Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Hukum Bercumbu Saat Berpuasa
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Hukum Bercumbu Saat Berpuasa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Syarah Bulughul Maram, Bab Puasa (9).

Hadits 664

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ  يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ,وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ ( مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ) وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: فِِي رَمَضَانَ 

Dari Aisyah radhiallahu anha,dia berkata, “Rasulullah mencium (isterinya) saat dia sedang berpuasa dan mencumbu (isterinya) saat dia sedang berpuasa. Akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya di antara kalian.” (Muttafaq alaih. Redaksi berasal dari riwayat Muslim). Terdapat tambahan dalam sebuah riwayat: “Di  (bulan) Ramadan.”

Pemahaman dan Kesimpulan Hadits;

–       Masalah jimak di siang hari Ramadan bagi orang yang terkena kewajiban puasa, sudah disepakati hukumnya haram dan membatalkan puasa dan terkena kafarat mughalazah (denda yang berat) dengan ketentuan khusus yang akan dibahas dalam hadits berikut.

–       Akan tetapi, terkait dengan hukum mencium isteri atau mencumbunya selain jimak. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh secara mutlak, ada pula yang mengatakan haram secara mutlak, adapula yang menyatakan mubah (boleh) secara mutlak. Akan tetapi, pendapat yang dikuatkan adalah merinci berdasarkan kondisi pelakunya, yaitu jika orang yang melakukannya memiliki hasrat yang tinggi dan mudah terangsang, maka makruh baginya mencium isterinya saat puasa, seperti pasangan muda atau orang yang baru menikah. Akan tetapi bagi yang tidak mudah terangsang, maka hal tersebut dibolehkan baginya.

Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiallahu anha; وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ (akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya di antara kalian) yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahualaihi wa sallam adalah orang yang paling dapat menjaga hasratnya.

Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan Aisyah radhiallahu anha menunjukkan kekhususan Rasulullah shallallahualaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena hanya beliaulah yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Yang lain berpendapat bahwa perkataan Aisyahmenunjukkan kebolehan bagi siapa saja yang dapat mengendalikan syahwatnya dan larangan bagi siapa saja yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya.

Pendapat kedua ini lebih dikuatkan karena tidak ada petunjuk jelas yang menunjukkan hal tersebut sebagai kekhususan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Disamping,  pada kenyataannya memang ada orang yang dapat mengendalikan syahwatnya dan ada yang tidak. Juga berdasarkan riwayat bahwa Umar bin khattab yang pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa dia mencium isterinya saat berpuasa, maka beliau mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa, seperti orang yang berkumur saat berpuasa. (HR.Ahmad, dishahihkan oleh Al-Arna’uth)

Diluar perdebatan itu, tentu saja menghindari perbuatan ini, mencium dan mencumbu, lebih utama dan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat merusak puasa.

–       Diperdebatkan pula terkait dengan hadits ini, apakah mencium atau mencumbu isteri dapat membatalkan puasa atau tidak. Sebagian berpendapat bahwa mencium isteri saat berpuasa membatalkan secara mutlak, dia harus mengqadha puasa hari itu setelah Ramadan. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa mencium dan mencumbu, selagi tidak keluar mani, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Pendapat terakhir ini yang dikuatkan sebagian ulama. Kurang lebih, landasan pendapat dan argumentasinya merujuk kepada hadits di atas.

–       Terkait dengan masalah keluar mani, para ulama membedakan masalahnya. Jika seseorang mengalami keluar mani karena perbuatan yang disengaja secara sadar seperti mencium, mencumbu, masturbasi, memandang terus menerus, dan sebagaimana, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan puasa. Dia harus mengqadha puasa hari itu. Namun tidak diwajibkan membayar kafarat  sebagaimana halnya orang yang berjimak.

–       Adapun jika akibat perbuatan tersebut keluar mazi, para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan batal puasanya, sebagian lainnya menyatakan tidak. Pendapat terakhir dikuatkan oleh sejumlah ulama termasuk di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Al-Lajnah Da’imah dalam fatwanya (9222) juga menyatakan demikian.

–       Di luar itu, dia harus bertaubat atas tindakannya yang dapat merusak atau mengurangi pahala puasanya . Juga hendaknya bertaubat jika pebuatan yang dilakukan termasuk perkara yang diharamkan sepertimasturbasi.

–       Adapun jika keluar mani tanpa perbuatan yang disengaja dan disadari, seperti mimpi junub di siang hari Ramadan, atau memandang sekilas tanpa diulangi lalu timbul syahwat hinggakeluar mani. Maka keluar mani seperti ini tidak membatalkan puasa. Hanya sajaorang tersebut wajib mandi junub untuk melakukan ibadah shalat dan lainnya.

Wallahua’lam.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.
(Visited 571 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Tentang Qadha, Fidyah dan Kafarat Dalam Puasa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc. Dalam masalah puasa, ada masalah qadha, fidyah dan kafarat. Bagaimana …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *