Oleh: DR. Fahmi Islam Jiwanto
Islam bukanlah sekedar ajaran bagi pribadi-pribadi muslim, tetapi Islam merupakan katalisator yang membuat hubungan antar manusia tersistem dengan baik. Karena itu Rasulullah memerintahkan umatnya untuk membangun kehidupan bermasyarakat yang memiliki aturan antar personal yang jelas.
Dalam surat Ali Imran ayat 103 Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersama-sama bergabung dalam sebuah media yang dinamakan “tali Allah.” Ibnu Mas’ud r.a. berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah “jamaah.” [Tafsir ath- Thabari: 7/74]
Tafsiran Ibnu Mas’ud ini sejalan dengan hadits-hadits shahih yang mutawatir tentang kewajiban umat Islam untuk menjalin kehidupan berjamaah. Di antara hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, an-Nasa’i, Ahmad dan al-Baihaqi bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Hendaklah kalian selalu bersama jamaah. Hindarilah perpecahan. Karena setan itu bersama satu orang. Dia lebih jauh dari dua orang. Siapa yang ingin keluasan surga, hendaknya ia menetapi jamaah.”
Umar bin Khatthab bahkan dengan tegas mengatakan bahwa eksistensi Islam tidak berdiri tanpa adanya suatu jamaah. Beliau berkata,
“Tidak ada keislaman tanpa jamaah. Dan tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan. Dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.” [HR ad-Darimi]
Mengelola Perbedaan dalam Jamaah
Dalam prakteknya, hidup berjamaah selalu berarti hidup dengan keragaman. Keragaman ini dapat berbentuk variatif tapi terkadang juga kontradiktif. Mesti akan terjadi perbedaan pandangan, juga perbedaan kepentingan. Persoalan seperti ini bukan tidak dibahas dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw sendiri yang menginstruksikan hal-hal yang perlu dilakukan jika terjadi perbedaan.
Perbedaan pendapat sering terjadi di masa Rasulullah saw dengan berbagai tingkatannya, mulai dari tingkat horizontal sesama rakyat, sampai vertikal antara pemimpin dan pengikut.
Dalam tingkat horizontal, perbedaan selalu diselesaikan dengan proses syura. Seperti ketika Abu Bakar dan Umar berbeda pendapat tentang perlakuan terhadap tawanan perang Badr. Uniknya meskipun kata akhir di tangan Rasulullah saw yang memilih pendapat Abu Bakar, lalu dikoreksi oleh al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 67, tetapi dalam ayat 69, Allah mentolerir keputusan tersebut.
Sebelum perang Badr, juga terdapat pendapat berbeda yang disampaikan kepada Rasulullah tentang posisi pasukan kaum muslimin. Rasulullah saw sebagai komandan perang mengakomodir pendapat tersebut.
Pernah juga terjadi perselisihan yang mengakibatkan konflik. Tetapi dapat dicegah dengan turunnya wahyu, dan kehadiran Rasulullah saw. Yaitu ketika seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Ishaq- mengadu domba antara Aus dan Khazraj, hingga hampir terjadi pertumpahan darah. Rasulullah saw datang melerai, dan memberikan teguran keras, dengan mengatakan,
“Apakah (kalian mengangkat) syi’ar jahiliyyah, padahal aku ada di tengah-tengah kalian?! Setelah Allah memberi petunjuk kepada kalian, memuliakan kalian, memutuskan kalian dari urusan jahiliyah, menyelamatkan kalian dari kekufuran, dan menyatukan hati kalian, lalu kalian kembali pada kondisi dahulu kalian menjadi kafir?!”
Lalu turunlah ayat:
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu?” [QS Ali Imran: 101]
Ayat dan hadits di atas menyebutkan konflik kekerasan yang terjadi antara sesama muslim sebagai kekufuran, padahal mereka tidak sampai keluar agama Islam. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim Rasulullah saw bersabda, “Mengumpat seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.”
Tentu saja kekufuran yang dimaksud di sini bukan kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari statusnya sebagai muslim. Tetapi maksudnya adalah dosa yang sangat besar. Ibnu Abbas mengistilahkannya sebagai “kufrun duuna kufrin” maksudnya tingkat kekufuran di bawah tingkat kekufuran yang lebih besar.
Poinnya adalah bahwa konflik yang sangat berbahaya tersebut dapat diselesaikan dengan arahan dan teguran dari Nabi saw dan teguran berupa wahyu Allah. Di masyarakat yang taat pada otoritas pemimpin, selalu ada jalan untuk meredakan perselisihan.
Pernah juga terjadi ketidakpuasan kaum Anshar terhadap kebijakan Nabi saw membagikan harta rampasan perang kepada orang-orang yang baru masuk Islam, bukan kepada para as-sabiqunal awwalun dari Muhajirin dan Anshar. Tetapi ketidakpuasan tersebut dapat disembuhkan dengan wejangan dan arahan yang bijaksana dari Nabi saw dan pendekatan dialogis yang sangat menyentuh. Di antara yang dikatakan Rasulullah saw:
“Tidakkah kalian rela, jika orang-orang pergi dengan domba dan sapi, sedang kalian pergi dengan Rasulullah saw?”
Semua konflik yang terjadi selalu menemukan jalan keluar jika hati kaum muslimin bersih dari ketamakan dan egoisme yang akut.
(Bersambung)
(Manhajuna/IAN)
One comment
Pingback: Fiqh Berjamaah (Tamat) – Manhajuna