Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Relakah Jika itu Terjadi Pada Ibu, Putri, Saudari atau Bibimu?
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Relakah Jika itu Terjadi Pada Ibu, Putri, Saudari atau Bibimu?

Suatu hari, ada seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”.

Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardik pemuda itu, “Diam Kamu! Diam!”. Tapi Rasulullah malah berkata, “Mendekatlah.” Pemuda itu pun mendekat, lalu duduk.

Dengan tetap tenang, Rasul pun mulai bertanya, “Relakah dirimu jika ibumu dizinai orang lain?”. Pemuda itu pun langsung menyahut, “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.

Rasul pun membalas, “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.” Lalu beliau melanjutkan, “Relakah dirimu jika putrimu dizinai orang?”.

Pemuda itu kembali menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”. Rasulullah pun membalasnya, “Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai”.

Lalu beliau kembali bertanya, “Relakah dirimu jika saudari kandungmu dizinai?”. Pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama, “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.

Rasul kembali membalas, “Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.” Lalu beliau bertanya lagi, “Relakah dirimu jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?”

Pemuda itu pun menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”. Kembali Rasulullah membalas, “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

Yang terakhir, Rasulullah bertanya lagi, “Relakah dirimu jika bibi dari jalur ibumu dizinai?”. Pemuda itu kembali menjawab tegas, “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”

Sang Rasul kembali menimpali, “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” Lalu beliau pun meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”

Dialog yang termaktub dalam Hadits riwayat Imam Ahmad itu, sebenarnya terkait khusus dengan seorang pemuda yang sedang bergejolak syahwatnya dan minta izin untuk berzina. Tapi jawaban Rasulullah itu sepertinya juga relevan untuk ditujukan kepada orang yang berwacana menghalalkan zina.

Termasuk soal disertasi Milkul Yamin yang ber-konklusi menghalalkan hubungan sex non-marital. Beberapa waktu lalu ada teman yang minta menanggapinya. Waktu itu saya hanya berkomentar singkat, “Caper gaya lama!”.

Tapi kemudian ada desakan lagi untuk segera serius menanggapi. Katanya sedang viral. Mungkin karena latar belakang S1 saya Syari’ah dan tesis S2 saya terkait Pendidikan Seksual. Mungkin juga karena sama-sama dari Solo :).

Akhirnya saya hanya menanggapi seperti dialog dalam Hadits di atas. Jawaban Rasulullah tersebut cukup ampuh untuk menguji konsistensi pendapat para pemikir nyleneh. Terutama yang terkait seksual-marital.

Sekelas punggawa liberalis Indonesia saja (Nurcholis Madjid), yang termasuk getol mengangkat isu nikah beda agama; terbukti tidak konsisten dengan idenya saat putrinya hendak menikah dengan seorang lelaki Yahudi. Ia menyatakan tidak setuju dan kecewa dengan rencana putrinya.

“Sembilan puluh sembilan persen dalam agama kita menghukumi kamu kawin tidak sah, suatu dosa yang sangat besar, salah satu yang terbesar dalam agama kita setelah syirik, durhaka pada orangtua, membunuh, dan merusak alam,” tulis Cak Nur dalam suratnya kepada sang putri (Gatra, 16 April 2002).

Jadi soal disertasi sex non-marital itu, kayaknya ga perlu capek-capek bahas etimologi-epistemologi Milkul Yamin, mengupas figur Syahrur yang kontroversial dan tidak otoritatif untuk ber-ijtihad, mengulas salah kaprahnya Tafsir Hermeneutik, efek sosial dan psikoseksual, atau berdiskusi tentang finalnya hukum zina menurut Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama.

Apalagi sampai ngulik-ngulik soal metodologi disertasi yang lemah, critical analysis yang tumpul, diksi yang rancu, konklusi prematur-simplikatif yang kata para penguji “mungkin lupa”, atau data fenomena kriminalisasi sex non-marital yang tidak akurat dan relevan.

Jadi cukup diajukan saja pertanyaan sederhana, “Bagaimana jika hubungan seksual non-marital itu terjadi pada ibu, putri, saudari, atau bibi Anda? Relakah Anda?”.

Lha, kalo yang bersangkutan rela-rela aja, gimana Bro…?!

Ya tinggal ditanggapi lagi dengan jawaban satire Rasulullah yang lain, “Idzaa lam tastahi, fashna’ maa syi’ta!“. Kalau memang sudah nggak punya cemburu dan rasa malu, biarin aja mau ngapain. Wis ben karepe, rasah digagas…

Kota Nabi, 3 Muharram 1441

(Manhajuna/IAN)

(Visited 297 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Jauhi Maksiat Zina dan Riba !

Ibnu Qayyim Al Jauziyah berpetuah: Dalam kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi saw saat shalat gerhana …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *