Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Budaya Merapat
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Budaya Merapat

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc

« ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَاهُ إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ ، وَرَجُلٌ يُبَايِعُ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا وَلَمْ يُعْطَ بِهَا »

“Ada tiga kelompok orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih; laki-laki yang memiliki simpanan air di jalan lalu dia menghalangi pengguna jalan untuk mengambilnya, laki-laki yang berjanji setia (bai’at) terhadap imam dan tidaklah dia membai’atnya kecuali untuk pamrih duniawi, apabila diberi apa yang diinginkannya maka dia memenuhi bai’atnya dan bila tidak diberi maka tidak dipenuhinya, dan laki-laki yang membeli suatu barang dari seseorang sesudah Ashar lalu bersumpah atas nama Allah, bahwa dia telah membayar harganya sekian dan sekian, dan dia pun membenarkannya. Maka dia mengambil barang itu padahal tidak memberikan bayarannya.” (HR. Bukhari, NO. 2358).

Saudaraku,
Suatu ketika khalifah bani Umayyah yang bernama Sulaiman bin Abdul Malik mengadakan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat ia thawaf, tanpa sengaja matanya melihat bayangan sosok ulama kharismatik; Salim bin Abdullah bin Umar yang sedang bersimpuh khusyu’ di depan Ka’bah. Ia larut dalam zikir dan tenggelam dalam lautan munajat kepada-Nya. Air mata menggenangi pipinya.

Tentu, Salim bukanlah orang asing bagi sang khalifah. Ia adalah cucu al-Faruq; Umar bin Khattab r.a. Dari sekian banyak cucu Umar, Salim-lah yang perwajahannya, tampilan fisik dan kepribadiannya sangat mirip dengan khulifaur Rasyidin yang kedua itu. Artinya secara zahir dan bathin, ia menyerupai pemimpin yang zuhud itu.

Setelah thawaf dan melaksanakan shalat dua raka’at, sang khalifah mendekat dan menghampiri Salim. Orang-orang yang melihatnya, segera memberinya tempat. Ia menunggu dengan sabar hingga cucu Umar itu menuntaskan zikir dan do’anya.

Setelah memberi salam, khalifah berkata, “Utarakanlah kepadaku apa yang menjadi keperluanmu, niscaya akan aku penuhi.”

“Demi Allah, hati ini teramat malu untuk meminta sesuatu di rumah Allah, terlebih sesuatu itu aku memintanya kepada selain-Nya.” Jawab Salim singkat.

Mendengar jawaban Salim, raut wajah khalifah menjadi merah anggur karena menahan malu.

Setelah bermunajat kepada Allah s.w.t, Salim keluar meninggalkan masjidil haram. Banyak orang yang mengejar dan mengerumuninya dengan beragam keperluan, termasuk sang khalifah. Ada yang bertanya perihal balasan dan siksa di akherat. Ada yang bertanya tentang hadits dan makna ayat. Ada yang meminta fatwa tentang persoalan agama. Ada yang minta disambungkan do’a. Adapun khalifah, ingin memberi sesuatu dari kenikmatan dunia, yang barangkali diinginkan oleh Salim.

Khalifah berkata, “(Duhai Salim), sekarang kita telah berada di luar masjid, katakanlah hajatmu yang ingin aku penuhi untukmu?.”

“Keperluan dunia atau keinginan akherat?.” Komentar Salim.

Khalifah menjawab, “Sudah barang tentu dari hajat dunia.”

Dengan penuh izzah Salim berkata, “Aku tidak pernah meminta kebutuhan dunia dari Pemiliknya (Allah s.w.t), bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya (manusia?.”

Sang khalifah tak mampu menyembunyikan rasa malunya, sambil berlalu ia berkata, “Alangkah mulianya hati kalian wahai keturunan al-Khattab.”
(Terinspirasi dari buku “Tharaif wa mawaqif min at-tarikh al-Islami,” karya; Hasan Zakaria Falaifil).

Saudaraku,
Itulah kisah tentang kemuliaan yang mengagumkan. Harga diri yang dikehendaki Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Izzah sejati yang semestinya menjadi dambaan kita semua selaku ummat Muhammad s.a.w.

Kemuliaan yang lahir dari memegang prinsip hidup yang kokoh dan kuat. Menjaga norma-norma agama. Tidak mengadu dan meminta kepada selain-Nya. Tidak memiliki ketergantungan kepada makhluk-Nya.

