Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 5)

Search Results for: abdullah haidir

Apa dan Bagaimana Sholat Rawatib (Bagian-2)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

  1. Kita teruskan lagi kajian tentang shalat rawatib. Pembahasan lalu tentang shalat qabliah subuh, silakan dibuka http://manhajuna.com/apa-dan-bagaimana-sholat-rawatib-bagian-1/
  2. Shalat qabliah subuh sudah dijelaskan, adapun sesudah Shubuh (ba’diah), tidak ada sunahnya, bahkan dia termasuk waktu yang dilarang untuk shalat.
  3. Kecuali jika ada yang terlambat, tidak sempat shalat qabliah Shubuh, maka menurut sebagian ulama, dia dapat mengqadhanya sesudahnya.
  4. Akan tetapi sebagaimana dibicarakan sebelumnya, jika ingin qadha qabliah Shubuh, setelah matahari terbit, karena ini ulama sepakat membolehkannya.
  5. Berikutnya adalah shalat rawatib Zuhur. Untuk shalat Zuhur, shalat rawatibnya ada pada sebelum dan sesudahnya.
  6. Artinya ada shalat qabliah dan ba’diahnya. Keduanya mu’akadah (sangat ditekakan), hendaknya dilakukan secara kontinyu…
  7. Dalam hadits muttafaq alaih dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa rawatib qabliah Zuhur; 4 rakaat, sedangkan dalam hadits Bukhari dari Aisyah; 2 rakaat.
  8. Yang 4 rakaat pun diperdebatkan lagi, apakah sekali salam, artinya shalat empat rakaat langsung, lalu di rakaat keempat, tasyahud dan salam
  9. Ada juga yang mengatakan rawatib 4 rakaat dengan 2 rakaat, maksudnya dilakukan 2 rakaat salam-2 rakaat salam. Ini pendapat yang lebih kuat…
  10. Maka qabliah Zuhur dapat dilakukan 2 rakaat, dapat juga 4 rakaat. Keduanya termasuk mu’akadah (sangat ditekankan).
  11. Komprominya; Jika waktu luang dan kondisi semangat, sebaiknya shalat 4 rakaat. Jika waktu sempit atau tidak sedang semangat, shalat 2 rakaat
  12. Adapun shalat rawatib ba’diah zuhur disebutkan dalam riwayat Tirmizi bahwa shalat ba’diah Zuhur 4 rakaat.
  13. Cuma para ulama umumnya menyatakan bahwa yang mu’akadah dua rakaat saja, dua rakaat berikutnya tidak mu’akkadah atau tidak terlalu ditekankan.
  14. Adapun rawatib Ashar, yang ada hanya qabliah. Sabda Nabi; Allah merahmati orang yang shalat 4 rakaat sebelum Ashar (HR. Abu Daud & Tirmizi)
  15. Namun para ulama memperdebatkan apakah ini termasuk rawatib yang mu’akadah atau tidak.
  16. Perbedaan bersumber dari derajat hadits. Ada yang berpendapat haditsnya lemah, tapi mayoritas ulama menyatakan bahwa haditsnya shahih.
  17. Karenanya lebih kuat dia merupakan sunah mu’akadah. Kesimpulannya shalat qabliah Ashar disepakati kesunahannya.
  18. Tapi apakah sunahnya ditekankan atau tidak… disinilah para ulama berbeda pendapat antara yang menyatakan mu’akadah dan yang tidak…
  19. Jikapun tidak shalat 4 rakaat, dapat dilakukan shalat 2 rakaat berdasarkan keumuman sunahnya shalat 2 rakaat antara azan dan iqamah
  20. Berikutnya rawatib Maghrib. Untuk qabliah rawatibnya dua rakaat, namun para ulama sepakat nyatakan goiru mu’akadah, tidak ditekankan…
  21. Sekali lagi berdasarkan keumuman hadits yang menyatakan disunahkan shalat 2 rakaat antara azan dan iqamah.
  22. Adapun ba’diahnya, adalah 2 rakaat dan termasuk shalat rawatib mu’akadah, atau sangat ditekankan. Ini perkara yang tidak diperselisihkn..
  23. Berikutnya rawatib Isya, spt maghrib, qabliahnya 2 rakaat rawatib yang tidak ditekankn. Sedangkan ba’diahnya 2 rakaat rawatib yang ditekankan

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Apa dan Bagaimana Sholat Rawatib (Bagian-1)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

1- Shalat sunah rawatib sangat besar keutamaannya. “Siapa yang rutin shalat 12 rakaat (rawatib), dibangunkan rumah di surga.” (HR. Muslim)

2. Gemar lakukan sunah setelah yang wajib, bukti komitmen dan cinta kepada Allah. Ibarat orang yang tetap bekerja di luar jam kerja yang wajib.

3. Dalam hadits shahih, siapa yang gemar melakukan sunah (setelah lakukan fardhu) Allah mencintainya dan selalu memelihara dan membimbing.

4. Apa artinya rawatib? Rawatib رواتب dalam bahasa Arab; jamak (plural), mufrad (tunggal)nya ‘ratib’ راتب Artinya sesuatu yang tetap dan rutin.

5. Dalam bahasa arab, gajian disebut ‘ratib’ karena dia rutin datang setiap bulan.

6. Ada juga istilah ‘ratiban’, juga diambil dari kata ratib, maksudnya membaca zikir-zikir secara rutin, atau juga dikenal dengan istilah wirid/wiridan.

7. Adapun yang dimaksud shalat rawatib adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu, baik sebelum maupun sesudahnya.

8. Dikenal juga dengan istilah shalat qabliah dan ba’diah, qabliah maksudnya sebelum shalat fardhu, ba’diah maksudnya sesudahnya.

9. Maka, dikatakan shalat rawatib karena ini shalat sunah yang bersifat tetap mengikuti shalat fardhu.

10. Shalat rawatib terbagi 2, ada yang mu’akaddah (sangat ditekankan) dan goiru mu’akkadah (tidak ditekankan), tapi tetap disunahkan/dianjurkan

11. Disebut mu’akkadah karena Nabi saw selalu melakukan, goiru mu’akkadah karena Nabi saw kadang melakukan, kadang tidak.

12. Ada juga yang mengartikan, shalat sunah rawatib, maksudnya yang mu’akadah (sangat ditekankan) kalau yang tidak ditekankan, bukan rawatib..

13. Ok… itu istilah saja, tidak terlalu prinsip, yang penting pemahaman dan pengamalannya…

14. Secara praktis, yang mu’akkadah, sedapat mungkin jangan ditinggalkan. Adapun yang ghoiru mu’akkadah, sekali waktu dapat ditinggalkan.

15. Jumlah shalat rawatib ada perbedaan para ulama, ada yang berpendapat 10 rakaat, 12 rakaat, hingga 17 rakaat. Tapi semuanya dapat dikompromikan

16. Shalat rawatib qabliah (sebelum fardhu), semua shalat yang 5 waktu ada rawatibnya, namun ada yang mu’akkadah (sangat ditekankan) ada yang tidak

17. Adapun shalat ba’diyah (sesudah fardhu), hanya tiga shalat yang ada rawatibnya, semuanya mu’akkadah, yaitu Maghrib, Isya dan Zuhur

18. Adapun setelah dua shalat fardhu lainnya, tidak ada rawatibnya, bahkan dilarang shalat pada waktu tersebut, yaitu setelah shalat Shubuh dan Ashar.

19. Kita mulai dari shalat Shubuh, sunah rawatib yang ada hanyalah qobliah Subuh, dua rakaat.

20. Inilah shalat rawatib yang paling afdhal. Dalam hadits Muslim disebutkan bahwa shalat sunah Fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya.

21. Diriwayatkan juga bahwa tidak ada shalat sunah yang paling diperhatikan Nabi saw selain shalat dua rakaat sunnah Fajar (Muttafaq alaih)

22. Dalam hadits shalat rawatib qabliah Subuh disebut sebagai‘rak’ataa al fajr’ ركعتا الفجر artinya dua rakaat (sunah Fajar).

23. Jangan bingung, dalam hadits ada yang disebut ‘shalatul fajri’ shalat Fajar, itu maksudnya shalat Shubuh.

24. Ada juga yang disebut ‘rak’ataa al fajr’ atau ‘rak’atai al fajr’ itu maksudnya dua rakaat shalat sunah sebelum Subuh, atau qabliah shubuh.

25. Sunah qabliah Subuh ini tidak gugur walau saat safar dan qashar shalat. Sementara shalat rawatib lainnya gugur jika qashar dalam safar.

26. Rawatib qabliah Subuh hendaknya dilakukan dengan singkat, tentu dengan tetap menjaga syarat rukun shalat. Maksudnya jangan terlalu lama.

27. Sunah pada rakaat pertama, setelah baca Al Fatihah, membaca surat Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua setelah Al Fatihah membaca Al Ikhlas.

