sifat pemarah [3].

Hadits Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam Laa taghdhab (jangan marah) dapat dipahami dari dua sisi;

a- Perintah untuk mencari sebab yang dapat menghalangi datangnya marah dalam diri seseorang, misalnya dengan berperilaku mulia seperti dermawan, santun, malu, tawadhu, kuat menanggung beban, pemaaf dll.

b- Perintah untuk tidak melakukan tindakan berdasarkan kemarahannya saat itu, tetapi justru bertindak yang dapat meredakan amarahnya sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti berwudhu, duduk jika sedang berdiri, diam, membaca A’uzu billahiminasysyaithanirrajim, dll. [4]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Anjuran bagi setiap muslim untuk minta dan memberikan nasehat agar mengenal perbuatan baik dan termotivasi melakukannya serta menambah wawasan serta ilmu yang bermanfaat.
  • Nasehat hendaknya disampaikan sesuai kebutuhan orang yang dinasehati.
  • Nasehat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang untuk tidak marah menunjukkan bahwa marah merupakan salah satu sumber keburukan pada seseorang. Karena dengan marah menyebabkan perbuatan-perbuatan buruk lainnya, seperti perkataan kotor, dusta, mencaci, menggunjing, mengungkit-ungkit masa lalu dll.
  • Dianjurkan untuk mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya kedudukan hal tersebut.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Meninggalkan sifat  pemarah : Ali-Imran (3): 134, 159,

Asy-Syuro (42): 37

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Adab, no. 6116.
  2. Qawa’id wa Fawa’id minal Arbain An-Nawawiyah, hal. 145.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu Daqiq al-‘Ied, hal. 134.
  4. Jami’ al-Ulum wal-Hikam, hal. 260-261.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Asah Talenta Takwamu

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Berdasarkan hikmah-Nya, selain menciptakan potensi ketakwaan, Allah juga memberikan potensi kemaksiatan dalam diri manusia (QS. Asy-Syam: 8). Jadilah potensi kebaikan dan keburukan secara bersamaan dimiliki setiap manusia.

Tapi ada yang penting diketahui, Allah Ta’ala telah membekali setiap orang dengan sebuah watak dasar yang menyatu dalam dirinya, yaitu bahwa pada dasarnya, manusia menyenangi ketakwaan, keimanan dan ketaatan serta sifat-sifat baik lainnya. Sementara pada saat yang bersamaan, dirinya secara fitrah menolak sifat-sifat keburukan dalam berbagai macam bentuknya.

Inilah talenta jiwa yang sering diabaikan. Jika sekarang banyak orang yang sibuk menggali talenta apa saja untuk mencari bakat-bakat terpendam demi sebuah popularitas dan mimpi sesaat, namun talenta yang satu ini seringkali dibiarkan terbengkalai. Padahal, dia nyata-nyata ada dalam diri setiap manusia, dan menjanjikan kebahagiaan dan kesenangan hakiki.

Sebagaimana umumnya sebuah bakat, talenta jiwa ini juga membutuhkan adanya pembinaan, perawatan dan latihan terus menerus dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, hingga akhirnya terbentuk sebuah pribadi yang sesuai dengan fitrah dan watak dasarnya, sebagaimana Allah Ta’ala isyaratkan tentang pribadi para shahabat, sebagai orang-orang yang ‘cinta pada keimanan dan terasa indah dalam hati, serta benci dengan kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan’ (QS. Al-Hujurat: 7)

Dengan kondisi tersebut, seseorang telah memiliki perangkat utama untuk melakukan perbuatan baik dan menghalau perbuatan buruk. Sebab, jika dalam dirinya telah muncul rasa cinta terhadap kebaikan dan senang dengan ketaatan, tak akan banyak berarti baginya tantangan di hadapan dan beratnya cobaan. Demikian pula halnya dengan keburukan, kefasikan dan kemaksiatan. Jika dalam dirinya sudah terpatri penolakan dan kebencian, maka rayuan menghanyutkan dan iming-iming menggiurkan, tak akan menggoyahkan.

Karenanya, ketika seorang shahabat bernama Wabishah Al-Asady hendak bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa), beliau bersabda,

يَا وَابِصَةُ ! اسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ) ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ  (رواه أحمد)

“Wahai Wabishah, mintalah fatwa dari hatimu, mintalah fatwa dari jiwamu (beliau ucapkan sebanyak tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menjadikan jiwa dan hati tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang dapat mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam hati, meskipun orang-orang  memberi fatwa kepadamu lalu mereka berfatwa lagi (jangan kamu perhatikan fatwa mereka selagi hatimu tidak tenang dan mantap dengan fatwa tersebut).” (HR. Ahmad)

Dapat kita katakan bahwa talenta jiwa yang terus diasah, akan dapat menjadi  semacam ‘starter’ atau penggerak awal bagi langkah-langkah kebaikan. Selain itu, kondisi jiwa yang demikian  juga dapat berfungsi sebagai ‘alarm dini’ bagi setiap keburukan yang datang menghampiri. Situasi seperti ini jelas sangat kondusif bagi sebuah proses dan jalan menuju takwa. Sebaliknya, jika talenta jiwa tidak terasah dan tergali, diri seseorang akan bagaikan keranjang sampah yang tidak  lagi peduli, apa yang masuk ke dalamnya.

Musuh terbesar bagi upaya menggali talenta jiwa adalah terjerumus dan hanyut dalam godaan kesenangan nafsu duniawi. Sering atas nama kesenangan dunia, setitik demi setitik noda hitam kemaksiatan dia tanamkan dalam hatinya, begitu seterusnya hingga akhirnya terbentuklah apa yang Allah katakan sebagai ‘Raan’ yang menutupi hati (QS. Al-Muthaffifin: 14).

Akibatnya, dirinya tak berdaya untuk mengenali kebaikan dan keburukan dalam kehidupannya, karena talentanya sudah tertutup oleh kusamnya dosa dan gelapnya maksiat.

Kalau sudah begini, jangankan kebaikan level tertinggi, level terendah pun, teramat berat dia laksanakan. Sebaliknya, dia tidak merasa terpuaskan dengan kemaksiatan-kemaksiatan ‘sepele’ yang sudah akrab dilakukan tanpa beban dalam jiwanya, untuk akhirnya merambah kepada maksiat ‘stadium lanjut’.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Iman dan Perilaku Kehidupan

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ » [رواه البخاري ومسلم]

Kosa kata

 (لـِ)يَصْمُتْ    : (hendaklah) dia diam يُكْرِم            : memuliakan
جار(ه)          : tetangga-(nya) ضَيْفَـ(هُ)      : tamu-(nya)

Terjemah hadits

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, “Rasulullah ﷺ bersabda,

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”    (HR. Bukhari dan Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Hadits ini termasuk bagian dari hadits-hadits yang menjadi landasan etika yang baik. [2]

Pemahaman Hadits

Zahir hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak melakukan pesan Rasulullah ﷺ berarti dia tidak beriman. Yang dimaksud tidak demikian. Tetapi yang dimaksud adalah kesempurnaan iman. Yaitu, bahwa siapa yang melakukan apa yang telah diajarkan Rasulullah ﷺ tersebut akan menambah kualitas keimanannya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata tentang hadits ‘….berkata baik atau kalau tidak, lebih baik diam’, “Makna hadits ini adalah bahwa jika seseorang hendak berbicara hendaklah dia berfikir sebelumnya. Jika dia mengetahui bahwa hal tersebut tidak menyebabkan kerusakan dan sesuatu yang haram atau makruh, hendaklah dia berbicara. Namun meskipun boleh, maka diam lebih selamat, agar tidak menariknya kepada perkara yang haram.” [3]

Perkataan yang baik dapat ditinjau dari dua sisi; Pertama, dari perkataannya itu sendiri, seperti berzikir kepada Allah, membaca Al-Quran, amar ma’ruf nahi munkar dll. Kedua, dari tujuan perkataan tersebut, seperti perkataan yang bertujuan untuk membahagiakan orang lain. [4]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Iman seharusnya memberikan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
  • Islam menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dikalangan individu masyarakat muslim.
  • Termasuk kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik atau diam jika tidak mampu berkata baik.
  • Hadits ini secara tersirat juga mengajarkan setiap mukmin untuk tidak berlebih-lebihan dalam berbicara. Namun saat dibutuhkan dia harus berbicara, khususnya jika bertujuan menerangkan yang haq dan beramar ma’ruf nahi munkar.
  • Termasuk kesempurnaan iman adalah menghormati dan memperhatikan tetangganya serta tidak menyakitinya.
  • Memuliakan tamu termasuk di antara kemuliaan akhlak dan pertanda komitmennya terhadap syariat Islam.
  • Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.
  • Islam menghendaki masyarakat yang santun dengan landasan keimanan, satu sama lain saling menghormati dan memuliakan serta tidak saling menyakiti, baik dari segi perbuatan ataupun perkataan.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Iman dan pengaruhnya dalam prilaku keseharian : An-Nahl (16): 97
Menjaga perkataan : Qaaf (50): 18
Hubungan baik dengan tetangga : An-Nisa (4): 36
Memuliakan tamu : Ad-Dzariat (51): 24-27

Catatan kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Adab, no. 5672. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 47.
  2. Lihat kedudukan hadits no. 12
  3. Fathul Bari, 13/149
  4. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah: Syekh Ibnu Utsaimin, hal. 200

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

“Virus” yang Mengancam Jama’ah Haji

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna – Siapa yang tak senang mendapatkan kesempatan beribadah haji? Mimpi dan khayalan segera terbukti, Janji-janji kebaikan telah menanti, kepuasan batin akan menghampiri.

Namun, betatapun mulianya ibadah haji, jika kita kurang hati-hati, ada perkara-perkara yang dapat mengurangi atau bahkan merusak nilai ibadah itu sendiri. Bolehlah kita katakan hal tersebut sebagai ‘Virus Dalam Ibadah Haji’;

1. Syirik.

Di antara tujuan utama ibadah haji adalah memurnikan tauhid dan meninggalkan syirik. Kalimat talbiah memberikan makna yang jelas tentang hal tsb dan banyak lagi petunjuk lainnya dalam ibadah ini yang mengajak kepada tauhid yang murni.

Perjalanan ibadah haji yang cukup mengandung resiko, kemudian keberadaannya di tanah suci yang Allah muliakan, tidak jarang mengundang sebagian jamaah haji meyakini atau melakukan sesuatu yang dapat masuk pada katagori syirik, kecil maupun besar.

Sebagian jamaah haji ada yang membawa tanah dari kampung halamannya dengan keyakinan agar dirinya dapat kembali dengan selamat. Sebagian lagi ada yang membawa tanah dari tanah haram untuk mendapatkan berkah, atau untuk jimat. Sebagian lagi mengusap-usap bangunan tertentu yang diyakini memiliki berkah atau membeli kain kiswah (penutup Ka’bah) dengan keyakinan akan mendatangkan keberuntungan.

Bahkan ada yang memohon kepada makhluk. Atau contoh-contoh lainnya yang termasuk katagori syirik. Camkanlah dalam diri. Syirik membuat ibadah kita menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah (QS. Al-An’am: 88).

2. Riya, sum’ah dan sombong.

Apresiasi yang tinggi dari masyarakat terhadap orang yang telah menjalankan ibadah haji, tidak jarang membuat sebagian orang menjadikan ibadah haji sebagai lambang prestise dan kebanggaan. Permasalahan ini biasanya sangat halus. Karena itu sangat membutuhkan kebersihan hati dan mawas diri untuk menghindarinya.

Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji. Kelebihan fisik, materi atau bahkan fasilitas yang dia dapatkan dalam ibadah berbanding dengan kekurangan yang terdapat pada pihak lain, jika tidak diiringi penataan hati yang benar, dapat menggiringnya pada sikap sombong yang meremehkan orang lain, baik itu terungkap ataupun tidak. Justeru yang harus ditampilkan adalah rendah hati, bersahaja dan sederhana serta mengasihi kepada sesama.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji di atas kendaraannya yang ringkih dan dengan kain seharga empat dirham atau kurang. Lalu beliau bersabda,

اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيهَا وَلاَ سُمْعَةَ

“Ya Allah, jadikanlah haji (yang mabrur), tidak ada riya dan sum’ah di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah).

Siapa tahu, mereka yang kumal dan dekil itulah yang hajinya paling diterima Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw mengabarkan bahwa Allah membanggakan hamba-hamba-Nya pada hari Arafah kepada para penghuni langit dengan berfirman,

” انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى جَاءُونِى شُعْثًا غُبْرًا “

“Lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kumal dan dekil.” (HR. Hakim, Ahmad, Thabrani, dll)

3. Tidak cukup bekal ilmu.

Besarnya motivasi kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah haji layak disyukuri. Namun, seringkali dorongan yang besar tersebut tidak berbanding lurus dengan dorongan untuk membekali diri dengan ilmu yang cukup dalam pelaksanaan manasik haji. Tidak jarang didapati ada jamaah haji yang tidak mengetahui perkara-perkara mendasar dalam ibadah haji. Ada misalnya jamaah haji yang sudah ihram dan memakai pakaian ihram, ketika ditanya haji apa yang akan dia lakukan, dia tidak mengetahuinya.

Ibadah haji adalah ibadah yang jarang dilakukan, kemudian ibadah ini juga sangat terkait dengan medan dan situasi yang berkembang dan berubah-ubah. Bisa jadi teori yang kita pelajari menjadi berubah karena kondisi yang dialami berubah. Seperti misalnya Aisyah ra yang sudah niat haji, lalu mengalami haid maka Rasulullah saw perintahkan untuk mengubah niatnya agar tidak terhalang pelaksanaan hajinya. Jadi membutuhkan ilmu yang cukup. Minimal, hendaknya dia berada di bawah bimbingan yang intensif selama perjalanan haji. Yang lebih parah lagi adalah jika sang pembimbing pun ternyata tidak banyak memahami seluk beluk manasik haji.

Maka sangat dianjurkan membawa buku petunjuk ibadah haji selama melaksanakan manasik haji, memahami satu demi satu pelaksanaan haji, ikuti dengan seksama setiap penjelasan tentang pelaksanaan haji, dan banyak-banyaklah bertanya kepada orang yang paham tentang berbagai masalah yang dia hadapi.

Saat melaksanakan ibadah haji, Rasulullah saw menjadi tempat bertanya, beliau melakukan bimbingan, memberi penjelasan dan meluruskan perbuatan-perbuatan yang salah.

4. ‘Pandangan Liar’.

Dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa saat menunaikan haji, Al-Fadhl bin Abbas (sepupu Rasulullah saw) yang masih berusia muda berboncengan dengan Rasulullah saw. Tak lama kemudian datang seorang wanita muda dari suku Khats’am kepada Rasulullah saw, hendak meminta fatwa dari beliau. Lalu Al-Fadhl dan wanita tersebut saling berpandangan. Maka Rasulullah saw memalingkan muka Al-Fadhl ke arah lain. (Muttafaq alaih)

Jika hal ini terjadi pada masa Rasulullah saw, apalagi pada masa sekarang! Hati-hati dengan pandangan-pandangan yang tidak terkontrol terhadap lawan jenis, baik dalam satu rombongan atau dengan rombongan lain Apalagi orang-orang dari berbagai bangsa dengan rupa yang menawan boleh jadi akan sering berseliweran di depan kita. Kalau memang mau tidak mau terlihat oleh kita, jangan ikuti dengan pandangan berikutnya. Kini barangkali tidak ada orang yang mengalihkan muka kita sebagaimana yang Rasulullah saw lakukan terhadap Al-Fadhl. Karena itu, kita harus mengatasi sendiri masalah tersebut dengan sebuah kesadaran dan kekuatan hati.

Kalau tidak, maka dia dapat menjadi celah masuknya setan merusak nilai ibadah kita. Tidak sedikit hubungan cinta tidak halal berawal dari pandangan yang tidak terjaga saat beribadah haji. Khususnya jika jamaah hajinya masih bujangan atau gadis.

Khusus kepada jamaah haji wanita, bantulah kaum pria untuk tidak tergoda dan terkena fitnah dengan tidak menampilkan dandanan yang menggoda dan menarik, atau dengan tidak berprilaku dan bertindak yang dapat mengundang perhatian khusus. Bersikaplah yang wajar, berkata yang sopan dan tidak dilebih-lebihkan. Hindari bercanda dengan lawan jenis yang bukan mahram, apalagi jika dengan warga asing.

5. Alat-alat komunikasi dan dokumentasi.

“Jangan lewatkan kesempatan yang satu ini.”

Ungkapan yang bernada iklan ini sangat pas untuk moment khusus dalam ibadah haji. Apakah saat thawaf, sai, wukuf, mabit di Muzdalifah, melontar jamarat, mabit di Mina, dll. Jika ungkapan tersebut dimaknai positif dengan fokus dan khusyu beribadah serta bedoa kepada Allah, maka hal itu tentu sangat tepat. Namun pada masa kini muncul fenomena baru untuk selalu mengabadikan moment-moment yang sangat berharga tersebut. Maka ‘jepret sana jepret sini’ tanpa menghiraukan tempat dan suasana ibadah yang sangat khusus, kini sudah menjadi pemandangan yang sering kita dapatkan. Saat desak-desakkan thawaf, kadang kita dapatkan orang yang sempat-sempatnya ‘berpose’, begitu pula saat sai. Saat waktu wukuf dimulai, masih ada sebagian jamaah haji yang asyik bergaya untuk dipoto di bawah pohon, di dalam tenda atau di tengah keramaian, atau dia pergi ke Jabal rahmah untuk mendapatkan satu dua pose yang menarik. Kadang ketika kita sedang khusyu berdoa, di sebelah ada yang sedang cekikikan berbicara dengan orang di seberang sana.

Hendaknya dibatasi penggunaan alat-alat tersebut selama pelaksaan ibadah haji. Maksimalkan untuk hal-hal yang bermanfaat, apakah bertanya, mengetahui lokasi, mencari informasi dll. Usahakan pada moment tertentu, seperti sedang thawaf, wukuf, dll tidak menggunakan alat-alat tsb kecuali jika ada kebutuhan mendesak.

6. Kata-kata Kasar, mengeluh dan berbantah-bantahan

Pelaksanaan ibadah haji membutuhkan kesabaran ekstra. Kita akan sering berhadapan dengan kondisi dan situasi di bawah ambang normal. Kemacetan total, jalan kaki berdesak-desakkan, tidak menemukan lokasi yang dicari, antri WC sekian lama, sikap kasar orang lain, panas terik tanpa pelindung kepala, dll.

Benarlah pesan Allah Ta’ala bagi orang yang beribadah haji, “Siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan.” (QS. Al-Baqarah: 197) Sekaligus ini juga merupakan syarat haji mabrur sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam hadits muttafaq alaih.

Seorang ustaz mengistilahkan, pergi haji tidak cukup membawa satu dua kesabaran, tapi harus membawa ‘sekeranjang’ kesabaran, atau bahkan ‘sekontainer’ kesabaran. Kalau tidak, maka yang sering keluar adalah keluhan, kata-kata yang tidak baik bahkan berbantah-bantahan. Jika semua itu diganti dengan zikir, berdoa mohon kemudahan kepada Allah plus sesungging senyuman, sungguh akan sangat bermakna.

7. Berlebih-lebihan Belanja.

Salah satu perhatian jamaah haji di luar ibadah yang cukup sering menyita perhatian adalah menyiapkan oleh-oleh untuk dirinya sendiri, keluarga dan kenalan di tanah air. Ini adalah niat yang baik dan patut mendapatkan perhatian. Tapi menjadikan pelaksanaan ibadah haji didominasi dengan agenda belanja, menghamburkan uang untuk membeli segala sesuatu yang diingininya begitu saja dan kemudian dirinya lebih disibukkan oleh barang bawaannya ketimbang maksimal beribadah, hal ini patut diwaspadai. Dengar-dengar, jamaah haji dari Indonesia memiliki kegemaran belanja lebih dari bangsa lainnya, bahkan termasuk dari bangsa yang lebih tinggi kemakmurannya…..

Usahakan agenda belanja dilakukan jauh sebelum pelaksanaan haji, atau sesudahnya. Kemudian pertegas barang-barang yang hendak dibeli sesuai kebutuhan dan rencana. Agar diketahui, sebagian barang yang dibeli jamaah haji, tidak lebih bagus dan lebih murah dari barang yang ada di tanah air. Hanya kegemaran berbelanja itulah yang sering mengenyampingkan perkara tersebut.

Riyadh, Dzulqaidah 1434 H.

Persaudaraan Islam

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ ؛ أَنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ -خَادِمُ رَسُوْلِ الله  – عَنِ النَّبِيِّ  قَالَ: « لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » [رواه البخاري ومسلم]

Kosa kata

يحب            : Mencintai (لـ)نفسـ(ـه)    : (untuk) diri-(nya)

Terjemah hadits

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, -pembantu Rasulullah dari Nabi  , beliau bersabda,

“Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan sempurna) sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits ini termasuk di antara empat hadits yang merangkum masalah etika yang baik. [2]

Pemahaman Hadits

Maksud tidak beriman dalam hadits di atas adalah tidak sempurna imannya. Jadi yang ditiadakan (nafi) adalah kesempurnaan iman. Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata, ‘Makna hadits ini adalah, ‘Tidak beriman dengan sempurna…, karena pokok keimanan itu tetap ada walaupun seseorang tidak memiliki sifat tersebut.’ [3]

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

  • Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu jiwa, dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Apa yang disenangi untuk dirinya, baik dalam bentuk datangnya kebaikan atau terhindari dari bahaya, juga disenangi jika terjadi pada saudaranya.
  • Masalah ini tidak hanya terbatas pada urusan dunia, fisik atau materi saja, tetapi juga mencakup urusan akhirat dan agama. Maka sebagaimana dia senang keimanan, hidayah, ketakwaan, beribadah, dia pun menginginkan hal serupa terhadap saudaranya. Hal tersebut menuntutnya untuk berdakwah kepada saudara-saudaranya agar semua kesenangan tersebut juga dapat dinikmati oleh saudara-saudaranya.
  • Hadits ini secara tersirat menyerukan kita untuk menjauhi sifat dengki, karena tidak mungkin seseorang mencintai saudaranya sebagaimana dirinya sendiri, jika ada sifat dengki terhadap saudaranya. [4]
  • Hadits ini juga secara tersirat mengajarkan seorang muslim agar tidak menyakiti saudaranya sebagaimana dirinya tidak ingin disakiti.
  • Hadits ini merupakan salah satu dalil bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
  • Anjuran untuk menyatukan hati.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Mencintai sesama muslim : Al-Hasyr (59): 9
Menyakiti saudara sama de-ngan menyakiti diri sendiri : Al-Hujurat (49): 12
Ukhuwah Islamiah : Al-Hujurat (49): 10, Ali Imran (3): 103
Catatan Kaki:
  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab Minal Iman an Yuhibba li akhiihi ma Yuhibbu linafsihi, no. 13. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Addalil ‘ala anna min Khishalil Iman an Yuhibba li Akhihi al-Muslim maa Yuhibbu Linafsihi minal Khair, no. 45.
  2. Lihat penjelasan hadits sebelumnya, no. 12
  3. Fathul Bari, 1/63, Syarh Muslim, 1/220
  4. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 215

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)