Oleh: Ust. Abu Ja’far, Lc.” Dan Tuhanmu telah berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” (QS; Ghafir: 60).
Saudaraku,
Rasulullah saw pernah bersabda bahwa do’a merupakan otaknya ibadah. Dalam redaksi lain beliau menegaskan bahwa do’a adalah ibadah. Artinya seluruh rangkaian ibadah yang kita ukir dalam hidup ini, bersumber dan bermuara dari do’a. Oleh karena itu kedekatan kita dengan Sang Maha Pencipta terukur dari seberapa besar kwantitas dan kwalitas do’a kita terhadap-Nya. Kuat atau rapuhnya iman kita kepada yang Maha Kuat, terpantul dari sandaran dan intensitas do’a kita terhadap-Nya.
Mengapa dalam hidup kita harus berdo’a?
Pertama, karena Allah swt memerintahkan kita untuk memperbanyak memohon dan meminta kepada-Nya. Bahkan, kalau kita perhatikan, betapa banyak Rasulullah saw mengajari kita do’a-do’a yang kita ucapkan dalam keseharian kita. Dalam keadaan khusus dan berbagai kesempatan secara umum.
Kedua, agar kita terhindar dari murka Allah swt. Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa enggan meminta kepada Allah, maka Dia murka kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Ini berarti semakin banyak kita meminta kepada Allah, Dia akan semakin mencintai kita. Tentu ini berbeda dengan manusia yang jika sering dimintai justru akan menghindar, jengkel atau marah.
Ketiga, untuk meneladani kehidupan Rasulullah saw yang sangat banyak berdo’a dan memohon kepada Allah padahal beliau adalah ma’shum, dijamin terjaga dari segala bentuk dosa dan warna keburukan.
Keempat, karena do’a adalah merupakan kebutuhan kita. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena manusia adalah makhluq yang lemah. Dalam hal ini, Allah berfirman, ”Manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa’: 28). Kedua, karena kejahatan sangatlah banyak bentuk dan jumlahnya, dan setiap saat bisa mengenai diri kita. Ia bisa datang dari manusia di sekeliling kita. Bisa pula dari binatang berbisa dan buas. Dari Iblis durjana. Jin yang memagari kita dengan pesona dan tipu daya. Atau dari bisikan nafsu dan syahwat kita. Dan yang senada dengan itu.
Kelima, agar kita tidak Allah kelompokkan ke dalam golongan orang-orang yang sombong. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari ibadah kepada-Ku, niscaya mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 28).
Ahli tafsir menafsirkan “ibadah” dalam ayat ini dengan do’a. Cukuplah orang yang enggan berdo’a kepada Allah, diberi label “sombong”. Karena ia merasa dirinya serba cukup, kuat dan kuasa. Ia tak memerlukan bantuan, pertolongan dan taufiq Allah swt.
Saudaraku
Do’a terbagi menjadi dua macam. Pertama, do’a ibadah. Dan kedua, do’a masalah.
Do’a ibadah maksudnya adalah do’a yang mengandung kata pujian, sanjungan dan syukur terhadap Zat yang Maha Sempurna. Yang biasa diungkapkan dengan dzikir.
Hal ini seperti sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik do’a adalah do’a hari ‘Arafah, serta sebaikbaik (ucapan) yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah, ‘laa ilaaha illahu wahdahu laa syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ala kulli syai’in qadir’ (Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, serta Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi).
Secara makna, dalam do’a ini tiada kata permohonan dan permintaan di dalamnya. Tapi hanya sekadar kata pujian dan sanjungan terhadap-Nya. Namun jika banyak memuji-Nya dan menghadirkan wajah-Nya dalam hidup, maka Dia akan mencintai, mengasihi dan menyayangi kita. Dan jika Dia sudah menyayangi dan mengasihi kita, maka Dia akan mengaruniakan pemberian terbaik yang diberikan kepada orang yang meminta. Walaupun tanpa kita memintanya.
Sedangkan do’a masalah, adalah do’a yang berisi permintaan dan permohonan. Baik berupa permohonan ampun dari segala dosa dan maksiat. Meminta keluasan rezki, karunia anak dan keturunan. Keberkahan usia. Kebahagiaan hidup. Panjang umur. Kelapangan hati. Keharmonisan dan kerukunan dalam keluarga. Dan bahkan memohon kebahagiaan hidup di sana. Di akherat sana.
Saudaraku
Kedua macam do’a ini, hendaknya selalu membasahi bibir dan menghiasi lisan kita. Karena semakin banyak kita meminta dan memohon kepada-Nya, itu pertanda bahwa kita bersungguh-sungguh dan optimal dalam berdo’a.
Namun saudaraku, ada pertanyaan yang selalu menggelayut di benak kita. Dan terkadang sulit kita temukan jawabannya. Kenapa kita sering berdo’a tapi belum juga Allah kabulkan permohonan kita. Seolah-olah ada sumbatan di sana. Seperti ada tembok yang menghalangi do’a kita. Semacam ada kabut yang mengelapkan jalan-jalan keterkabulan do’a kita. Padahal Dia telah berjanji akan mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya.
Sebenarnya bukan hanya kita yang merasakan hal ini. Namun generasi sebelum kita. Generasi terbaik setelah sahabat juga pernah merasakannya. Al Qurthubi dalam kitab “Al jami’ liahkamil qur’an” menceritakan, bahwa pernah ada seorang lelaki mengadu kepada syekh Ibrahim bin Adham seraya bertutur, “Mengapa kami sering berdo’a namun do’a-do’a kami tak kunjung terkabul.”
Syekh yang zuhud itu menjawab,
• “Karena kalian telah mengenal bahwa Allah SWT sebagai Tuhan kalian, tapi kalian tidak mentaati aturan-Nya.
• Kalian telah memahami bahwa rasul adalah (panutan hidup), tapi kalian enggan mengikuti jalan hidupnya.
• Kalian tahu bahwa al Qur’an adalah pedoman hidup, tapi kalian tidak mengamalkan petunjuknya.
• Kalian telah mengecap berbagai nikmat pemberian Allah SWT, tapi kalian jauh dari nilai kesyukuran.
• Kalian merindukan surga, tapi kalian tak mau mengejarnya.
• Kalian takut kepada neraka, tapi kalian tiada lari darinya.
• Kalian tahu bahwa setan itu adalah musuh, tapi kalian tidak mau memeranginya dan bahkan kalian mengikuti ajakannya.
• Kalian yakin bahwa kematian itu pasti (kedatangannya), tapi kalian tidak menyiapkan diri untuk menyambutnya.
• Kalian telah banyak memakamkan jenazah, tapi kalian tidak mau mengambil pelajaran darinya.
• Dan kalian mengabaikan aib diri sendiri, namun kalian sibuk mengumpulkan aib orang lain.”
Saudaraku
Syekh yang zuhud ini mengaitkan ketajaman do’a kita dengan keharmonisan hubungan kita dengan yang di Aas dan yang di bawah. Keterpaduan kita dengan jejak Nabi saw. Hati yang senantiasa bermandikan cahaya al Qur’an. Lisan yang selalu basah dengan senandung syukur. Menghadirkan surga dan neraka di depan mata. Sadar dengan musuh sejati dan abadi kita. Mempersiapkan bekal untuk kepergian dan perjalanan panjang menuju keabadian. Dan sibuk mengadakan perbaikan diri.
Saudaraku
Nasihat syekh Ibrahim bin Adham, merupakan jawaban untuk pertanyaan kita semua. Wajar jika suara dan rintihan kita belum didengar oleh-Nya. Sebab kita tak memperhatikan rambu-rambu dan papan petunjuk menuju keterkabulan do’a.
Ya Rabbana, bantilah kami untuk selalu mentaati aturan hidup yang telah Engkau tetapkan. Mengikuti petunjuk rasul-Mu yang terkadang samar dan kabur dalam pandangan mata kami. Bimbinglah kami untuk mendaki puncak ubudiyah dengan sentuhan ruh kalam-Mu. Dan sadarkanlah kami agar tak silau dengan dunia dan tipu daya musuh abadi kami. Dan menyadari kekhilafan dan kelemahan diri kami. Amien.
Metro, 6 Februari 2013
Abu Ja’far.