Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.
» إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ, لِلْمُتَمَسِّكِ فِيْهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ. قَالُوْا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ, أَوَمِنْهُمْ؟ قَالَ: بَلْ مِنْكُمْ «
“Sesungguhnya umat sesudah kalian akan mengalami hari-hari (sulit) yang membutuhkan kesabaran. Bagi orang yang konsisten (berpegang teguh pada ajaran Islam) sebagaimana yang kalian perbuat, akan mendapatkan balasan lima puluh kali lipat dari kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah kelipatan pahala itu dari mereka?.” Beliau menjawab, “(Bukan), tetapi dari kalian.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh syekh al-Bani dalam kitab “Silsilah hadits-hadits shahih” no: 494 dan 957).
Saudaraku,
Tsabat, adalah antonim (lawan) dari kata kegoncangan hati dan kebimbangan jiwa.
Secara terminologi tsabat (di jalan iman) berarti; ketetapan dan keteguhan hati menapaki jalan Ilahi guna meraih tujuan, berkorban demi tersebarnya nilai-nilai iman, komitmen terhadap prinsip agama dan istiqamah di atas manhaj Rabbani sampai ia menemui Rabb-nya.
Al-Khazandar mendefinisikan tsabat dengan ucapannya, “Keukeuh menapaki jalan hidayah, komitmen dengan tuntutan jalan ini, kontinue mengukir kebaikan, dan bersungguh-sungguh mendaki puncak ketaatan.
Saudaraku,
Ketika kita mendengar kata ‘tsabat’, maka ingatan kita basah dengan peristiwa penyiksaan yang dialami oleh Bilal bin Rabah. Ketika itu ia menjadi budak dari Umayyah bin Khalaf. Sewaktu Umayyah mendengar bahwa Bilal telah memeluk Islam, maka dia membuat berbagai macam penyiksaan yang tiada tara. Mengalungi leher Bilal dengan tali yang kuat, lalu dia memerintahkan anak-anak kecil untuk mengaraknya berkeliling bukit di Mekkah.
Leher Bilal membilur karena bekas dari jeratan tali itu. Karena memang Umayyah mengikatkan tali tersebut dengan kuatnya. Bukan hanya sebatas itu saja penyiksaan yang dialaminya, pernah di suatu siang yang sangat terik membakar kulit, Umayyah melemparkannya ke padang sahara, kemudian meletakkan batu panas di atas dadanya, kemudian menarik kedua tangannya dengan sekuat tenaganya diiringi dengan pukulan dahsyat tak terperi.
Meskipun demikian berat siksaan yang dialaminya, namun ke-istiqamahan dan ketegaran Bilal tak goyah sedikitpun. Bibirnya di tengah siksaan tetap melantunkan kalimat suci, “Ahad, Ahad.” Sampai akhirnya Abu Bakar membeli Bilal dari tangan Umayyah, lalu memerdekakannya.
Suara jeritan Ammar bin Yasir terdengar begitu jelas saat kita berbicara tentang tsabat. Setelah ‘Ammar dan ayahnya Yasir serta ibunya Sumayyah memeluk Islam, maka Abu Jahal menyiksa mereka dengan siksaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Ketika Rasulullah s.a.w menyaksikan beratnya siksaan yang mereka alami, beliau hanya mampu memberikan untaian kata hiburan yang mengandung khabar gembira :
» صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّة «
“Bersabarlah duhai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”
Kemudian Abu Jahal menancapkan tombaknya pada kehormatan Sumayyah, hingga wanita tegar itu meraih syahadah. Sumayyah r.a adalah awwalu syahidatin fi al-Islam (wanita muslimah pertama yang mati syahid di jalan Islam).
Abu Fulaikah mengalami siksaan yang berbeda, ia bernama asli Aflah, budak dari bani Abdi Ad Dar, ia diikat kedua kakinya dengan ikatan yang kuat, lalu dia diseret di atas padang sahara nan tandus.
Begitu pula Khabab bin al-Arat r.a, budak milik Ummu Ammar binti Siba’ al-Khuza’iyyah. Ia juga mendapat siksaan yang tidak kalah pedih dari sahabat-sahabat lainnya. Di mana ia dicengkeram rambutnya lalu ditarik dengan tarikan yang keras, dan menjeratkan tali di lehernya dan menelentangkannya ke tanah beberapa kali di atas pasir yang panas menyengat. Kemudian mereka meletakkan batu di atas tubuhnya dan menyetrika tubuh lemah itu dengan batu tersebut, hingga ia terkulai lemas dan tak mampu untuk bangkit lagi.
Mush’ab bin ‘Umair r.a diusir oleh ibunya dari rumahnya setelah ibunya mengetahui ke-islaman puteranya.
Lain dengan apa yang dialami Utsman bin Affan setelah ia masuk Islam, pamannya menyelubunginya dengan tikar dari daun kurma, lalu mengisapinya dari bawahnya.
Bukan hanya itu saja perlakuan Quraisy terhadap kaum muslimin. Bahkan mereka ada yang memakaikan pakaian besi, kemudian melemparkannya di bebatuan yang panas membakar kulit.
Daftar orang-orang yang disiksa karena ke-Islaman mereka masih banyak dan panjang serta mengerikan. Siapapun yang diketahui masuk Islam, pasti ia akan mendapatkan siksaan yang sangat mengerikan.
Saudaraku,
Kisah-kisah sahabat di atas hanya sekedar pengingat, bahwa keyakinan yang kita imani dalam hati, terucap dengan lisan dan kita buktikan dengan amal nyata dalam realita kehidupan kita, memerlukan penjagaan dan pemeliharaan semaksimal kemampuan kita. Agar iman kita tak lekang disapa hawa panas, dan tak lapuk diguyur hujan. Tidak terpengaruh dengan pergantian musim.
Ujian hidup, ibarat garam dalam bumbu masakan. Bisa kita bayangkan sayur gudeg Yogya tanpa garam. Ayam goring tanpa garam dan seterusnya.
Ujian hidup yang menyapa kita, jika kita hadapi dengan sabar dan tsabat, maka ia akan membantu kita meraih kedewasaan iman dan mencapai kematangan ruhani.
Namun sebaliknya, jika kita tak sabar dalam menghadapi ujian hidup berupa kemiskinan, kegagalan dalam membangun bisnis, terpuruk dalam usaha, sakit mendera tubuh, kepergian orang-orang dekat, celaan orang-orang yang jauh dari petunjuk, kesempitan hidup yang menghimpit, kedukaan yang mendera jiwa dan yang senada dengan itu. Maka kita tidak lulus dalam menghadapi ujian-Nya.
Demikian pula jika kita tidak tsabat dalam menerima anugerah-Nya berupa tubuh yang selalu prima, kelapangan dalam rezki, karir yang terus meroket, popularitas yang tak pernah meredup, jabatan yang semakin mengkilap, selalu sukses dalam mengembangkan usaha dan yang seirama dengan itu. Namun kita tidak dapat mengembangkan makna syukur, jiwa yang semakin subur dan akal yang penuh tafakkur, maka kita telah merelakan diri terlempar dari kafilah orang-orang yang tsabat.
Saudaraku,
Mazin Furaih dalam kitabnya “al-raid durus fi al-dakwah wat tarbiyah” menyebutkan beberapa kiat agar kita menjadi orang yang tsabat, di jalan iman, di antaranya:
• Keyakinan kita terhadap kebenaran ajaran agama yang kita anut. Kita sadar bahwa jalan iman bukanlah hamparan jalan yang ditaburi bunga mawar dan keindahan. Tetapi dipagari duri dan diselimuti batu-batu terjal. Karena kita yakin di sana, di akherat sana ada bidadari bermata jeli yang sedang menanti kedatangan kita. Ada pahala berlipat ganda. Dan ada surga yang mendamba di sana.
• Memiliki keterikatan hati yang kuat dengan al-Qur’an, karena ia adalah penuntun jalan hidup kita, pelita hidup kita. Obor penerang dalam perjalanan kita. Ruh penggerak amal shalih kita. Obat penawar penyakit hati kita. Pengingat kala kita lupa. Pembangkit saat kita terjatuh dan pembangun saat kita terlelap. Sulit membayangkan seorang mukmin yang berjauhan dengan al-Qur’an; tentu matanya sayu, wajahnya suram, hatinya gelap, pandangannya redup, perkataannya kasar, perilakunya tidak sedap di pandang mata dan panas didengar telinga kita.
• Menengadahkan tangan ke langit (berdo’a kepada Allah s.w.t) memohon ketsabatan hati. Kita menjadi kuat jika berpegang pada tangan Zat yang Maha Kuat. Agar kita mampu menyisiri ujian-Nya.
• Banyak berinteraksi dengan orang-orang yang tsabat. Imam Ahmad justru belajar tsabat dari seorang pencuri, yang tsabat ketika dicambuk puluhan kali setiap hari karena ia telah mengambil barang lain tanpa hak.
• Membuka lembaran hidup para salafus shalih. Ibrahim al-harbi pernah bertutur, “Aku menemani imam Ahmad selama dua puluh tahun, di kala malam dan siang, musim panas dan musim dingin, aku tidak melihat setiap harinya terkecuali aku saksikan ke-tsabatan-nya semakin mengagumkan dan amalannya semakin bertambah.”
• Mengenang nikmat Allah s.w.t, di mana Dia memilih kita sebagai pejuang di jalan-Nya. Adakah satu nikmat yang lebih besar dari nikmat tersebut? Tentu tidak ada saudaraku. Menjadi bagian dari busur-busur kebaikan dan kebenaran adalah nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kita.
Saudaraku,
Mulai hari ini dan seterusnya, mari kita belajar tsabat dalam menjalani ujian hidup, sabar dalam menghadapi mihnah-Nya, tegar dalam menyisiri tribulasi-Nya. Agar kita mendapat balasan lima puluh kali lipat dibandingkan pahala yang Allah berikan kepada para sahabat, generasi terbaik umat ini.
Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)