28. Jika masuk masjid langsung shalat rawatib, maka hal itu sudah dianggap tahiyatul masjid. Jadi tak perlu shalat dua kali untuk ini.

29. Karena inti dari tahiyyatul masjid adalah bagaimana ketika kita masuk masjid, perbuatan pertama kali yang kita lakukan adalah shalat…

30. Jika tidak sempat melakukannya, misalnya karena keburu iqamah, dan sudah mulai jamaah subuh, shalat rawatib ini dapat di qadha.

31. Para ulama sepakat bahwa shalat qabliah shubuh yang tidak sempat terlaksana dapat diqadha. Karena ada hadits yang tegas dalam masalah ini.

32. Waktu mengqadhanya, jika setelah shalat Shubuh, ulama dalam mazhab Syafii dan Hambali membolehkan, namun ulama mazhab Hanafi tidak membolehkn

33. Yang lebih hati-hati adalah mengqadhanya setelah matahari terbit dan naik sepenggalan, ini lebih hati-hati dan disepakati para ulama kebolehannya.

34. Ada dua riwayat dalam masalah ini. Dalam riwayat Baihaqi, dll, adanya seorang shahabat yang shalat dua rakaat setelah shalat Shubuh,

35. ketika ditanya, dia bilang tadi tidak sempat lakukan shalat qabliah shubuh, maka dia lakukan sesudah shubuh. Maka beliau pun setujui.

36. Ada juga hadits nabi, ‘Siapa yg belum sempat shalat dua rakaat sunah Fajar, hendaknya shalat sesudah matahari terbit.” (HR. Tirmizi)

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Khutbah Jum’at: Mewujudkan Negeri Yang Aman

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

musim_panas

الْحَمْدُ للهِ، الحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْعَمَنَا بالإِيمَانِ وَالأَمَانِ ، وَرَزَقَنَا بِالإِسْلاَمِ وَالسَّلاَمِ ، وَأَلْهَمَنَا بِالْهُدَى وَالْفُرْقَانِ  .  نَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه، أَدَّى اْلأَمَانَة وَبَلَّغَ الرِّسَالَة وَنَصَحَ لِهَذِهِ الأُمَّة حَتَّى تَرَكَنَا عَلَى الْمَهَجَّةِ الْبَيْضَاء لَيْلًهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا إِلاَّ هَالِك . فَصَلَوَاتُ الله وَسَلاَمُهُ عَلَيه ، وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِينَ الطَّاهِرِين وَعَلَى أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِين ، وَعَلَى الصَّحَابَةِ والتَّابِعِين، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَان إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah, marilah kita nasehati diri kita untuk selalu menjaga dan menumbuhkan ketakwaan kita kepada Allah, sebagai sebaik-baik bekal dalam kehidupan dan sumber keamanan, baik di dunia maupun di akhirat.

Hadirin jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah…

Di antara nikmat terbesar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah lahirnya rasa aman di tengah masyarakat. Bahkan, nikmat ini sangat menentukan nikmat-nikmat lainnya. Bayangkan, apalah arti rumah besar, makanan berlimpah, kendaraan mewah dan segala fasilitas kehidupan lainnya kalau ternyata negeri tempat kita tinggal tidak aman, kacau dan tidak terkendali.

Bagaimana melahirkan rasa aman di tengah masyarakat? Bagaimana mewujudkan negeri yang aman?

Allah dan RasulNya memberikan kita beberapa resep yang jelas untuk mewujudkan negeri yang aman.

Pertama; Beriman kepada Allah dan tidak menyekutukannya

Allah Taala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 82:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Iman dan aman dalam bahasa Arab adalah satu akar kata, dan ternyata memang memiliki hubungan yang sangat erat, karena iman melahirkan keamanan.

Mengapa demikian?

Karena iman yang benar akan membentuk pribadi takwa yang taat dan patuh kepada Allah, dan ketakwaan akan mengundang penjagaan dan perlindungan Allah kepada hambaNya.

Rasulullah saw bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Tirmizi,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ أمَامَكَ

“Jagalah Allah (maksudnya tunaikan kewajiban-kewajiban Allah dan tinggalkan larangan-laranganNya), maka Allah akan menjagama. Jagalah Allah, maka Dia akan berada di depanMu (menolong dan melindungi).” (HR. Tirmizi)

Di sisi lain, keimanan yang benar akan membentuk jiwa seseorang untuk selalu merasa terpantau dan dinilai oleh Allah Taala. Lalu dia meyakini bahwa setiap perbuatan, apapun perbuatannya, pasti akan ada balasannya, yang baik dengan kebaikan, yang buruk dengan keburukan.  Walau pun tak ada mata yg melihatnya, tidak ada atasan yang memonitornya, atau tidak ada aparat yang mengancamnya, sikap lakunya tetap terkontrol, karena dia yakin ada Allah yang maha melihat dan maha mengawasi dan akan membalas setiap perbuatannya.

Maka para hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah….. dalam kontek ajaran Islam, menginginkan keamanan dan ketentraman dalam kehidpan bermasyarakat  harus berbanding lurus dengan upaya menumbuhsuburkan nilai-nilai keimanan dalam sendi-sendi kehidupan, baik dalam  ruang lingkup pribadi, keluarga, masyarakat hingga bernegara. Atau dari sudut pandang lain, upaya menumbuhkan keimanan di tengah masyarakat harus dinilai sebagai upaya yang erat kaitannya dalam menciptakan keamanan dan ketentraman dalam sebuah masyarkat, karena itu harus diapresiasi bukan dicurgai, dipermudah, bukan dipersulit.

Kedua; Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Jika kita sepakat bahwa nilai-nilai keimanan mutlak dibutuhkan untuk ciptakan keamanan, maka berikutnya, perkara penting untuk mewujudkannya adalah adanya amar ma’ruf nahi munkar. Sebab manusia bukanlah malaikat yang selalu taat dan patuh, potensi enggan berbuat kebaikan dan ingin berbuat pelanggaran akan selalu ada.

Di sinilah dibutuhkan amar ma’ruf nahi munkar, sebagai perangkat untuk memotivasi amal saleh, kebaikan dan hal-hal positif. Di sisi lain, menjadi perangkat yang dibutuhkan untuk memberikan peringatan, warning hingga ancaman bagi setiap kemunkaran dan  tindakan pelanggaran. Lebih khusus dalam hal ini adalah masalah mencegah kemunkaran.

Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah saw mengumpamakan masalah ini dengan suatu kaum yang naik kapal laut, sebagian penumpang berada di atas, sebagian lagi berada di bawah. Lalu ada di antara penumpang di bawah yang ingin melubangi perahu dengan alasan tertentu, maka kata Rasulullah,

فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا

“Jika mereka biarkan apa yang dia inginkan, mereka akan binasa semua. Jika mereka ambil tindakan mencegahnya, maka mereka yang dibawah dan yang diatas akan selamat semuanya.” (HR. Bukhari)

Sepintas, kadang memang terasa berat atau bahkan kadang merasa tersinggung apabila ada orang yang memerintahkan kita akan suatu perbuatan atau melarang kita dari suatu perbuatan. Namun sejatinya, jika hal itu dilakukan dengan tulus, dan perbuatan tersebut memang nyata diperintahkan atau dilarang dalam syariat Islam, maka orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hakekatnya adalah orang yang cinta kepada kita dan hendak menolong kita agar selamat.

Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah saw bersabda,

انْصُرْ أخَاكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوماً

“Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim atau dizalimi.”

Maka salah seorang sahabat bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا ، كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟

“Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya jika dia dizalimi, bagaimana halnya jika dia berbuat zalim, bagaimana aku menolongnya?”

Maka Rasulullah saw menjawab,

تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

“Engkau cegah dia dari kezaliman, maka itu berarti engkau menolongnya.” (HR. Bukhari)

Karena itu, sejatinya kita senang jika ada orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan semestinya, kita sedikit banyak memiliki peran dan kontribusi dalam hal tersebut sesuai dengan kapasitas masing-masing dan sesuai dengan cara yang kita mampu.

Para hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah taala……

Faktor ketiga yang dapat mewujudkan keamanan dan ketentraman di tengah masyarakat adalah ditegakkannya keadilan untuk semua kalangan tanpa pandang bulu.

Merupakan perkara aksiomatis dan mudah dicerna siapapun juga, bahwa jika keadilan ditegakkan untuk semua lapisan dan kalangan, secara khusus oleh pemimpin dan pihak-pihak yang berwenang di sebuah negeri, maka keamanan akan segera terwujud. Tapi sebaliknya, jika keadilan hilang, hukum hanya berlaku pada sebagian pihak  namun tidak pada pihak lainnya, tajam ke bawah tumpul ke atas, maka cepat atau lambat, suka atau tidak suka, keamanan dan ketentraman itu akan sirna di tengah masyarakat.

Suatu kali, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ada seorang wanita dari suku makhzumiah yang mencuri. Suku Makhzumiah adalah suku terpandang di tengah bangsa Arab ketika itu. Orang-orang dari suku itu ingin membujuk Rasulullah saw agar tidak menjatuhkan hukum kepada wanita tersebut. Ketika mengetahui hal tersebut, dengan nada marah beliau bersabda;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ

“Wahai manusia, sesungguhnya binasanya umat sebelum kalian adalah karena apabila yang mencuri adalah orang-orang mulia di antara mereka, mereka biarkan orang itu. Namun jika pencurinya adalah orang lemah, mereka jatuhkan hukuman terhadapnya.”

Kemudian Rasulullah saw menyatakan suatu ungkapannya yang agung,

وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhamad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.”

Dalam kitab Tarikhul Khulafa dikisahkan bahwa suatu kali gubernur Khurasan mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdu Aziz yang terkenal dengan keadilannya. Gubernur Khurasan ini minta izin kepada sang Khalifah untuk mengambil tindakan keras karena dia anggap rakyat di negeri ini berperangai buruk, menurutnya merkea hanya cocok dihadapi dengan pedang dan pecut. Apa jawab sang khalifah? Dengan singkat beliau menjawab,

كَذَبْتَ، بَلْ يُصْلِحُهُمُ الْعَدْلُ وَالْحَقُّ، فَابْسُطْ ذَلِكَ فِيهِمْ، وَالسَّلاَم.

“Engkau dusta (maksudnya, jika engkau mengatakan bahwa rakyatmu hanya bisa diatur dengan pecut dan pedang, maka engkau dusta), mereka justeru dapat diperbaiki dengan keadilan dan kebenaran. Wujudkan hal itu di hadapan mereka. Wassalam” (Tarikhul Khulafa, 1/181)

Karena itu, khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang terkenal keadilannya, dapat tidur nenyak dan tenang di bawah pohon rindang tanpa didampingi para pengawal, bukan di istana dan bukan di  benteng yang kokoh. Hal mana sempat membuat heran Hurmuzan, utusan penguasa Persia saat datang ke Madinah dan melihat pemandangan seperti itu. Namun dia segera menemukan sebabnya; yaitu keadilan sang pemimpin, maka dia mengungkapkan kata-katanya yang sangat terkenal,

حَكَمْتَ ، فَعَدَلْتَ ، فَـأَمِنْتَ ، فَنِمْتَ يَا عُمَر

“Engkau berkuasa, lalu engkau adil, maka engkau merasa aman dan dapat tidur nyenyak wahai Umar.”

 

أقُولُ قَوْلي هَذَا   وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ   لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ   يَغْفِرْ لَكُمْ    إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ،  وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ   إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ..

________________________________________

 

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ، يَذكُرُ مَنْ ذَكَرَهُ وَدَعَاهُ، وَيُعطِي المَزِيدَ مَنْ شَكَرَهُ وَرَجَاهُ، وَأشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، إِمَامُ الذَّاكِرِينَ، وَسَيِّدُ المُستَغْفِرِينَ؛ r وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَعَلَى كُلِّ مَنِ اسْـتَنَّ بِسُنَّتِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ أَمَّا بَعْدُ،

Para hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah Taala.

Setiap kita sebagai orang beriman dan anggota masyarakat hendaknya punya kesadaran masing-masing untuk menciptakan keamanan di tengah masyarakat, dimulai dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam diri, lalu menebarkannya di tengah keluarga dan  masyarakat dan kemudian meningkat dengan berupaya membantu dan berkontribusi bagi terwujudnya pemerintahan dan kepemimpinan adil yang dilandasi keimanan kepada Allah, sesuai dengan kapasitas masing-masing serta dengan berbagai cara dan sarana yang memungkinkan dan dibenarkan.

Semoga Allah berikan kita iman yang kuat serta keamanan dalam diri kita dan terhadap negeri kita, serta dijauhkan dari fitnah dan kejahatan orang-orang jahat. Begitupula negeri kita dan negeri-negeri Islam, semoga dijauhkan dari malapetaka dan dijauhkan dari orang-orang yang ingin menebar kerusakan di muka bumi.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِينَ، وَقَائِدِ الْغُرِّ الْمُحَجَّلِينَ، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاةِ وَالسَّلامِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيمًا:  إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا .

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلَّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ، فِي العَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنْ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ، وَالمُسْلِمِينَ وَالمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدُّعَاءِ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُومًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُومًا، وَلا تَدَعْ فِينَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُومًا.

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلامَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.

اللهم آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ وُلاَةَ أَمْرِنَا وَوَفِّقْهُم لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى ، اللهُمَّ وَلِّ عَلَينَا خِيَارَنَا وَلاَ تُوَلِّ عَلَيْنَا شِرَارَنَا ، اللَّهُمَّ لاَ تُسَلِّط عَلَيْنَا مَن لاَ يَخَافُكَ فِينَا وَلاَ يَرْحَمُنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِين

اللَّهُمَّ أَدِمْ نِعْمَةَ الأَمْنِ وَالاِسْتِقْرَارِ فِي بِلاَدِنَا وَبِلاَدِ الْمُسْلِمِين اللهم مَنْ أَرَادَنَا وَبِلاَد الْمُسْلِمِينَ بِسُوءٍ فَأَشْغِلْهُ بِنَفْسِهِ وَاجْعَلْ كَيْدَهُ فِي نَحْرِهِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوم يا سَمِيعَ الدُّعاَء

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَرْزَاقِنَا يَا ذَا الجَلالِ وَالإِكْرَامِ.  رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيدِنَا مُحَمدٍ وعَلَى آله وصَحْبِهِ وَسَلِّمْ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِين

عِبَادَ الله ….

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ….. فاذكر الله يذكركم واشكروا على نعمه يزدكم ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون …..أقم الصلاة

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Bagaimana Menghadapi Orang Sakaratul Maut

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Sakaratul Maut adalah kondisi dimana ajal seseorang sudah sangat dekat. Dari segi bahasa (سكرة الموت) adalah beratnya kematian. Allah Taala berfirman,

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ (سورة ق: 19)

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf: 19)

Adab Terhadap Orang Yang Sedang Sekarat

  1. Disunahkan orang yang sedang sekarat didampingi oleh keluarganya, diutamakan oleh yang saleh dan kuat jiwanya. Tidak disarankan didampingi wanita, karena biasanya mereka tidak sabar. Namun jika mereka berkeras untuk mendampinginya, janganlah dilarang.
  2. Hendaknya orang yang sedang sekarat dibaringkan di atas pinggang kanannya ke arah kiblat, jika sulit di atas pinggang kanan, maka dibaringkan di atas pinggang kiri. Jika sulit dibaringkan di atas pinggang, maka dapat dibaringkan dengan terlentang dengan ujung kaki mengarah ke kiblat lalu mengangkat sedikit kepalanya (dapat diletakkan di atas bantal) ke arah kiblat.
  3. Disunahkan melakukan talqin, yaitu membimbingnya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Berdasarkan hadits Rasulullah saw,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkan orang yang menghadapi kematian (dengan ucapan) laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim)

Juga berdasarkan hadits Rasulullah saw,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallah, dia akan masuk surga.”  (HR. Ahmad dan Abu Daud)

  1. Yang dimaksud (الموتى) dalam hadits ini adalah orang yang sedang mendekati ajal (sekarat). Dikatakan موتى /orang mati, karena kondisinya sangat dekat dengan kematian. Hal ini termasuk dalam bab, menamakan sesuatu dengan sesuatu yang akan terjadi padanya. Mazhab Syafii sebagaimana pendapat jumhur ulama berpendapat bahwa talqin disunahkan.
  2. Melakukan talqin di hadapannya.

Talqin adalah menuntun pasien yang sedang sakaratul maut untuk mengucapkan kalimat tauhid. Lakukan dengan lembut, tidak terkesan memaksa. Jika orang tersebut sudah mengucapkannya, tidak perlu diulangi lagi selama dia tidak berbicara dengan pembicaraan lainnya. Jika sudah mengucapkannya, namun setelah itu mengucapkan kata-kata lain, maka hendaknya diulangi lagi talqinnya hingga dia mengucapkan kalimat tauhid.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ucapan yang dituntun cukup ‘Laa ilaaha ilallah’, adapun tambahan ‘Muhammadurrasulullah’ jika talqin tersebut dilakukan terhadap non muslim yang diharapkan masuk Islam sebelum wafatnya, sebagaiman riwayat Rasulullah saw yang mentalqin anak Yahudi sebelum wafatnya.

Hendaknya yang mengucapkan adalah orang yang tidak berpotensi dituduh oleh pasien, seperti ahli warisnya, musuh atau orang yang hasud terhadapnya. Tapi kalau tidak ada selain mereka, maka dicari orang yang dikenal paling sayang dengannya.

Talqin hendaknya dilakukan ketika akal seseorang masih berfungsi dan mampu berkata-kata, juga ketika ruh belum sampai kerongkongan serta dilakukan dengan suara agak keras agar terdengar, namun tetap dengan kelembutan jangan ada kesan kasar atau bersuara terlalu keras.

Hendaknya orang yang mentalqin adalah orang yang dikenal kebaikannya dan dikenal baik oleh orang yang sedang sekarat,  bukan orang yang tidak berpotensi dituduh oleh pasien, seperti ahli warisnya, musuh atau orang yang hasud terhadapnya. Tapi kalau tidak ada selain mereka, maka dicari orang yang dikenal paling sayang dengannya.

Talqin lebih diutamakan dibanding menghadapkan ke arah kiblat, karena dalilnya lebih kuat dan fungsinya lebih penting. Jika keduanya dapat diusahakan, itu lebih baik. Jika tidak, maka talqin didahulukan dibanding menghadapkan ke arah kiblat.

  1. Disunahkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang sedang sekarat. Berdasarkan hadits Rasulullah saw,

أَقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس

“Bacakan (surat) Yasin terhadap orang yang sedang sekarat di antara kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)

Sebagian kalangan tabi’in ada yang menyunahkan pula membaca surat Ar-Ra’d.

  1. Hendaknya diingatkan dengan lembut kepada orang yang sekarat agar dia lebih banyak berbaik sangka kepada Allah Taala.

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاَللَّهِ تَعَالَى

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dia berbaik sangka kepada Allah Taala.” (HR. Muslim)

Maksudnya berbaik sangka bahwa Allah akan merahmati dan mengampuninya sebagaimana yang dijanjikan kepada orang-orang beriman.  Adapun saat sehat, maka hendaknya sikap seorang mukmin berimbang antara roja’ (harap) dan khauf (takut).

Juga berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits qudsi, Allah Taala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

“Aku tergantung persangkaana hambaKu kepadaKu.” (Muttafaq alaih)

  1. Hendaknya disampaikan juga kebaikan-kebaikannya dan harapan-harapan kebaikan yang akan dia dapatkan dari kebaikannya.

Karena itu, disunahkan bagi yang mendampinginya untuk menyampaikan ayat-ayat atau hadits yang dapat mendatangkan harapan, sehingga terbit dalam dirinya harapan yang besar akan rahmat dan ampunan Allah serta menghindar dari sikap putus asa.

Referensi:

  • Syarhul Wajiz
  • Al-Hawi Al-Kabir, 3/4
  • Al-Majmu Syarah Al-Muhazzab
  • Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj
  • Raudhatut-Thalibin
  • Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj, 8/29
[starbio id=”abdullahhaidir”]

Khutbah Jumat: Islam Harus Mewarnai Seluruh Hidup Kita

Oleh Ustad Abdullah Haidir, Lc.

الحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ ذِكْرَهُ نُورًا لِلسَّالِكِينَ، وَطَمْأَنَةً لِقُلُوبِ المُؤْمِنِينَ، وَرَبْطًا لَهُمْ بِرَبِّهِمْ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَحِينٍ، وَنَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ البَرُّ الكَرِيمُ، وَعَدَ عِبَادَهُ الذَّاكِرِينَ بِالخَيْرِ العَمِيمِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ،   وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَان إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ

Hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah. Dalam kesempatan shalat Jumat ini, marilah selalu kita nasehati diri kita bersama-bersama, untuk menjaga, memelihara, merawat dan menumbuhkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala, sebagai syarat mutlak bagi kita untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  (سورة النحل: 97

“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Hadirin jamaah shalat Jumat yang dirahmati dan diberkahi Allah Taala.

Kita tentu sepakat, Islam adalah agama  dan keyakinan kita. Hanya saja pertanyaan pentinng yang tidak dapat diabaikan adalah; Sudahkah agama yang kita anut ini mewarnai kehidupan kita, lahir batin, jasmani dan rohani? Sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat erat terkait dengan bagaimana kualitas keberagamaan kita, apakah hanya sebatas pengakuan tanpa pembuktian, ataukah hanya sebatas keyakinan tanpa pengamalan.

Allah subahanahu wa taala berfirman

صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (سورة البقرة: 138

Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.(QS. Al-Baqarah: 138)

Mayoritas ulama tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai shibghatullah dalam ayat ini adalah “Agama Allah” yaitu Islam. Mengapa Islam dalam ayat ini disebut sebagai ‘shibghah’ yang berarti celupan pewarna yang biasanya digunakan untuk mewarnai kain?

Mari kita simak penuturan Ibnu Abas yang dikutip oleh Imam Al-Bhagawi dalam kitab tafsirnya ketika menjelaskan tentang ayat ini,

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : دِينَ اللَّهِ، وَإِنَّمَا سَمَّاهُ صِبْغَةً لِأَنَّهُ يَظْهَرُ أَثَرُ الدِّينِ عَلَى الْمُتَدَيِّنِ، كَمَا يَظْهَرُ أَثَرُ الصَّبْغِ عَلَى الثَّوْبِ ، وَقِيلَ: لِأَنَّ الْمُتَدَيِّنَ يَلْزَمُهُ وَلَا يُفَارِقُهُ كَالصَّبْغِ يَلْزَمُ الثَّوْبَ

Ibnu Abbas berkata, “(Yang dimaksud shibghatullah) adalah agama Allah. Dinamakan shibghah (celupan pewarna) karena pengaruh agama akan tampak pada diri seorang penganutnya, sebagaimana pewarna akan tampak pengaruhnya pada sebuah baju. Ada juga yang mengatakan bahwa orang yang beragama akan selalu berkomitmen dan tidak berpisah darinya, sebagaimana warna dari celupan tersebut akan selalu menempel pada baju yang dicelup di dalamnya.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut bahwa yang dinginkan dengan memeluk agama Islam, bukan hanya sebatas pengakuan, bukan hanya sebatas simbol, bukan pula sebatas data informasi dalam catatan sipil. Tapi yang diinginkan dengan memeluk agama Islam adalah lahirnya sebuah keimanan yang kuat kepada Allah taala di dalam hati, lalu hal itu tercermin dalam sikap lakunya, tutur katanya, tindak tanduknya, hingga perasaan dan emosi kejiwaannya. Ibarat sehelai kain yang tercelup larutan pewarna, tidak ada satupun bagian dari kain tersebut yang tidak terwarnai oleh larutan pewarna tersebut.

Para hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah.

Kadang muncul ungkapan sinis agar jangan membawa-bawa agama dalam masalah-masalah tertentu, apakah individu, keluarga, sosial,  masalah ekonomi, atau politik, dsb. Maka, kita harus siap dan berani menyatakan bahwa justeru agama harus kita bawa dalam berbagai sektor kehidupan, apakah masalah individu, keluarga, maupun sosial, ekonomi maupun politik dan sebagainya. Karena itulah konsekwensi dari pengakuan kita terhadap Islam sebagai agama kita.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً (سورة البقرة: 208

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Boleh jadi ada suatu perkara yang sangat menarik kita, atau menjanjikan keuntungan besar, atau berbagai iming-iming dan tawaran lainnya. Namun sebagai muslim, semua itu harus ditimbang dengan nilai-nilai agama, jika dibenarkan dalam agama, Alhamdulillah. Tapi jika tidak, maka agama harus didahulukan sedangkan berbagai tawaran dan iming-iming yang ada harus dilupakan.

Atau sebaliknya, boleh jadi ada sejumlah pandangan negatif atau opini yang dikesankan buruk terhadap terhadap suatu perkara, namun ketika kita ketahui bahwa agama kita menyatakan hal itu sebagai kebaikan, bahkan sunah yang diajarkan, maka tidak boleh kita membencinya, apalagi memusuhinya, justeru kita harus mencintainya, bahkan sedapat mungkin melaksanakannya atau membelanya.

Sebab kita harus yakin, tidak ada yang Allah perintahkan dan ridhai, kecuali hal itu hakekatnya adalah baik bagi kita, walaupun sepintas kita tidak menyukainya. Sebaliknya, tidak ada perkara yang Allah larang dan benci, kecuali hakekatnya hal itu adalah buruk bagi kita, walau kadang sepintas hal itu kita sukai.

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (سورة البقرة: 216

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Para shahabat radhiallahu anhum ajmain, sebelum diharamkannya khamar, umumnya mereka sangat gemar minum khamar, namun ketika turun pengharaman khamar, serta merta mereka tinggalkan khamar dan mereka tumpahkan khamar di depan-depan rumah mereka, sehingga diriwayatkan, jalan-jalan di kota Madinah ketika itu menjadi becek oleh khamar-khamar yang ditumpahkan pemiliknya.

Adapula contoh lain, bagaimana ketika agama telah mewarnai kehidupan seseorang sehingga mempengaruhi sikap dan pilihannya. Abu Thalhah dikenal sebagai orang yang kaya raya. Suatu saat, sebelum dia masuk Islam, dia melamar seorang sahabiyah bernama Ummu Sulaim binti Milhan, ibu dari Anas bin Malik radhiallahu anhu. Apa jawab Ummu Sulaim?

