Assalamu’alaikum Ustadz, Sebelumnya saya ucapkan Taqoballahu minna wa minkum, Salam buat ustadz – ustadz yang lain Ustadz, pertanyaan saya ini sebenarnya masalah khilafiyah, namun saya ingin sekali mendapatkan jawaban yang jelas mengenai penentuan awal bulan hijriyah khususnya Ramadhan dan Syawal.
- Sebenarnya metode apakah yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah? Hisab atau Ru’yat
- Ada sebuah harakah Islam yang berpendapat bahwa ketika Hilal telah terlihat dimuka bumi manapun maka umat Islam diseluruh dunia wajib mengikuti hal tersebut maksudnya berpuasa dan berlebaran sesuai pendapat tersebut. Bagaimana pendapat tersebut? Dalil bagaimana? karena menurut saya dalil mereka cukup kuat!
- Lalu bagaimana dengan Indonesia yang penentuan awal bulannya berdasarkan penglihatan hilal secara Regional? Dalil apa yang dipakai?
- Bagaimana sikap kita sebaiknya?
Jazakallah Khoir atas jawaban ustadz.
Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
1. Seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa penentuan hilal (bulan sabit) Ramadhan dan hilal Syawwal ditentukan dengan rukyatul hilal. Sedangkan metode hisab dilakukan manakala rukyat itu tidak berhasil dilakukan karena adanya awan atau sebab lain sehingga hilal tidak terlihat.
Dalil tentang rukyatul hilal adalah dalil yang shahih dan tidak ada dalil lainnya yang menafikannya. Adapun metode hisab justru berdaraskan dalil yang sama dengan syarat bahwa hilal itu tidak terlihat.
Di sisi lain, para ulama mengatakan bahwa metode hisab itu bisa dijadikan acuan umum untuk menetukan kapankah rukyatul hilal akan dilakukan. Tetapi tidak bisa dijadikan penentu dari bergantinya bulan. Penentuannya tetap harus dengan rukyat juga.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa bila hilal terlihat di satu titik di muka bumi lalu seluruh dunia harus mengikutinya bukanlah milik harakah tertentu. Justru pendapat itu milik umat Islam, dalam hal ini milik salah satu mazhab fiqih dalam Islam. Pendapat ini sejak masa lalu sudah ada dan berdampingan dengan mazhab lainnya yang tetap memastikan bahwa tiap wilayah tertentu di muka bumi punya waktu tersendiri yang mungkin saja berbeda dengan wilayah lainnya.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama. Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi‘, yaitu bahwa mathla‘ (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi‘i ra. Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi‘ atau beragamnya tempat terbitnya bulan.
Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk‘yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16 farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142).
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.