Jika kaum yang zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum arif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah—Raja yang sebenarnya.
Tergantung caramu bersikap, begitu pula cara-Nya menyingkap. Bila engkau sedang menjadi orang yang menyembunyikan diri dari keramaian makhluk, mungkin saja pujian akan membuatmu begitu khawatir. Engkau takut terseret oleh arus makhluk, karena engkau sedang mendiami danau keheningan bersama-Nya. Engkau cemas akan kehilangan ketenangan, sebab tergoda oleh kesenangan. Engkau tidak ingin berpaling dari kedekatan-Nya. Sementara, bila engkau telah tercerahkan dan dianugerahi kearifan maka pujian yang datang kepadamu tetap membuatmu bergembira. Bukan sebab bangga, melainkan sadar bahwa sesungguhnya Dia-lah yang menghantarkan pujian itu kepadamu. Allah-lah yang layak memuji diri-Nya sendiri, dengan cara-Nya dan melalui apa dan siapa saja.
Dengan pengetahuan seperti ini, engkau akan senantiasa terangkat di sisi-Nya.
Saat diberi sesuatu engkau gembira, dan saat ditolak engkau kecewa, maka simpulkanlah bahwa yang demikian itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.
Kenapa masih merajuk, kenapa terus membujuk? Padahal, engkau seharusnya sudah mampu bersikap tulus dan berserah. Engkau bersikap seperti anak-anak, maunya hanya yang enak-enak. Saat hilang yang manis, engkau tidak malu menangis. Mestinya, engkau menyadari bahwa perubahan keadaan adalah cara-Nya mendewasakanmu. Tetapi, karena belum tulus dan masih dipenuhi pengharapan semu, sikapmu meledak-ledak, engkau bagaikan orang yang tersedak. Padahal, pemberian dan penolakan-Nya hanyalah bagian dari perubahan wujud kenikmatan yang harusnya engkau terima sewajarnya. Maknailah semua peristiwa dengan benar, sebab dengan begitu engkau makin mengenal-Nya, engkau senantiasa menemukan cahaya dan keagungan-Nya. Semakin sikapmu dewasa semakin hidupmu leluasa. Jadilah pemilik kearifan.
Jika engkau terjatuh pada dosa, janganlah hal itu membuatmu putus asa untuk bisa beristikamah bersama Tuhanmu. Sebab, bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditetapkan atasmu.
Dihadapan yang Mahakuasa, dosa tidak boleh membuatmu putus asa. Boleh jadi, dosa dan kesalahan yang membuatmu merasa tertampar adalah jalan yang akan membuatmu makin tersadar. Perasaan hina dan rendah dirimu di hadapan-Nya mestilah diiringi dengan penyesalan dan perbaikan. Bukan malah membuatmu menjauh dari-Nya. Merasa tidak pantas hanyalah bisikan lembut nafsumu yang masih ingin terus bebas. Dengan membuatmu jauh dari istiqamah, dia berharap engkau makin lemah. Bukankah kita tidak pernah tahu mana kebaikan dan keburukan kita yang terakhir?
Jadi, cermatlah berpikir, berlarilah kepada-Nya, dan teruslah berzikir! Engkau layak meraih prestasi menjadi hamba-Nya yang kembali di saat-saat terakhir. Jangan banyak buat alasan untuk menutupi kemalasan!
Jika engkau ingin dibukakan pintu rasa harap lihatlah karunia-Nya padamu. Namun, jika engkau ingin dibukakan pintu rasa takut, lihatlah amal yang kau persembahkan untuk-Nya.
Bila engkau ingin bebas terbang, milikilah dua sayap yang seimbang. Hingga engkau akan terus bijaksana dalam memandang. Lihatlah semua karunia-Nya kepadamu, segala kebaikan yang telah dilekatkan kepadamu, maka engkau akan terus mengepakkan sayap pengharapanmu kepada-Nya (al-raja’). Lihatlah semua sikap aniayamu, segala keburukan yang telah engkau haturkan kepada-Nya, maka engkau akan terus mengepakkan sayap ketakutanmu kepada-Nya (khauf). Bila sikapmu demikian, hidupmu akan seimbang. Pengharapanmu menghadirkan suasana lapang dan senang. Kecemasanmu melahirkan suasana sedih dan penderitaan. Dalam sayap yang seimbang, engkau akan bijak menimbang. Dan engkau terbang bebas menuju-Nya dengan pandangan yang sempurna tentang-Nya. Berbahagialah!
Sumber: Al-Hikam, Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah, penerbit: Zaman.
(Manhajuna/IAN)