Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Tiada Kata Seindah Ukhuwah Imaniyah
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Tiada Kata Seindah Ukhuwah Imaniyah

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc

» هُوَالَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ, وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ «

“Dia-lah (Allah) yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal: 62-63).

Saudaraku,
Tinta emas sejarah mencatat dan akan terus langgeng dan menjadi memori terindah hingga akhir zaman tentang indahnya hidup dalam naungan ukhuwah imaniyah.

Anas bin Malik r.a menuturkan, “Sesungguhnya Abdurrahman bin Auf ketika tiba di Madinah, lalu dia dipersaudarakan oleh Rasulullah s.a.w dengan Sa’ad bin Rabi’ al-Anshari.
Sa’ad membawa saudaranya itu ke rumah dan menyuguhkan makanan, lalu mereka makan bersama. Lalu Sa’ad berkata, “Wahai saudaraku Abdurrahman, aku termasuk orang yang paling berkecukupan di kota Madinah ini (dalam riwayat lain, di kalangan orang Anshar. Aku akan membagi dua kekayaan itu kepadamu (dalam riwayat lain dikatakan, mari pergi ke kebunku itu, nanti akan aku bagi kebun itu untukmu). Aku juga mempunyai dua orang istri dan engkau (wahai saudaraku karena Allah) seorang yang belum beristri. Pilihlah seorang di antara mereka yang engkau sukai, sebutkan mana yang engkau pilih, lalu aku akan ceraikan dia untuk kau nikahi.”

Tidak saudaraku -jawab Abdurrahman- semoga dengan kemurahan hatimu itu Allah memberikan berkah kepadamu dan harta kekayaanmu. Tolong tunjukkan kepadaku jalan ke pasar. Sa’ad menunjukkan jalan ke pasar. Abdurrahman pergi berjualan ke pasar dan mendapat untung. Pada hari berikutnya ia pulang ke rumah membawa susu dan samin untuk keluarganya….” (HR. Bukhari, Nasa’i, Baihaqi dan Ahmad).

Saudaraku,
Ukhuwah imaniyah yang memancar dari hati merupakan parameter keimanan seseorang. Sungguh indah Allah menggambarkan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Semakin bersinar cahaya ukhuwah yang memancar dari dalam diri seseorang maka berarti semakin dalam keimanan yang terpatri di dalam jiwanya. Tiada iman tanpa ukhuwah dan persaudaraan iman akan menjadi layu sebelum berkembang tanpa siraman iman dan takwa .

Persaudaraan iman tidak akan lapuk karena guyuran hujan dan tidak akan pernah layu karena sapaan musim panas. Ia tidak dibatasi ruang dan waktu. Ikatannya tiada pernah terputus meskipun kefakiran dan sakit kronis mendera, walau badai datang melanda, walau bercerai jasad dan nyawa. Bahkan ikatannya langgeng hingga ke akhirnya.

Di dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dijelaskan, “Ketika sebagian penghuni surga tidak melihat saudara-saudaranya yang dulu mereka berukhuwah di dunia karena Allah. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rabb mereka, “Ya Tuhan kami saudara-saudara kami yang ketika di dunia shalat, puasa dan haji bersama kami telah Engkau masukan ke dalam neraka.” Allah merespon pengaduan mereka seraya berfirman, “Pergilah kepada saudara-saudaramu itu dan keluarkan mereka dari neraka yang menyala “.

Saudaraku,
Persaudaraan iman mampu mengikis fanatisme jahiliyah yang membelenggu kehidupan umat. Menghapuskan kesenjangan sosial, menyelaraskan perbedaan derajat dan kedudukan, bahkan ikatan bathin semakin bersimpul padu, mampu menorehkan kenangan terindah di sanubari .

Islam telah meletakkan dasar-dasar praktis untuk merekatkan ukhuwah imaniyah yang ada di hati dan memperkokoh ruhnya agar roda kehidupan semakin berseri dan serasi.

Pertama, Ucapkanlah salam di kala bersua dengan saudara kita, menghadirkan wajah ceria dan berseri. Tampakkan seulas senyuman manis menghiasi bibir kita. Lupakan segala duka nestapa yang merenggut hari-hari kita. Jangan kita larutkan saudara kita dalam lautan luka yang menganga.

Ingatlah bahwa salam yang tulus, penuh penghayatan merupakan kunci pembuka hati yang terkunci, sedangkan wajah berseri, senyuman merekah merupakan manifestasi dari makna salam itu sendiri, dan akan menyuburkan rasa cinta yang begitu lekat di dalam kalbu kita.

Jarir al-Bajalli r.a menceritakan pengalamannya seraya berkata, “Nabi s.a.w tidak pernah menjaga jarak denganku setelah aku memeluk Islam dan tidak pernah ku melihatnya kecuali sentiasa memberikan senyuman terindahnya untukku.” (HR. Bukhari)

Kedua, Ungkapkanlah cinta yang bersemi di jiwa kepada saudara kita dengan tulus murni, agar cinta semakin subur, hidupkanlah sunnah Rasul ini yang nyaris mati di telan masa, “Apabila salah seorang di antara kamu mencintai saudaranya maka khabarkanlah bahwa ia mencintainya.” (HR. Abu Daud), katakanlah, “Aku mencintaimu karena Allah “.

Ketiga, Jabatlah tangan saudara kita dengan hangat dan kuat saat bersua, sebagai penerjemahan arti salam secara amali dalam kehidupan, karena ia sebagai penghapus segala khilaf dan salah yang pernah terukir di masa yang silam. Rasul s.a.w bersabda, “Tidak ada dua orang yang bertemu kemudian berjabat tangan melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Daud).

Keempat, Seringlah mengunjungi saudara kita di jalan ini, jangan jauhkan mereka dari hati. Seringlah berkunjung dan bertatap muka serta memandang wajah mereka karena di sanalah kita temukan berkah hidup berjama’ah. Kunjungi saudara kita dengan tulus ikhlas karena Allah, bersihkan hati dari tujuan semu duniawi yang menipu. Bercerminlah kepada Salman al-Farisi di saat mengunjungi saudaranya Abu Darda r.a kemudian ia mendapati Ummu Darda yang mengeluhkan kondisi suaminya yang seolah-olah sudah tiada butuh lagi dengan kenikmatan dunia (isyarat bahwa Abu Darda sudah sekian lama tidak menyentuhnya).

Salman meluruskan kekeliruan saudaranya dengan ungkapan yang begitu arif dan bijak, “Sesungguhnya Tuhanmu, dirimu dan keluargamu mempunyai hak atas dirimu, maka tunaikanlah hak-hak tersebut secara proporsional “.

Kelima, Berikanlah cendera mata buat saudara kita karena ia akan mewariskan cinta dan kasih sayang, mencairkan kebekuan, mengikis kekakuan, menghempaskan kesalah fahaman, membasahi kekeringan hati, membersihkan jiwa dari noda-noda kotoran yang hinggap di jendela hati kita.

Sungguh indah ungkapan Rasulullah s.a.w dalam sabdanya, “Saling bertukar hadiah-lah kalian, karena ia akan mengukuhkan kasih sayang di antara kalian.” (HR. Bukhari).

Keenam, Hadirkan rasa kebersamaan di kala suka dan duka, bahagia dan merana, gembira dan susah, manis dan pahit serta dalam setiap kondisi hati.

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Di saat aku menyaksikan saudaraku sedang mengunyah makanan maka aku pun turut merasakan makanan itu di tenggorokanku.”

Dan dipertajam oleh Sa’id bin Al-Ash dengan ungkapannya, “Aku enggan melihat seekor lalat melintas di depan saudaraku karena aku khawatir akan mengganggunya.”

Saudaraku, berapa banyak manusia yang tersenyum dan tertawa di atas penderitaan dan air mata saudaranya. Sungguh menghiris hati. Tidak berlebihan bila kita katakan bahwa luka-luka hati ini semakin perih untuk di rasa dalam kesendirian, karena kesendirian merupakan kumpulan duka nestapa. Kesendirian dalam keramaian.

Ketujuh, Utuskanlah nasehat buat saudara kita di jalan ini dengan cara yang paling bijak, jangan kita goreskan luka di hatinya karena mereka bukanlah makhluk suci yang terlepas dari kealpaan dan kesalahan.

Sungguh indah ungkapan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Perumpamaan orang mukmin yang satu dengan yang lainnya ibarat dua telapak tangan. Bila salah satu dari kedua tangan terkena kotoran maka tangan yang lain akan membersihkannya.”

Bahkan para salafus shalih pada masa tabi’in menjadikan orang yang memberikan nasehat dan meluruskan yang berliku, dosa dan kesalahan sebagai perhiasan dunia yang sangat berharga dan tak ternilai.

Kedelapan, Buktikanlah cinta dan persaudaraan iman yang ada di hati kita dengan menghadirkan saudara kita dalam do’a-do’a panjang dan tulus kita.

Rasulullah s.a.w bersabda, “Do’a yang di utuskan oleh seseorang muslim kepada saudaranya tanpa diketahui pasti dikabulkan. Di samping kepalanya ada malaikat yang diutus oleh Allah, setiap dia mendo’akan yang baik buat saudaranya maka malaikat akan mengaminkan do’a-do’anya dan berkata, “Dan untukmu seperti yang engkau do’akan.” (HR. Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para salafus shalih terdahulu merasa malu bila berdo’a dan memohon kepada Allah secara langsung dengan lisan mereka sebagai potret ketawadhu’an mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah mendo’akan saudara-saudara mereka dari kaum muslimin dengan harapan – harapan yang mereka inginkan, karena do’a-do’a yang mereka lantunkan buat saudaranya akan kembali manfaatnya kepada mereka.”

Mari kita bercermin dari ketulusan do’a-do’a mereka. Abu Darda r.a secara rutin mendo’akan para sahabat sesudah shalat fardhu satu persatu baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah memiliki tradisi baik, yaitu mendo’akan saudaranya 6 orang setiap hari pada sepertiga malam yang terakhir di saat Allah turun ke langit dunia.

Sedangkan Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Shifat al-Shafwah menuturkan biografi singkat Thayyib bin Ismail atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hamdun. Abu Hamdun adalah salah seorang pembaca al-Qur’an. Ia mempunyai selembar kertas yang di dalamnya tertulis 300 nama saudara-saudaranya dan ia selalu mendo’akan mereka setiap malam. Di suatu malam ia tersebut tertidur karena kelelahan. Kebetulan ia belum membacakan do’a untuk saudara-saudaranya sebagaimana yang lazim Ia lakukan sehari-hari.

Dikisahkan bahwa dalam tidurnya ia bertemu dengan seseorang. Seseorang itu menyerunya “Wahai Abu Hamdun, mengapa engkau belum menyalakan lampu malam ini?.” Ia pun segera terbangun, menyalakan lampu lalu mengambil selembar kertas itu dan mendo’akan mereka satu persatu sampai selesai. Itulah gambaran keikhlasan dan ketulusan ukhuwah imaniyah yang mereka semai dalam kehidupan .

Kesembilan, Maafkanlah kesalahan dan kekhilafan saudara kita. Hapuskan dendam kesumat yang bersemayam di langit-langit hati kita. Lupakan memori kelam bersamanya. Hadirkan masa-masa indah bersamanya agar kehidupan seindah pelangi, secerah mentari dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya dapat kita gapai dalam kehidupan.

Berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Samak al-Wa’idh setelah keduanya berselisih dalam sebuah persoalan, “Akhir dari perselisihan kita adalah saling mencela dan menghujat, ” akan tetapi dengan bahasa yang penuh kesejukan ia menjawab, “Tidak demikian duhai saudaraku, tapi justru kita saling memaafkan dan mendo’akan.”

Saudaraku,
Bagaimana kabar ukhuwah kita hari ini? Sudahkah kita menunaikan hak-hak ukhuwah imaniyah kita?. Wallahu a’lam bishawab.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 915 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *