Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Saat Tergelincir, Berkacalah Pada Ka’ab Bin Malik RA
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Saat Tergelincir, Berkacalah Pada Ka’ab Bin Malik RA

Oleh: Ustadz Hakimuddin Salim, MA.

Manhajuna.com – Setiap manusia pasti pernah tergelincir dalam kesalahan. Ada yang segera bangkit bertaubat dan mampu menutupinya dengan kebaikan, ada pula yang malah tergelincir kembali pada lain kekhilafan. Bahkan ada yang dalam ketergelincirannya, menjadi celah bagi musuh Islam untuk merusak barisan.

Sebuah kisah panjang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibnu Syihab, bahwa suatu masa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersama para sahabat berangkat ke Tabuk untuk menghadapi orang-orang Romawi dan orang-orang Nashrani Arab di Syam.

Karena perjalanan perang kali ini sangat jauh, dengan cuaca yang sangat panas, serta jumlah musuh yang sangat besar, maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam jauh-jauh hari sudah mengingatkan para Sahabat untuk berbekal dan melakukan persiapan.

Hingga pada bulan Rajab 9 Hijriah, Rasulullah berangkat meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Ketika itu, kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah banyak sekali. Hampir semua turut serta, meski tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang.

Namun ternyata, ada beberapa sahabat yang tidak ikut serta. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik, rodhiyallahu ‘anhu. Sebenarnya ia sudah mempersiapkan dua ekor kuda sebagai tunggangan. Namun kemudian, ia tersibukkan dan terlalaikan dengan hasil panen kebun yang melimpah ruah di musim itu. Inilah ketergelinciran pertama Ka’ab.

Setelah Rasulullah dan rombongan berangkat, mulailah rasa gundah menyelimuti hati Ka’ab. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, ia menyadari bahwa tidak ada yang dapat ia temui selain orang-orang yang telah dicap bergelimang dalam kemunafikan atau orang-orang lemah yang udzur untuk mengikuti peperangan. Ia pun merasa bersalah dan melewati hari dengan segudang resah.

Hingga ketika ia mendengar Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersiap-siap kembali dari Tabuk, keresahan itu mulai menjelma menjadi ketakutan. Ia yakin, Rasulullah pasti mengetahui pelanggaran yang ia lakukan. Tak terbayang di benaknya, hukuman apa yang akan ia dapatkan.

Dalam kondisi seperti itu, syetan datang demi membuatnya tergelincir untuk kedua kalinya. Ka’ab mulai menggagas alasan untuk berdusta. Ia bertanya-tanya dalam hati, alasan apa yang bisa menyelamatkannya dari amarah Rasulullah? Ia juga meminta bantuan keluarganya untuk memberinya sebuah saran.

Namun ketika ada seseorang memberitakan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba, seketika keinginannya untuk berdusta hilang dari benaknya. Ia enggan tergelincir dua kali. Ia tersadar, bahwa ia tidak akan pernah bisa berbohong sedikitpun kepada Rasulullah.

Ketika Rasulullah sampai Madinah pada pagi hari, seperti biasa beliau langsung menuju masjid Nabawi. Orang-orang yang tidak turut berperang pun berdatangan menyampaikan alasan. Ternyata Rasulullah menerima alasan mereka, mengambil sumpah, memohonkan ampunan, dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati kepada Allah Ta’ala.

Tak lama setelah itu, Ka’ab pun datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum, kemudian mengatakan, “Kemarilah!”, lalu Ka’ab berjalan mendekat, sehingga ia duduk tepat di hadapan beliau.

Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pun dengan tenang bertanya kepada Ka’ab bin Malik, “Mengapa Engkau tidak turut berperang? Tidakkah Engkau telah berjanji untuk menyerahkan jiwa dan raga demi Islam?”.

Ka’ab bin Malik menjawab, “Ya Rasulallah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain Engkau, aku yakin bahwa aku akan terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan”.

Ka’ab melanjutkan, “Namun, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang akan membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu, yang dengan kejujuran itu Engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu.”

Lalu Ka’ab pun bersumpah, “Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu, meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang bersamamu.”

Mendengar pengakuan tulus dari Ka’ab bin Malik itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang ini telah berkata jujur. Berdirilah, sampai Allah Ta’ala memberikan keputusan tentangmu.” Ka’ab pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau.

Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutinya. Mereka berkata kepadanya, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui Engkau berbuat dosa sebelum ini. Apakah Engkau sungguh tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah, seperti alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu? Sungguh istighfar Rasulullah untukmu yang akan menghapus dosamu!”.

Mereka terus membuntuti Ka’ab, dan menyayangkan “keluguannya” itu. Di sini lah, jeratan untuk tergelincir lagi datang kembali. Ka’ab hampir-hampir berbalik badan menuju Rasulullah dan menyampaikan alasan dusta. Namun ia kembali tersadar. Ia enggan tergelincir dua kali.

Selanjutnya ia bertanya kepada mereka, “Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah seperti aku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah seperti jawaban beliau kepadamu”.

Setelah Ka’ab tahu bahwa ada dua sahabat lain sepertinya, yaitu Murarah bin Rabiah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi, radhiyallahu ‘anhum, hatinya menjadi lebih tenang. Apalagi keduanya adalah orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar. Itu membuatnya kembali tegar mempertahankan kejujuran.

Tak dinyana, setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kaum Muslimin berbicara dengan mereka bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Muslimin Madinah manjauh dan berubah sikap kepada mereka, sehingga bumi saat itu terasa sangat sempit nan menghimpit.

Suatu ketika Ka’ab mencoba menghampiri Rasulullah. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Rasulullah akan menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamnya atau tidak? Kemudian ia shalat di dekat Rasulullah dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika Rasulullah sudah bersiap hendak shalat, beliau memandang Ka’ab. Tapi sayang, ketika Ka’ab menoleh kepada beliau, beliau segera mengalihkan pandangan darinya.

Setelah terisolir dari pergaulan kaum Muslimin Madinah, Ka’ab berjalan-jalan hingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, yang merupakan sepupunya dan orang yang paling ia senangi. Ka’ab pun dengan yakin mengucapkan salam kepadanya. Namun sayang, Abu Qotadah tidak menjawab salamnya.

Lalu Ka’ab bertanya kepadanya, “Wahai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?”. Abu Qatadah rodhiyallahu ‘anhu diam saja, tak menjawab apa-apa.

Baru setelah Ka’ab mengulang pertanyaan itu sampai tiga kali, Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu.” Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mata Ka’ab. Ia pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.

Kondisi terhimpit yang menimpa Ka’ab itu, rupanya terdengar oleh penguasa Syam, Raja Ghassan. Musuh Islam yang turut menjadi seteru Rasulullah di Tabuk itu, melihatnya sebagai sebuah celah untuk melemahkan barisan Muslimin. Ia pun segera mengirim utusan rahasia ke Madinah.

Hingga ketika Ka’ab sedang berjalan di pasar Madinah, ada seorang pedagang makanan dari negeri Syam yang bertanya kepada khalayak ramai, “Siapakah yang sudi menunjukkan kepadaku dimana Ka’ab bin Malik?”. Maka orang-orang pun menunjukkannya kepada Ka’ab.

Lalu orang Syam itu datang menyapa Ka’ab, sambil menyelipkan sepucuk surat untuknya dari Raja Ghassan. Surat itu berbunyi: “Kami mendengar bahwa temanmu (yaitu Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam) telah mengucilkanmu dari pergaulan umum. Sedangkan Tuhan tidak akan menyia-nyiakanmu. Karena itu, bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu!”.

Sungguh surat itu adalah ujian berat bagi Ka’ab. Saat seluruh penduduk Madinah sepakat mengucilkan, datang sebuah tawaran yang menggiurkan. Untungnya ia tetap sadar diri, bahwa ia tak boleh tergelincir lagi. Selesai membaca surat itu, ia berkata, “Surat ini adalah bencana bagiku!”. Ia pun memasukkannya ke tungku dan membakarnya hingga menjadi abu.

Setelah berlalu 40 hari dari masa pengucilannya dan wahyu pun tidak kunjung turun, tiba-tiba utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Ka’ab untuk menyampaikan pesan, agar ia menjauhi istrinya. Ka’ab pun bertanya, “Aku harus menceraikannya atau bagaimana?”. Utusan itu menjawab, “Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya.”

Hingga ketika telah lewat malam yang ke-50, saat Ka’ab shalat Subuh di bagian belakang rumahnya, saat ia sedang duduk dengan kesedihan yang mendalam, serta bumi yang luas terasa sempit baginya, tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak dengan suara keras menembus cakrawala. “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”. Ia pun bersujud dan ia tahu bahwa ia telah terbebas dari persoalan ini.

Rupanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kepada kaum Muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat mereka bertiga. Orang-orang pun segera berupaya mencari mereka. Bani Aslam datang kepada Ka’ab dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung. Saking semangatnya, suara mereka lebih cepat dari pada langkah kuda mereka.

Ketika orang yang telah ia dengar suaranya memberi kabar gembira sampai di depannya, Ka’ab segera melepaskan pakaian luarnya. Lalu ia pakaikan kepada orang tersebut sebagai balasan kabar gembira yang diberikannya. Padahal yang Ka’ab miliki saat itu hanya dua helai pakaian tersebut. Kemudian ia meminjam baju ke orang lain, dan segera menemui Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam.

Seperti yang Ka’ab tuturkan sendiri, saat ia tiba di Masjid Nabawi, orang-orang berduyun menemuinya untuk mengucapkan selamat. Lalu ia masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyambutnya dengan wajah berseri-seri dan mengatakan, “Bergembiralah, karena Engkau mendapati sebaik-baik hari yang telah Engkau lalui semenjak Engkau dilahirkan.”

Lalu ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?”. Beliau menjawab, “Dari Allah”. Ka’ab pun senang bukan kepalang. Sebagai bentuk kesyukuran, ia bertekad untuk menginfakkan semua hartanya dan memegang teguh terus kejujuran.

“Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.”

Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksaan Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sungguh Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 117-119)

(Manhajuna/IAN)

Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

Mahasiswa Doktoral at Universitas Islam Madinah
Ustadz asal Klaten yang sehari-hari akrab dipanggil ustadz Hakim ini, sekarang sedang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Islam Madinah. Selain aktif di Yayasan Islamic Center Ibnu Abbas, beliau juga aktif menjadi penceramah dan penulis di beberapa media.
Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

Latest posts by Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA. (see all)

    (Visited 1.497 times, 1 visits today)

    Beri Komentar (via FB)

    http://bursanurulfikri.com/

    Lihat Juga:

    Raih Summa Cumlaude, Ustadz Muda Ini Menjadi Doktor Tarbiyah Pertama dari Asia Tenggara

    Pada 18 Desember 2019, Hakimuddin Salim berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan para penguji di Universitas …

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *