Manhajuna.com – Isu terbaru dari Kementrian Agama yang belum lama disiarkan di media mengenai akan diselenggarakan perayaan natal bersama, hal ini biasa sebagai mana menjelang bulan Desember atau kadang hal ini sering kali dijumpai ketika tes wawancara kebangsaan baik orang yang mau melanjutkan studi, orang yang daftar pegawai sipil dan banyak lainnya.
Isu ini tidak hanya fokus kepada teknis perayaan yang akan dilaksanakan melainkan melahirkan diskusi lama yang lebih luas; yaitu antara “Natal dan Muslim” selalu kembali muncul. Sebagian menanggapinya dengan tegas, sebagian yang lain mengambil jalan tengah untuk kedekatan sosial, dan juga tidak sedikit sebagian yang lain tidak tahu harus menaggapi apa.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk provokasi melainkan untuk membuka pemahaman perbedaan, mengkaji ulang perkataan ulama, serta bagaimana posisi dan tindakan terbaik kita sebagai seorang muslim di Indonesia yang hidup berdampingan dengan agama lain?
Konteks Keindonesiaan & Kebijakan Toleransi.
Indonesia sebagaimana kita ketahui memiliki penduduk mayoritas Muslim, bukan berarti indonesia adalah negara yang beragama tertentu. Ia memiliki enam agama resmi yang hidup saling berdampingan. Keenam agama resmi ini dibawah naungan konstitusi yang membebaskan setiap orang untuk beragama.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Selaras dengan itu, pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agama serta menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.
Adanya konstitusi ini berarti perhatian pemerintah tidak bisa berlaku hanya satu agama saja, Kemenag juga harus melayani semua umat agama tidak hanya Islam. Termasuk memfasilitasi semua kegiatan, seperti hari besar yang dilaksanakan setiap umat beragama; Natal, Waisak, Nyepi, Imlek dan lainnya. Semua ini dalam konteks kewajiban kenegaraan bukan praktek teologis.
Presiden Indonesia Ke empat yaitu Abdurahman Wahid akrab disapa Gusdur yang meresmikan Agama Konghuchu pada tahun 2000 lalu adalah salah satu bukti konkret dari peran institusi tidak hanya perhatian terhadap satu umat saja. Para presiden sebelum dan sesudahnya juga rutin menghadiri, memberi ucapan pada saat momen momen hari penting itu terjadi.
Pada poin ini menegaskan bahwa ruang lingkup antara pemerintah dan individual muslim dalam bertoleransi dengan umat beragama itu berbeda. Pemerintah memfasilitasi bukan berarti ikut serta dalam peribadatan, tetapi demi menjaga keharmonisan antar umat beragama dan bentuk institusi menghargai masyarakat yang plural.
Lalu bentuk Toleransi seperti apa yang tepat sebagai warga biasa? Yang ranah dan fungsi nya bukan sebagai pelaksana institusi?
Dua Pendekatan Ulama dalam Menyikapi Natal.
Sebagaimana tadi dipaparkan bahwa ruang lingkup sikap institusi dan individual muslim itu berbeda, maka pada bagian ini saya akan mengkaji ulang pandangan ulama mengenai posisi muslim terhadap perayaan natal. Saya perlu membagi dua versi utama agar memudahkan pemahaman yang utuh:
- Kelompok ulama yang mengharamkan keterlibatan atau ucapan selamat natal.
- Kelompok ulama yang membolehkan hal tersebut dalam batasan interaksi sosial.
Perbedaan ini bukanlah hal yang baru, melainkan ini kajian yang sudah lama terus menerus berkembang dalam diskusi khazanah fiqih dan pemikiran Islam. Keduanya juga berangkat dari dalil yang ada serta pertimbangan yang bijak. Dengan mengkaji ulang keduanya secara adil, kita dapat memahami akar perbedaannya dan menentukan sikap yang lebih bijak sesuai kondisi masyarakat Indonesia.
A. Dalil dan Pendapat Ulama yang Mengharamkan Ucapan atau Perayaan Natal.
- Dalil pertama, yang paling sering dijadikan dasar adalah Hadits Nabi ﷺ: Larangan Tasyabbuh (Menyerupai Ritual/Agama Orang Kafir) sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad.
“مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ”
Arinya: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.
Hadis ini dinilai hasan oleh banyak ahli hadits seperti Ibn Hajar dan as-Suyuthi. Dari hadits ini, mereka memahami bahwa segala bentuk keterlibatan dalam ritual atau simbol hari raya agama lain masuk dalam kategori tasyabbuh (menyerupai), sehingga seorang Muslim tidak dibenarkan memberikan ucapan selamat atas hari raya keagamaan non-Muslim yang memiliki unsur akidah di dalamnya.
- Dalil kedua berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an
Al-Ma’idah ayat 73
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍۘ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّآ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۗ وَاِنْ لَّمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Maryam ayat 88-90
وَقَالُوۡا اتَّخَذَ الرَّحۡمٰنُ وَلَدًا ؕ (٨٨) لَـقَدۡ جِئۡتُمۡ شَيۡــًٔـا اِدًّا ۙ (٨٩) تَكَادُ السَّمٰوٰتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِنۡهُ وَتَـنۡشَقُّ الۡاَرۡضُ وَتَخِرُّالۡجِبَالُ هَدًّا
Ayat-ayat ini menolak konsep Trinitas dan penisbatan anak kepada Allah. Natal dipandang sebagai hari raya yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinan “kelahiran Anak Tuhan”, sehingga menurut kelompok ulama ini, mengucapkan selamat berarti memberi pengakuan simbolik terhadap inti akidah tersebut. Meski seorang Muslim tidak bermaksud membenarkan teologi Kristen, mereka menilai bahwa bentuk ucapan pada hari raya agama lain tetap berkaitan dengan pengagungan syiar keagamaan yang tidak sesuai dengan tauhid.
- Dalil ketiga rujukan ulama klasik dan kontemporer.
Pada rujukan ulama klasik saya mengambil contoh ulama masyhur yaitu Ibn Taymiyyah dalam kitab Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, di mana ia menegaskan larangan tegas bagi Muslim untuk menghadiri atau membantu perayaan hari raya non-Muslim. Ibn Taymiyyah memandang hari raya sebagai bentuk identitas agama yang paling jelas, sehingga segala bentuk partisipasi—termasuk ucapan selamat—dapat masuk kategori mengagungkan syiar mereka. Muridnya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, memperkuat pandangan ini dalam kitab Ahkām Ahl adz-Dzimmah, bahkan menyatakan bahwa memberi selamat atas hari raya orang kafir lebih besar kesalahannya dibandingkan memberi selamat atas maksiat pribadi, karena ia menyentuh perkara akidah, bukan sekadar moralitas.
Pandangan Ulama Klasik ini kemudian diikuti oleh banyak ulama dan lembaga Islam masa kini, terutama yang berasal dari kalangan Hanbali-Salafi. Lembaga seperti Lajnah Dā’imah (Komisi Fatwa Arab Saudi) yang beranggotakan ulama seperti Syaikh Bin Bāz, Syaikh Shalih al-Fauzan, dan Syaikh al-‘Utsaimin, mengeluarkan fatwa bahwa mengucapkan selamat Natal itu haram. Hal ini karena dianggap termasuk bentuk tolong-menolong dalam urusan syiar agama lain, dan mereka merujuk pada QS. Al-Mā’idah ayat 2 yang melarang kerja sama dalam berbuat dosa dan permusuhan. Syaikh Bin Bāz menekankan bahwa seorang Muslim tidak boleh ikut membantu atau menghadiri perayaan Natal, sedangkan Syaikh al-‘Utsaimin menyebut bahwa mengucapkan selamat Natal bisa termasuk tanda ridha terhadap kekufuran, meskipun hanya sekadar formalitas.
B. Dalil dan Pendapat Ulama yang Memperbolehkan Ucapan atau Perayaan Natal.
Dalil utama kelompok ini adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8.
لَا يَنۡهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيۡنَ لَمۡ يُقَاتِلُوۡكُمۡ فِى الدِّيۡنِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوۡكُمۡ مِّنۡ دِيَارِكُمۡ اَنۡ تَبَرُّوۡهُمۡ وَ تُقۡسِطُوۡۤا اِلَيۡهِمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُقۡسِطِيۡنَ
Berbeda dengan kelompok yang mengharamkan, sejumlah ulama kontemporer memberikan kelonggaran dalam mengucapkan selamat Natal selama itu dipahami sebagai bagian dari mu‘āmalah (hubungan sosial kemasyarakatan), bukan penerimaan atau pengakuan terhadap akidah Kristen. Ayat ini sering dijadikan pijakan bahwa Islam justru mendorong umatnya untuk berlaku ramah, adil, dan manusiawi kepada non-Muslim selama hubungan itu berada dalam ranah sosial, bukan ritual. Selain itu, mereka menegaskan bahwa tidak ada ayat maupun hadits sahih yang secara Khusus melarang mengucapkan selamat atas hari raya non-Muslim, sehingga persoalan ini masuk wilayah ijtihad yang mempertimbangkan konteks sosial dan kemaslahatan.
Di antara ulama yang memegang pandangan ini adalah tokoh-tokoh besar fikih kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi, Wahbah az-Zuhaili, dan mantan mufti Mesir Ali Gomaa.
- Yusuf al-Qaradawi menegaskan dalam sejumlah fatwa dan kitabnya bahwa ucapan selamat hari raya kepada non-Muslim dibolehkan selama tidak diniatkan untuk membenarkan keyakinan mereka. Ia memandang bahwa ucapan tersebut merupakan bentuk interaksi manusiawi yang diperlukan dalam membangun hubungan harmonis di masyarakat plural, perkataan Yusuf al-Qardawi ini sangat relevan untuk Bangsa Indonesia.
- Wahbah az-Zuhaili, dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menjelaskan bahwa hukum asal mu‘āmalah dengan non-Muslim adalah boleh selama tidak terkait dengan ritual ibadah. Bagi beliau, ucapan selamat Natal termasuk bentuk ta’āruf dan tabarruk sosial, bukan persetujuan teologis.
- Ali Gomaa, salah satu ulama besar Mesir, mengeluarkan fatwa resmi bahwa ucapan selamat Natal dibolehkan sebagai wujud ihsan dan mu’asyarah bil ma’ruf kepada sesama warga negara dalam bingkai kebangsaan.
Titik Temu dan dan Titik Beda
Meski tampak berlawanan, kedua kelompok ulama sebenarnya memiliki sejumlah titik temu yang penting. Keduanya sama-sama sepakat bahwa akidah seorang Muslim harus dijaga dan tidak boleh ada keterlibatan dalam ritual keagamaan selain Islam. Keduanya juga sepakat bahwa hubungan sosial dengan non-Muslim tetap harus dilakukan dengan akhlak yang baik, adil dan tidak melampaui batas. Perbedaan muncul bukan pada tujuan, tetapi pada cara memahami batasan antara akidah dan muamalah.
Ulama yang melarang ucapan Natal menilai bahwa ucapan tersebut termasuk bentuk pengagungan syiar agama lain dan berpotensi menyerupai ritual mereka. Sementara ulama yang membolehkan melihat ucapan itu sebagai ekspresi sosial yang tidak terkait dengan akidah, selama niat dan bentuknya tidak mengandung unsur persetujuan teologis. Dengan demikian, titik bedanya terletak pada penafsiran terhadap makna ucapan Natal: apakah ia termasuk bagian dari ritual atau dari etika sosial. Pemahaman atas perbedaan metodologis ini membantu kita melihat bahwa perbedaan tersebut wajar dan tidak layak menjadi sumber perpecahan di tengah umat.
Lalu, bagaimana kita bersikap?
Di tengah beragamnya pendapat ulama tentang bagaimana seorang Muslim bersikap terhadap perayaan Natal, kita perlu kembali pada kenyataan bahwa kita adalah hamba yang serba terbatas—tidak semua harus kita tanggung, dan tidak semua mesti kita perdebatkan. Tugas kita bukan menghakimi perbedaan, tetapi memastikan bahwa langkah kita tetap berada di jalan yang Allah ridhai. Bila kita mengikuti pendapat ulama yang melarang ucapan Natal, maka jagalah diri dengan penuh ketenangan: tidak perlu merasa lebih benar, tidak perlu menganggap orang lain meremehkan akidah. Sebaliknya, bila kita mengikuti pendapat ulama yang membolehkan ucapan dalam ranah sosial, maka lakukan dengan hati yang jernih dan keyakinan yang kokoh bahwa niat kita bukan untuk membenarkan akidah lain, melainkan menjaga hubungan baik sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan.
Yang jauh lebih penting dari sekadar opsi hukum adalah bagaimana kita menjaga hati dan akhlak. Kita hidup dalam masyarakat yang beragam: tetangga kita, teman kerja kita, bahkan sahabat dekat kita mungkin berbeda keyakinan. Islam mengajarkan untuk berlaku baik, menjaga lisan, menghormati sesama, dan tidak melukai hati siapa pun tanpa harus menggadaikan akidah. Kita pun diajarkan untuk menutupi aib orang lain, bukan membongkarnya; untuk merangkul, bukan meruncingkan perbedaan, untuk menghadirkan kedamaian, bukan menambah kegaduhan. Maka, sikap terbaik kita adalah berjalan dengan hati yang lapang, teguh dalam pendirian, lembut dalam perlakuan.
Pada akhirnya, Allah tidak menilai kita dari seberapa keras kita berdebat, tetapi dari seberapa jernih hati kita ketika memilih sebuah sikap. Selama kita mengikut ulama dengan niat ingin menata diri, menjaga iman, dan memberi kebaikan kepada sekitar, maka insyaAllah langkah itu bernilai ibadah. Kita tidak dituntut menjadi hakim atas perbedaan, tetapi menjadi pribadi yang membawa keteduhan di tengah keragaman bangsa ini.
Manhajuna Ilmu dan Inspirasi Islam