يـا أبا طلحة ! ما مثلُك يُرد، ولكنك امرؤ كافر، وأنا امرأة مسلمة، لا يصلح لي أن أتزوجك

“Wahai Abu Thalhah! Orang sepertimu tidak pantas ditolak (lamarannya), tetapi karena engkau masih kafir, dan aku adalah seorang wanita muslimah, tidak boleh bagiku menikah denganmu.”

Akhirnya Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim, dan kemudian beliau menjadi salah seorang tokoh para sahabat.

Bayangkan, jika memilih kepala rumah tangga, acuan agama menjadi patokan, sehingga tidak dibenarkan seorang wanita muslimah mencari calon suami dari kalangan non muslim, betapapun orang tsb  sangat menarik dari berbagai sisi, apalagi jika permasalahannya adalah memilih pemimpin yang cakupan dan pengaruhnya lebih besar dan lebih luas. Sementara ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah saw dan juga pandangan para ulama jelas menunjukkan tidak dibolehkannya kaum muslimin mengangkat orang kafir sebagai pemimpinnya. Maka, tentu lebih tidak dibenarkan lagi bagi seorang muslim untuk memilih dan mengangkat non muslim sebagai pemimpin. Ini kalau agama yang dijadikan sebagai patokan hidupnya.

Demikianlah hadirin jamaah shalat Jumat sekalian, bagaimana seharusnya Islam sebagai agama kita mewarnai dan membersamai setiap tingkah laku kita serta pilihan dan keputusan kita.

أقُولُ قَوْلي هَذَا   وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ   لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ   يَغْفِرْ لَكُمْ    إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ،  وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ   إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ..

________________________________________

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ، يَذكُرُ مَنْ ذَكَرَهُ وَدَعَاهُ، وَيُعطِي المَزِيدَ مَنْ شَكَرَهُ وَرَجَاهُ، وَأشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، إِمَامُ الذَّاكِرِينَ، وَسَيِّدُ المُستَغْفِرِينَ؛ r وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَعَلَى كُلِّ مَنِ اسْـتَنَّ بِسُنَّتِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ،

Hadiri jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah….

Islam sebagai shibgathullah bahkan hendaknya membentuk karakter kita, emosi dan suasana jiwa kita. Ada yang mengatakan bahwa kaum muslimin jangan suka marah dan benci tapi harus selalu mencintai. Masalahnya bukan bukan sekedar cinta atau benci. Akan tetapi, jika kita cinta, cinta kita karena apa, dan jika kita benci, benci kita karena apa. Justeru masalah ini dapat menjadi salah satu parameter kualitas iman kita.

Rasulullah saw bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ    (رواه أبو داود)

“Siapa yang mencinta karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, mencegah karena Allah, maka telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Daud)

Iman kita menuntut kita untuk mencintai karena Allah apa dan siapa yang Allah cintai. Adapun jika ada kemungkaran, kemaksiatan, penistaan terhadap agama, terhadap ulama, terhadap kitabullah, justeru kita harus membencinya dan seharusnya kita marah karenanya, serta bangkit menyatakan penolakan terhadapnya dan menyatakan pembelaan terhadap agama ini dan syiar-syiarnya. Demikianlah kalau Islam telah mewarnai kehidupan seorang muslim, membentuk karakternya, bahkan mempengaruhi suasana kejiwaannya dan cita rasa serta seleranya.

Semoga Allah kuatkan Iman Islam kita, dan jadikan kita sebagai muslim kafah dan istiqomah. Juga semoga Allah berikan keamanan dan kententraman bagi negeri kita dan negeri Islam lainnya, serta diberikan petunjuk kepada pemimpin ke jalan yang Allah ridhai dan cintai serta dijauhkan dari kejahatan orang-orang yang ingin berbuat kerusakan dan kekacauan. Amiin ya rabbal aalamin.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِينَ، وَقَائِدِ الْغُرِّ الْمُحَجَّلِينَ، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاةِ وَالسَّلامِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيمًا:  إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا .

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلَّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ، فِي العَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنْ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ، المُسْلِمِينَ وَالمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدُّعَاءِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُومًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُومًا، وَلا تَدَعْ فِينَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُومًا.

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلامَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.

اللهم آمنا في أوطاننا وادم نعمة الأمن والاستقرار في بلادنا وبلاد المسلمين

اللهم من أرادنا وبلاد المسلمين بسوء فاشغله بنفسه واجعل كيده في نحره يا حي يا قيوم برحمتك نستغيث

اللهم اعصمنا من الفتن اللهم ثبت قلوبنا على طاعتك اللهم من أرادنا بسوء فاقلب سوءه على نفسه يا ارحم الراحمين يا غياث المستغيثين يا ذا الجلال والإكرام اللهم إنا نجعلك في نحورهم ونعوذ بك من شرورهم يا قوي يا عزيز

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا فِي ثِمَارِنَا وَزُرُوعِنَا وكُلِّ أَرْزَاقِنَا يَا ذَا الجَلالِ وَالإِكْرَامِ.  رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عباد الله ….

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ….. فاذكر الله يذكركم واشكروا على نعمه يزدكم ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون …..أقم الصلاة

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Sudahkah Anda Mengadu Kepada Allah ?

Saudaraku…

Yang namanya problem dalam kehidupan tidak akan pernah berhenti. Yang satu selesai, yang lain datang lagi, begitulah dia datang silih berganti menghiasi kehidupan kita. Itu memang sudah ketetapan Allah bagi kehidupan manusia. Siapapun orangnya, apapun status dan kedudukannya.

Saudaraku…..

Sering, ketika diri ini terasa berat menanggung beban, maka kita mengadu kepada orang-orang di sekeliling kita. Dengan harapan ada jalan keluar yang kita dapatkan, atau minimal sekedar melepas keluh kesah yang ada.

Bukan masalah sebenarnya mengadu kepada orang lain atas setiap problem yang kita hadapi sepanjang dilakukan dengan wajar dan kepada orang-orang yang terpercaya.

Namun saudaraku,,,ada tempat mengadu yang sering kita lupakan atau abaikan, padahal kesanalah seharusnya pengaduan tersebut pertama kali kita sampaikan sebelum kepada manusia. Yaitu mengadu kepada Pemilik kita dan kehidupan kita; Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam al-Quran, dapat kita baca pengaduan para Nabi kepada Allah Ta’ala; Nabi Yusuf  atas fitnah yang menimpanya,[1]) Nabi Zakaria yang belum juga mendapatkan keturunannya di usia senja, [2]) Nabi Nuh ketika menghadapi kaumnya yang membangkang, [3]) Nabi Yunus dalam kesendirian dan kegelapannya.[4])alahihimusshalatu wassalam.

Begitupula Rasulullah ﷺ dalam kehidupan dan perjuangannya selalu mengadu kepada Allah Ta’ala; Ketika beliau diusir penduduk Tha’if, ketika hendak perang Badar, ketika hendak perang Ahzab dll.

Karena itu saudaraku….. ikutilah jejak para nabi, mengadulah kepada Allah Ta’ala ketika kita menghadapi berbagai problem kehidupan ini, sebelum kita mengadu kepada manusia.

Mintalah ampun kepada Allah, Pasrahkan diri kita, nyatakan ketidakberdayaan kita, tumpahkan segala harapan dan permohonan kita kepada-Nya, basahi pipi kita dengan simbahan air mata, dan yakinkan diri kita akan  pertolongan-Nya.

Apalagi saudaraku, dibanding mengadu kepada manusia, mengadu kepada Allah memiliki beberapa keuntungan :

  • Dimasukkan dalam Ibadah dan tentu berpahala.
  • Dijamin terjaga rahasianya.
  • Kita menjadi tidak sungkan mengekspresikan pengaduan.
  • Semakin mendekatkan diri kita kepada Allah.
  • Mendatangkan ketenangan, karena yakin bahwa pengaduan kita pasti di dengar dan dijawab oleh-Nya dalam bentuk dan waktu yang Dia kehendaki.

Semoga Allah berikan jalan keluar atas setiap problem yang kita hadapi. Amiin.

Catatan Kaki:

  1. Lihat surat Yusuf: 86
  2. Lihat surat Maryam: 1-6.
  3. Lihat surat Nuh: 5 dst.
  4. Lihat surat Al-Anbiya: 86

Sumber: Buku Nasihat dari Hati ke Hati, Ustadz Abdullah Haidir Lc, Murajaah Fir’adi Nashrudin, Lc, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Kontributor Tetap & Lepas (bio)

Kontributor Tetap

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

[starbio id=”abdullahhaidir”]

Ust. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

Ust. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

[starbio id=”hakimuddin”]

Ust. Ahmad Musyaddad, Lc., M.E.I.

Ust. Ahmad Musyaddad, Lc., M.E.I.

[starbio id=”musyaddad”]

Ust. Faris Jihady, Lc.

Ust. Faris Jihady, Lc.

[author title="Jundi Imam Syuhada" image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2017/01/farisjihady.jpg"]MA Candidate, Qur’an & Sunnah Studies, King Saud University, Riyadh Saudi Arabia.. Belajar, Berfikir, Merenung الذكر والفكر. FB: /faris.jihady.1 T: @farisjihady Blog: faris-jihady.blogspot.com [/author]

Kontributor Lepas

Ust. Rijal Mahdi, Lc., MA.

Ust. Rijal Mahdi, Lc., MA.

[author title="Ust. Rijal Mahdi, Lc., MA." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/05/rijal_mahdi.jpg"]Ustadz Rijal Mahdi Lc., MA, “urang awak-Minangkabau asli” merantau sekaligus melanjutkan studi pendidikan tinggi di luar negeri, S-1 di International Islamic Call Collage Tripoli-Libya, S-2 Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam, dan sekarang merupakan kandidat doktor di King Saud University (KSU) jurusan Bahasa Arab Riyadh-Arab Saudi. Selain studi, beliau juga mengisi berbagai pengajian komunitas masyarakat Indonesia di Riyadh. Beliau merupakan dosen di Universitas Sumatera Utara (USU).[/author]

Ust. Firadi Abu Ja’far, Lc., MA.

Ust. Firadi Abu Ja’far, Lc., MA.

[author title="Ust. Firadi Abu Ja’far, Lc., MA." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2017/03/ust_firadi1.jpg"]Ust. Firadi Abu Ja’far[/author]

Dr. Fahmi Islam Jiwanto

Dr. Fahmi Islam Jiwanto

[author title="Dr. Fahmi Islam Jiwanto" image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2017/03/DR_Fahmi_Islam.jpg"]Dr. Fahmi Islam Jiwanto: Lahir di Kediri dan memiliki latar belakang pendidikan dari S1 Universitas Islam Madinah, S2 Universitas Al-Iman Yaman dan S3 di Universitas Sidhi Mohammed Benabdillah Fes, Maroko dengan Disertasi berjudul “Maqosid Syari’ah dan Perannya dalam Membentuk Masa Depan Masyarakat Islam”. Aktif sebagai Koordinator Bidang Pendidikan di PP Ikatan Da’i Indonesia (IKADI). Dalam berorganisasi pernah diamanahkan sebagai Ketua Rohis SMAN 53 Jakarta Timur, Ketua Senat Mahasiswa Asing Universitas Al-Iman Yaman, Ketua MPA HIPMI Yaman, Ketua Bidang Pendidikan Lembaga Masjid Hidayatullah, dan Bendahara Yayasan Islam Al-Qudwah. Beberapa makalah pernah ditulisnya, antara lain “Penyebab Perbedaan dalam Fiqh”, “Pornografi dalam Pandangan Islam”, dan “Keislaman antara Formalitas dan Esensi”. Kini bertindak selaku penterjemah resmi khutbah Masjidil Haram, Makkah Al Mukarramah.[/author]

Dr. Ahmad Asri Lubis, MA.

Dr. Ahmad Asri Lubis, MA.

[author title="Dr. Ahmad Asri Lubis, MA." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/06/Ahmad_Asri_Lubis.jpg"]Dr. Ahmad Asri Lubis, MA. Alumnus S1 (International Islamic Call College, Libya), S2 Universitas Tripoli, dan S3 UPSI, Perak-Malaysia. Saat ini, Da`i asal Sumatera Barat ini berdakwah di Semenanjung Malaysia, Bandar Seri Begawan & Pensyarah (dosen) di Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor (KUIS), Malaysia. [/author]

Jundi Imam Syuhada

Jundi Imam Syuhada

[author title="Jundi Imam Syuhada" image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2017/01/joendi_imam.jpg"]Jundi Imam Syuhada. Pemuda asal Ponorogo Jawa Timur. Sedang menempuh  S1 Jurusan Syariah di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. FB: facebook.com/joendi.imam[/author]

Umm Fikri

Umm Fikri

[author title="Umm Fikri" image="https://scontent-mrs1-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-1/p160x160/15726558_1309784329065287_5669526237537492397_n.jpg?oh=76bfc1149c05bc48a83a00c53ca0f983&oe=591B2A36"]Umm Fikri, seorang Ibu rumah tangga yang hafal Al-Qur’an 30 Juz dan juga memiliki keahlian bekam. Selain itu, beliau aktif dalam berbagai aktivitas dan komunitas ummahat, forum majlis taklim (FORMATRA) di Riyadh Arab Saudi. FB: /fatihahthoha [/author]

Muhammad Faadil

Muhammad Faadil

[author title="Muhammad Faadil" image="https://scontent-mrs1-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-1/c62.0.160.160/p160x160/13872991_10201924620354411_7019339604198281357_n.jpg?oh=eb2f538524404221b207ec0c0bca9543&oe=58DCD904"]Muhammad Faadil, adalah seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di King Saud University, Riyadh Saudi Arabia. FB: /faadil.share[/author]

Faiz Alamsyah

Faiz Alamsyah

[author title="Faiz Alamsyah" image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/04/faiz.alamsyah.jpg"]Faiz Alamsyah. Penulis asal Bekasi ini adalah Mahasiswa S1 di university of Holy quran and Islamic Sciences, Sudan. Aktif di Persatuan Pelajar Indonesia di Sudan. FB: faiz.alamsyah [/author]

Arif Fitriyanto, S.T.

Arif Fitriyanto, S.T.

[author title="Arif Fitriyanto, S.T." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/05/afit.jpg"]Arif Fitriyanto, pria asal Yogyakarta lulusan Teknik Elektro ITB ini adalah seorang profesional bidang Telekomunikasi. Saat ini sedang menjalani bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi di negara Arab Saudi. Di samping itu beliau juga aktif dalam kegiatan sosial dan komunitas masyarakat Indonesia Arab Saudi.[/author]

Alan Soffan, Ph.D.

Alan Soffan, Ph.D.

[author title="Alan Soffan, Ph.D." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/05/alan.jpg"]Alan Soffan merupakan kandidat Doktor asal Jawa, menyelesaikan pendidikan S-1 di UGM, kemudian S-2 di King Saud University (KSU). Serta telah meraih gelar Doktor di bawah Plant Protection Department, College of Agriculture and Food Science, KSU. Beliau juga aktif dalam aktifitas sosial di komunitas masyarakat Indonesia Riyadh, Arab Saudi[/author]

Aji Teguh Prihatno, S.T.

Aji Teguh Prihatno, S.T.

[author title="Aji Teguh Prihatno, S.T." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/01/bungaji.png"]Lulusan Teknik Elektro Universitas Indonesia. Sedang bekerja sebagai Telecommunication Engineer di Saudi Telecom Company (STC) Riyadh, Arab Saudi. Aktif di kegiatan sosial, politik, dan dakwah di masyakat. Pemerhati Timur Tengah. Twitter @BungAji [/author]

Byan Aqila Ramadhan

Byan Aqila Ramadhan

[author title="Byan Aqila Ramadhan" image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/03/byan.jpg"]Byan, begitu biasa dipanggil, adalah seorang mahasiswa asal Bogor yang sedang menjalani pendidikan S-1 di Universitas King Saud (KSU), Riyadh. Selain kuliah, beliau aktif berwirausaha serta mengisi training berbasis komunitas di Riyadh, Arab Saudi. FB: /byan.aqila [/author]

Ust. Lutfi Firdaus Munawar, Lc., MA.

Ust. Lutfi Firdaus Munawar, Lc., MA.

[[author title="Ust. Lutfi Firdaus Munawar, Lc., MA." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/03/ust_lutfi.jpg"]Ustadz asal Lamongan yang sehari-hari akrab dipanggil ustadz Lutfi ini, sekarang sedang studi doktoral di Universitas King Saud (KSU), Riyadh. Selain kuliah, beliau aktif menjadi penceramah dan pengisi berbagai kajian di Riyadh, seperti jaliyat, dan komunitas-komunitas lainnya yang ada di Riyadh, Arab Saudi. FB: /Lutfi Firdaus Munawar [/author]

Ust. Mohamad Taufik, Lc.

Ust. Mohamad Taufik, Lc.

[author title="Ust. Mohamad Taufik, Lc." image="http://manhajuna.com/wp-content/uploads/2016/01/Moh_Taufik.png"]Ustadz yang sehari-hari akrab dipanggil ustadz Taufik ini, sekarang sedang menyelesaikan studi Master di King Saud University. [/author]

Titis Prawitasari

Titis Prawitasari

[author title="Titis Prawitasari" image=""]Staf Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik | Departemen Ilmu Kesehatan Anak | FK Univ. Indonesia – RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta[/author]

Kiki Barkiah

Kiki Barkiah

[author title="Kiki Barkiah" image="http://graph.facebook.com/1674365030/picture?type=large"]Kiki Barkiah, alumni teknik Elektro ITB yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Ibu yang menjadi homeschooler bagi kelima anaknya ini saat ini berdomisili di San Jose, California, USA. Kiki aktif di http://radiopengajian.com, sebagai presenter dalam program “Ibu Indonesia Berbagi”. Beliau juga adalah ketua Yayasan Rumah Tahfidz Al-Kindi Mahardika & Komunitas Homeschooling Al-Kindi[/author]

Afifah Afra

Afifah Afra

[author title="Afifah Afra" image="https://pbs.twimg.com/profile_images/628726932704661504/KAurJTdM.jpg"]Afifah Afra adalah nama pena dari Yeni Mulati Sucipto. Afifah Afra berkiprah di dunia kepenulisan (FLP) sejak awal berdirinya FLP dan mrnggawangi FLP di wilayah Semarang. Saat ini telah puluhan buku, cerpen dan novel karangan beliau diterbitkan oleh berbagai penerbit. Selain buku, cerpen-cerpen, artikel/opini dan puisi juga dimuat di berbagai media seperti Anita Cemerlang, Karima, Gizone, Nur Hidayah, Hadila, Kartini, Annida, Ummi, Sabili, Solopos, Joglosemar, Republika dan sebagainya. Penghargaan yang beliau raih antara lain: Pena Award 2002, Kategori Novel Terpuji “Bulan Mati di Javasche Oranje” | Juara 2 LKTI Nasional “Hijrah Nabawiyah” Universitas Yarsi, 2003 | Juara Harapan 1 Lomba Menulis Cerita Bersambung Majalah Kartini, 2004 | Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Remaja Raya Kultura-Rohto, 2015 | Juara 2 Lomba Menulis Essay Kepemimpinan Kemenpora, 2016 | Anugerah Pena 2013, Kategori Penulis Terpuji | Prasidatama 2014, Kategori Tokoh Sastra Indonesia di Jawa Tengah. Saat ini Afra merupakan CEO PT Indiva Media Kreasi. Mulai Agustus 2014, beliau bersama Riawani Elyta, mengembangkan SAYAP SAKINAH CENTER, sebuah lembaga konsultasi pernikahan dengan segmentasi kalangan muda (maksimal usia pernikahan 5 tahun). Afifah Afra dapat dihubungi di www.afifahafra.net atau twitter @afifahafra79[/author]

 

Manusia Produktif

Hidup di dunia cuma sekali, dan tak terulang lagi. Maka sangat rugilah kita manakala kesempatan yang sekali tersebut terbuang percuma, walau sesaat saja. Karena itu Islam sangat besar memberikan anjuran agar kita berupaya sedapat mungkin mengisi setiap saat dari waktu yang kita miliki dengan sesuatu yang bermanfaat dan melahirkan produktifitas.

Dalam hal ini Rasulullah ﷺ memberikan tips singkat namun sangat bermanfaat. Beliau bersabda,

(الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ  (رواه مسلم

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai dri mukmin yang lemah dan pada semuanya terdapat kebaikan. Berupayalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang beriman dengan keimanannya dia sudah memiliki kriteria baik. Namun akan lebih baik lagi dan lebih Allah cintai, jika keimanannya diiringi dengan kekuatan. Apakah kekuatan ruhani, fisik, harta, ilmu, dll. Karena dengan kekuatan tersebut akan banyak yang dapat dia lakukan.  Akan tetapi semua kekuatan dan potensi yang dimiliki, jika tidak diiringi sebuah orientasi yang jelas juga tidak berguna.

Maka Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk memiliki orientasi agar selalu berupaya melakukan dan menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri. Namun hal tersebut tidak boleh menghalanginya untuk selalu bergantung dan mohon pertolongan Allah. Usaha maksimal dan mohon pertolongan secara total kepada Allah, adalah dua hal yang harus selalu dihadirkan dalam kehidupan. Terakhir, tidak ada kata putus asa apabila menghadapi kegagalan, akan tetapi terus bangkit seraya menyandarkan nasib kepada Allah Ta’ala.

Orang yang tidak produktif dengan tidak memaksimalkan segenap potensi yang ada pada dirinya dan lingkungan di sekitarnya, ibarat orang yang menyia-nyiakan modal yang telah diberikan kepadanya.

Perhatikanlah, berapa banyak waktu yang terbuang untuk ngobrol berjam-jam “ngalor ngidul” tak karuan, mendengarkan musik dan lagu, menonton sinetron atau film action dan yang semacamnya..? Dari sekian tahun hal tersebut dilakoni, seberapakah manfaat yang dapat kita ambil? Dapat kita katakan bahwa semua itu menguap tanpa makna berarti dalam kehidupan, kecuali memuas-muaskan nafsu santai plus pengaruh buruk yang ditimbulkannya. Lalu bandingkan jika waktu-waktu tersebut digunakan untuk; membaca buku,  mengasah ketrampilan dan bakat atau meningkatkan peran sosial kita dan aktifitas bermanfaat lainnya, niscaya akan terasa sekali manfaat yang akan kita raih setelah berlangsung sekian lama kemudian.

Dan di antara sabda Rasulullah ﷺ:

(مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ  (رواه االترمذي

“Indikasi baiknya Islam seseorang, manakala dia meninggalkan perbuatan yang tak berguna.” (HR. Tirmizi)

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Bergabunglah dalam Poros Kebenaran!

Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dengan memiliki watak dasar (fitrah) keimanan dan taqwa, dan sebaliknya membenci kebatilan dan kekufuran.  Namun fitrah ini sedikit demi sedikit akan terkikis oleh berbagai sebab sehingga boleh jadi tercipta kondisi sebaliknya.

Di antara sebab yang banyak membuat orang menjauh dari kebenaran dan nilai-nilai keimanan adalah kuatnya nilai-nilai keburukan yang melingkungi dan mengelilinginya  yang tidak berimbang dengan kekuatan keimanan yang dimilikinya.

Ketika kita berbicara tentang lingkungan (bi’ah), bukan hanya terbatas teman sepergaulan atau tetangga di sekitar, akan tetapi apa saja yang dapat dijangkau oleh pandangan, pendengaran dan perasaan kita. Dengan kemajuan teknologi informasi maka pemahaman tentang lingkungan kini menjadi lebih luas ruang lingkupnya.

Pada zaman sekarang ini terkesan kuat sebuah fenomena seakan kita tidak dibuat tak berdaya atau terpaksa menyerah dengan keadaan yang menggiring kita pada kemaksiatan serta menjauhkan kita dari nilai-nilai keimanan. Sehingga tidak jarang ada sebagian kaum muslimin yang terjerumus dalam keburukan, baik sedikit atau banyak, lalu dengan entengnya dia mengatakan, ‘Memang sudah zamannya.”

Imam Syafi’i rahimahullah dalam sebuah gubahan sya’irnya berkata,

نَعِيْبُ زَمَنَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا وَمَا لِزَمَنِنَا عَيْبٌ سِوَانَا

Kita mencela zaman, padahal cela itu ada pada kita

Cela tidak ada pada zaman, yang ada, adalah pada kita.

Fenomena ini jika kita perhatikan, bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau pekerjaan ‘kemarin sore’, tetapi dibalik itu ada sebuah kekuatan yang terstruktur, terkait satu sama lain, baik langsung ataupun tidak langsung yang berupaya kuat dan sungguh-sungguh untuk melahirkan kondisi semacam ini. Kesimpulannya adalah lahir dari sebuah kerja sama yang kuat antara pihak-pihak yang ingin menebarkan keburukan di tengah masyarakat.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ (سورة الأنفال: ٧٣)

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.”  (QS. Al-Anfal: 73)

Mereka pun tak segan-segan untuk mengeluarkan hartanya untuk tujuan tersebut;

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 36)

Sebenarnya ini juga bukan perkara baru, sejak zaman Rasulullah ﷺ, kolaborasi atau kerjasama tersebut sudah terbentuk sedemikian rupa. Namun seiring perkembangan zaman,  hal tersebut terasa semakin kuat strukurnya, semakin canggih metodenya dan semakin luas jaringannya.

Maka, dalam kontek ini, setelah berupaya meningkatkan kualitas iman dan amal dalam diri kita dan melindunginya dari berbagai gangguan yang dapat menggerogotinya, membangun atau bergabung dalam poros kebenaran bagi seorang mu’min menjadi perkara yang tidak dapat diabaikan. Maksudnya adalah, bahwa kita tidak cukup hanya mengupayakan kesalehan pribadi, kemudian tidak peduli dengan kondisi di sekitar kita, akan tetapi kita harus menyatakan sikap bahwa diri kita bergabung kepada setiap upaya perbaikan yang tengah dilakukan di tengah masyarakat, sebagaimana orang-orang yang berniat menebarkan keburukan bergabung dan bersatupadu untuk melancarkan usahanya.

Karenanya dalam  ayat di atas Allah melanjutkannya,

إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (سورة الأنفال: ٧٣)

“Jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.(QS. Al-Anfal: 73)

Dari sini pula kita dapat menangkap pesan yang ingin Allah sampaikan dalam surat Al-Ashr, bahwa syarat agar kita tidak terjerumus dalam kerugian, setelah beriman dan beramal shaleh, adalah berpartisipasi aktif dalam menjaga nilai-nilai tersebut dalam hubungan sosial dengan saling nasehat menasehati.

Kita masih ber-husnuzzan bahwa masyarakat secara keseluruhan lebih condong pada nilai-nilai kebenaran, karena itu memang sudah fitrah yang Allah bekalkan pada setiap manusia. Cuma kekurangannya adalah potensi-potensi kebaikan tersebut tidak diperlihatkan, lalu dikelola menjadi sebuah kekuatan yang dapat melahirkan kebaikan-kebaikan lebih besar yang sekaligus mampu menghadapi kekuatan-kekuatan yang ingin menebarkan keburukan. Banyak di antara kita masih berkutat pada posisi Silent Majority (Mayoritas yang diam), jika ada kebaikan di tengah masyarakat dia senang, sedangkan jika ada keburukan dia benci. Titik! Selebihnya, dia hanya diam, tidak ada langkah apapun yang dilakukan untuk mengekspresikan sikapnya. Padahal justeru pada titik inilah kita sering tidak berdaya menghadapi serbuan penggagas kebatilan. Karena –meminjam istilah pernikahan dalam Islam: Diam berarti setuju.

Salah satu contoh real dapat kita lihat dalam upaya meloloskan UU Pornografi. Sebenarnya mayoritas masyarakat sudah ‘jengah’ dengan tayangan acara-acara di televisi yang erotis dan tidak mendidik. Cuma –di sini masalahnya- mereka lebih memilih diam ketimbang menyatakan sikap  secara terkelola, sehingga kesannya semua itu menjadi perkara yang telah diterima masyarakat. Sementara para pengasung pornografi dan pornoaksi begitu agresif menyatakan sikap dukungan dan pembelaannya terhadap apa yang mereka lakukan, bahkan terkelola dalam berbagai bentuk, seperti lewat media, LSM bahkan terobosan politik. Sehingga, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit, namun yang tampak kita seperti berhadapan dengan kekuatan besar. Akhirnya, terjadilah ironi tersebut; Sebuah UU yang hendak mengatur penayangan dan produk media, serta bertujuan menjaga generasi kita dari dekadensi moral, sangat sulit digulirkan dan baru berhasil disahkan setelah melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, itupun dengan revisi kompromistis di sana sini. Padahal negeri ini dikenal sebagai Negara dengan populasi kaum muslimnya terbesar di dunia, dan sering mengaku sebagai masyarakat religius.

Hal inilah seperti apa yang dikatakan oleh Ali bin Thalib,

الْحَقُّ بِلاَ نِظَامٍ غَلَبَهُ الْبَاطِلُ بِنِظَامٍ

“Kebenaran yang tidak terkelola akan dikalahkan kebatilan yang terkelola.”

Keengganan kita untuk bergabung dalam poros kebenaran, meskipun secara pribadi kita telah menghiasi diri dengan nilai-nilai kebenaran, pada gilirannya akan semakin memberi kesempatan pada poros keburukan memperkuat dirinya. Dan ketika pengaruhnya merajalela sedemikian rupa di tengah masyarakat, imbasnya pun akan kembali kepada diri kita sendiri.

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.”  (QS. Al-Anfal: 25)

Maka, berhadapan dengan berbagai upaya yang dapat merusak nilai-nilai keimanan kita, tidak cukup bagi kita hanya menggerutu, sumpah serapah dan caci maki, namun setelah itu diam tidak berinisiatif apa-apa. Sudah saatnya, dimanapun berada dan siapapun kita, hendaklah kita bergabung dan menyatakan sikap dalam barisan orang-orang yang ingin menebarkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan nilai keimanan di tengah masyarakat. Karena selain hal tersebut akan semakin menambah peluang amal shaleh, di sisi lain akan semakin melindungi diri kita dari faktor-faktor yang dapat merapuhkan keimanan kita. Dan hal tersebut berlaku dalam bidang apa saja; Pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, termasuk juga politik. Semakin besar ruang lingkup poros tersebut, akan semakin besar pula pengaruhnya.

Kalau komunitas tersebut belum kita dapatkan, berusahalah membentuk poros tersebut di lingkungan terdekat kita. Termasuk di dalamnya misalnya dengan membentuk majelis-majelis ta’lim, forum-forum, Penggalangan aspirasi dll. Dengan demikian kita telah menyatakan sikap yang jelas dimana posisi kita berada.  Dan yakinilah, jika nilai-nilai kebenaran telah dimaksimalkan potensinya dan dikelola kekuatannya, tak kan pernah ada kebatilan yang bertahan menghadapinya.

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا (سورة الإسراء: ٨١)

Dan Katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’: 81)

Kesimpulan terakhir, ‘Jangan diam, nyatakan sikap anda, dan bergabunglah dalam poros kebenaran!

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Tinggalkan Keraguan

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ؛ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ:  « دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ »

[رواه الترمذي والنسائي، وقال الترمذي: حديث حسن صحيح]

Kosa kata

حفظ(ت) : (saya)  Menghafal/mengetahui دَعْ : Tinggalkanlah
  يريبـ(ك) : Meragukan (mu)

 

Terjemah hadits

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu dan kesayangan Rasulullah , dia berkata, “Saya menghafal dari Rasulullah (sabdanya),

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”

 (HR Tirmizi dan Nasa’i, dia berkata, “Haditsnya hasan shahih.”)

Kedudukan Hadits

Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata, “Hadits ini merupakan kaidah agama yang sangat agung dan merupakan landasan dalam sikap wara’ yang merupakan ciri orang bertakwa serta penyelamat dari sikap keragu-raguan yang dapat menghalangi cahaya keyakinan. [1]

Pemahaman Hadits

Dalam hadits riwayat Tirmizi, setelah redaksi di atas terdapat tambahan;

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبُ رِيْبَةٌ

“Sesungguhnya kejujuran menyebabkan ketenangan sedangkan dusta menyebabkan keragu-raguan.”

Makna hadits ini adalah: Tinggalkan ucapan dan perbuatan yang kamu ragukan bahwa dia dilarang, atau disunnahkan atau bid’ah. Beralihlah kepada apa yang tidak meragukan. Maksudnya adalah bahwa hendaknya setiap mukallaf  (orang yang telah terkena beban kewajiban) melandasi perbuatannya dengan keyakinan dan pemahaman terhadap agamanya. [2]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Hadits ini merupakan landasan sikap wara’ yang layak dimiliki oleh seorang muslim, yaitu sikap menghindari syubhat (samar) dalam berbagai perkara kehidupan.
  • Hadits ini termasuk dalil bagi sebuah Kaidah Fiqh yang cukup dikenal, yaitu,

الْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

“Yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.” [3]

  • Keluar dari ikhtilaf ulama lebih utama karena hal tersebut lebih terhindar dari perbuatan syubhat, [4] khususnya jika di antara pendapat mereka tidak ada yang dapat dikuatkan. [5]
  • Sebuah perkara harus jelas berdasarkan keyakinan dan ketenangan.
  • Jangan meremehkan urusan agama.

Tema hadits dan Ayat Al-Quran yang Terkait

Meninggalkan keragu-raguan : Al-Baqarah (2): 2, Ibrahim (14): 10, Al-Hujurat (49): 15

Catatan Kaki:

  1. Syarh Arbain An-Nawawiyah: Ibnu Hajar Al-Haitsami, sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Wafie fi Syarhi Al-Arbain An-Nawawiyah, hal. 85.
  2. Tuhfatul Ahwazie, 7/187
  3. Contoh kasus dalam masalah ini adalah, apabila seseorang yakin bahwa dia telah berwudhu, kemudian dia ragu, apakah wudhunya batal atau tidak, maka yang dia pilih adalah apa yang masih diyakini, yaitu bahwa dirinya telah berwudhu, atau ketika shalat, dia ragu apakah dua rakaat atau tiga rakaat, maka yang yakin adalah yang paling sedikit, yaitu dua rakaat, maka dia simpulkan bahwa shalatnya baru dua rakaat.
  4. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 196.
  5. Misalnya pendapat pertama mengatakan bahwa suatu perbuatan makruh, sedangkan pendapat kedua mengatakannya haram, maka perbuatan tersebut dia tinggalkan terlepas apakah dia memilih pendapat pertama atau kedua. Atau pendapat pertama menyatakan sebuah perbuatan hukumnya sunnah sedangkan pendapat kedua menyatakan wajib, maka hal itu dia lakukan, terlepas apakah dia mengatakan wajib atau sunnah. Kedua sikap tersebut sebagai langkah khurujan minal khilaf.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)