Sebuah kemuliaan yang tak mungkin diraih oleh orang-orang yang tamak terhadap dunia. Mengejar kebahagiaan sesaat. Silau dengan kenikmatan semu. Tergiur dengan iming-iming kekuasaan. Bangga memakai mahkota jabatan. Bangga dengan jas kebesaran. Terpedaya dengan penghormatan dan cium tangan para pengagum. Terpesona duduk manis di kendaraan mewah. Di dampingi para artis dan selebritis ternama. Kagum dengan jumlah pengikut yang sarat basa basi. Dan seterusnya.

Saudaraku,
Dari kisah di atas, kita dapat menggali beberapa mutiara berharga bagi kehidupan kita.

• Penguasa dambaan umat, adalah penguasa yang dekat, menghormati dan menghargai para ulama. Bukan menjauhinya apatah lagi menyingkirkannya. Sejarah mencatat, bahwa kegemilangan umat ini terwujud karena para penguasa menjadikan para ulama sebagai penasihat dan mitra dialog dalam menjalankan roda kekuasaannya. Sebaliknya penguasa yang menjauhi, memusuhi, memfitnah dan bahkan menyingkirkan para ulama, maka ia akan dilaknati Allah, para malaikat dan bahkan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.

• Tawaran sang khalifah; Sulaiman bin Abdul Malik kepada Salim bin Abdullah bin Umar untuk memberinya sebagian dari kenikmatan dunia, bukan bertujuan untuk menyuap atau sebagai alat pelicin. Agar kekuasaannya tak diusik atau dikritisi oleh para ulama. Tapi pemberian tulus dan merupakan bukti bahwa ia sangat menghormati dan menghargai para ulama. Berbeda dengan kondisi para penguasa dan pejabat di masa kini, mereka mendekati tokoh agama, ulama, kyai dan seterusnya, hanya sesaat sebelum Pilkada digulirkan. Tujuannya mudah ditebah; meraih simpati publik dan membidik suara para pengikutnya.

• Salim, menolak tawaran khalifah bukan lantaran ia tak menghormati penguasa, merendahkannya apalagi membencinya. Tapi ia ingin memberikan pelajaran kepada orang-orang di sekelilingnya dan juga kepada kita generasi setelahnya tentang hakikat zuhud dan waspada terhadap tipu daya dunia. Agar kita tak meminta kepada selain-Nya. Agar dunia tidak menjadi obsesi pertama dalam hidup kita. Agar kita tak dipandang rendah di hadapan manusia. Tapi hanya tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Salim bisa saja meminta jabatan strategis, harta benda dunia, kemewahan hidup dan yang seirama dengan itu. Tapi tidak ia lakukan. Karena ia tidak ingin bergantung kepada selain-Nya. Memiliki ketergantungan kepada selain-Nya. Dan menjadi hamba dunia yang fana.

• Parameter kemuliaan seseorang tidak terletak pada jabatan yang disandang. Atau kendaraan mewah model terbaru yang menghiasi garasi rumah. Atau meraih sederet prestasi puncak, memenangi gobel awards atau meraih bintang ternama. Bukan pula diukur dengan banyaknya pengikut dan fans. Atau menggapai popularitas yang dikejar, kedudukan tinggi dan yang senada dengan itu. Hal itu bisa saja menjadikan kita mulia di mata manusia, tapi tidak di mata Allah s.w.t Karena manusia sering terjebak menilai sesuatu dari tampilan luar, sementara Allah hanya melihat hati dan amal shalih kita. Semakin kita mendekat dan menjaga hukum-hukum-Nya dalam kehidupan kita, maka kemuliaan sejati akan berlabuh dalam pelukan kita. “Padahal kemuliaan itu hanya bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. Al-Munafiqun: 8).

• Jika ada penguasa yang menawarkan sebagian kecil dari kenikmatan dunia kepada kita, tentu tanpa menunggu hitungan detik, kita langsung menyebutkan apa saja yang kita inginkan dalam hidup ini. Karena hati kita masih silau dengan dunia. Karena jiwa kita belum mampu menghadirkan warna kenikmatan surga. Karena para bidadari bermata jeli di surga Firdaus, baru mampu kita senandungkan dalam senandung nasyid-nasyid Islami kita, dan belum mampu kita hadirkan bayangannya di pelupuk mata kita.

• Melandasi sebuah perjuangan dengan iming-iming dan pamrih dunia adalah fatamorgana. Seperti kita mau membantu dan mensukseskan calon tertentu dalam sebuah Pilkada, tapi kita membidik Sekda, Kepala Dinas dan senada dengan itu, minta mahar politik, imbalan jasa keringat dan seterusnya.

Sanggupkah kita menjadi Salim Salim di masa kini? Atau menjadi orang yang lemah dan keropos secara mental dan iman. Dan Sudahkah kita menjadi orang mulia di hadapan Allah SWT? Wallahu a’lam bishawab.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 461 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *