Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Antara Dua Jargon Dakwah
At-Tauhiid Awwalan… (Tauhid yang pertama), begitu sebuah jargon dakwah yang cukup dikenal di kalangan aktifis dakwah. Menggambarkan pentingnya masalah tauhid dijadikan sebagai tema dakwah yang seharusnya pertama kali disampaikan. Banyak dalil yang dapat diajukan untuk menguatkan sikap ini.
Sementara itu, di sisi lain, sebagian aktifis dakwah lainnya mengusung jargon ‘Akhlaqul karimah’ dalam agenda dakwahnya. Bagi mereka, apapun hasil dari sebuah dakwah haruslah berujung kepada prilaku dan kepribadian menarik, bermanfaat, tidak menyakiti dan merugikan pihak lain. Banyak pula dalil yang diajukan untuk menguatkan sikap ini.
Semestinya, kedua jargon ini dapat saling mengisi dan menguatkan, karena memang begitulah asalnya. Akan tetapi, seringkali yang terjadi dilapangan justru melahirkan polarisasi yang cukup kuat dan tajam, bahkan tak jarang menimbulkan komunitas tersendiri hingga yang berujung pada gesekan dan benturan.
Memang, kalau kita lihat beberapa ayat atau hadits-hadits tentang masalah ini secara terpisah, apalagi jika tidak diimbangi dengan tashawwur (gambaran) utuh tentang sirah bagaimana Rasulullah saw berdakwah, masing-masing pihak akan menemukan pembenarannya.
Pengusung jargon pertama dengan semangat berkobar-kobar berusaha ingin meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan mengembalikan yang menyimpang. Namun kadang abai dengan ucapan yang lembut, pilihan kata yang sesuai dengan situasi dan audiens, ekslusif, abai dengan kedudukan dan kehormatan figur tertentu atau abai menyesuaikan diri dengan psikologi individu atau massa, atau tidak mempedulikan sensitifitas budaya setempat, dst. Sementara pengusung jargon kedua, juga dengan semangat yang berkobar-kobar, ingin menampilkan Islam yang toleran, teduh, inklusif, moderat dan sederet sifat-sifat menyejukkan lainnya. Namun kadang abai dengan perkara tauhid, sering ‘bermain-main’ dengan logika dan perasaan dalam wilayah keyakinan, juga terlalu cair dan ‘meliuk-liuk’ dalam wilayah yang padat dan baku.
Asumsi di atas tentu masih sangat terbuka diperdebatkan batasan-batasannya, akan tetapi adanya polarisasi tersebut, sedikit ataupun banyak, sangat mudah ditangkap oleh siapa saja yang mencermati medan dakwah dengan seksama. Tulisan ini pun bukan untuk membuktikan atau menolak kesimpulan tersebut, tapi lebih ditujukan untuk menjadi entri dalam memahami adanya korelasi erat atau bahkan satu kesatuan yang tak terpisahkan antara tauhid dan akhlak, atau antara akhlak dan tauhid.
Tauhid adalah bagian dari akhlak dan akhlak adalah bagian dari tauhid. Hanya, tauhid biasanya difokuskan pada hubungan seorang hamba kepada Allah, sedangkan akhlak fokus pada hubungan hamba kepada sesama hamba. Tapi kenyataannya, di antara yang sangat menentukan kualitas tauhid seseorang, terkait erat dengan prilakunya terhadap sesama hamba, sementara akhlak yang paling utama dari seorang hamba adalah sikapnya kepada Allah Ta’ala sebagai Pencipta yang tak lain merupakan tauhid itu sendiri.
Atau, mudah-mudahan tidak keliru jika kita meminjam istilah para ulama dalam menyatukan dua istilah berbeda namun saling berkaitan erat (seperti definisi Iman dan Islam), yaitu; izaftaraqaa ijtama’aa wa izajtama’aa iftaraqaa (jika berpisah dia bersatu dan jika bersatu dia berpisah). Maksudnya adalah bahwa istilah ‘tauhid’ jika disebutkan secara terpisah, maka ‘akhlak’ termasuk di dalamnya. Begitu pula ‘akhlak’, jika disebutkan secara terpisah, maka ‘tauhid’ termasuk bagian di dalamnya. Namun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki makna khusus sebagaimana telah disebutkan.
Antara Ketegasan Tauhid Dan Keunggulan Akhlak
Seorang muslim hendaknya berada dalam kondisi seperti ini secara berimbang. Yang satu tidak boleh mengabaikan yang lain. Atau, jangan sampai kita merasa mendapatkan legitimasi terhadap kekurangan pada salah satunya hanya karena kita sudah merasa ideal terhadap lainnya. Seseorang yang memiliki kekeliruan dalam masalah tauhid, jangan merasa masalahnya sepele hanya karena dia merasa akhlaknya baik-baik saja, sebagaimana orang yang bermasalah dalam masalah akhlak, jangan merasa tenang hanya karena dia merasa tauhidnya sudah murni dan mantap. Tidak boleh ada dikotomi pada keduanya. Keberadaan yang satu menguatkan yang lain. Atau, kehilangan salah satunya akan melemahkan yang lain.
Perhatikanlah dakwah Rasulullah saw, apa yang pertama kali dia serukan? Ya, tauhid kepada Allah, beribadah semata kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Tapi perhatikan pula baik-baik, siapa yang pertama kali menerimanya? Tak lain orang-orang terdekatnya yang sudah sangat mengenal kepribadiannya. Pertanda apakah? Pertanda bahwa akhlak beliau sudah dikenal kebaikannya. Sebab masuk Islamnya orang-orang terdekat, setelah hidayah Allah Ta’ala, tak lain karena mereka melihat kepribadian Rasulullah saw yang istimewa. Ini artinya sebuah perpaduan indah dalam sebuah pribadi antara ketegasan tauhid dan keunggulan akhlak.
Karenanya, ketika Rasulullah saw mengadukan kekhawatirannya kepada Khadijah setelah menerima wahyu pertama, Khadijah menghiburnya dengan sesuatu yang bersumber dari akhlaknya yang mulia, “Allah tidak akan menghinakanmu sama sekali, engkau adalah orang yang suka silaturrahim, membantu yang lemah, menghormati tamu dan suka berkontribusi dalam berbagai bidang kebaikan.”
Wujud dari hal tersebut di antaranya tergambar dari pesan Luqman yang Allah abadikan dalam surat Luqman ayat 15, yang berisi pesan untuk tidak menuruti perintah orang tua manakala mereka mengajak kepada kemusyrikan, namun pada saat yang bersamaan, sang anak tetapi diperintahkan untuk mempergauli mereka dengan baik. Ketegasan mempertahankan tauhid yang murni, bukan alasan bagi seorang anak untuk tidak berakhlak mulia terhadap orang tua. Sebaliknya, keinginan untuk menampilkan akhlak menawan, semestinya tidak menghalangi seseorang untuk bersikap tegas, walaupun terhadap orang tua.
Mewujudkan keseimbangan di antara kedua hal ini jelas lebih rumit. Butuh kekuatan hati, sekaligus kelembutannya, kecerdasan akal sekaligus kecerdikannya, ketegasan sikap sekaligus kelenturannya. Secara teoritis hal itu tampak mudah, namun secara praktis, kendala dan tantangan pastinya tidak terhindarkan. Namun betapapun, hal tersebut harus diwujudkan walau sulit dan kadang mengalami kekeliruan. Tak ada jalan lain bagi kita kecuali terus belajar dan berusaha mewujudkan sikap ideal dalam masalah ini, karena disanalah keunggulan dan kemuliaan itu akan terwujud.
Wallahua’lam.
Riyadh, Rabiul Awal 1433 H