Oleh: DR Fahmi Islam Jiwanto, MA
Mendengar kata “ilmu” terbayang dalam kesadaran kita semua hal yang baik dan positif. Ilmu berarti pengetahuan, kebijaksanaan, cahaya, kejelasan, kemajuan dan kemuliaan. Pada hakekatnya ilmu adalah karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia, kemuliaan tertinggi yang dihasilkan manusia dalam kehidupannya.
Tetapi berbicara tentang dunia ilmu, tidaklah lengkap jika hanya membicarakan sisi cemerlangnya saja. Sahabat Nabi SAW, Hudzaifah bin Yaman begitu besar memberikan perhatian pada “sisi lain” dari ilmu agama, beliau bertanya kepada Nabi tentang kejahatan agar terhindar darinya. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Hudzaifah SAW berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi aku bertanya tentang keburukan karena takut menimpaku”
Seorang pujangga berkata:
عرفتُ الشـر لا للشر ولكن لتوقِّـيـــه
ومن لم يعرف الشر من الناس يقع فيه
Aku mengetahui kejahatan bukan untuk jahat tetapi untuk menghindarinya
Siapa pun orang yang tidak mengetahui kejahatan dia akan mengenainya
Karena itu penting untuk mengetahui bahwa dalam dunia ilmu ada hal-hal buruk yang harus dihindari. Karena ilmu menjadi bencana, keculasan, kecurangan dan kebusukan, ketika tidak diikuti dengan perilaku-perilaku yang seharusnya. Semua keindahan dan keagungan dunia ilmu menjadi terbalik ketika ketidakwajaran dan ketidaknormalan mencampuri dan merusaknya.
Tidak Mengamalkan Ilmu
Problem pertama yang paling membuat keruh dunia ilmu adalah inkonsistensi seorang pengemban ilmu. Ilmu hanya punya arti bagi seseorang ketika dia menerjemahkannya dalam perilaku di dunia nyata. Allah SWT sangat mengecam orang-orang hanya “mengkoleksi” ilmu tetapi tidak mengamalkannya. Dalam surat al-Jum’ah ayat 5 Allah mengibaratkan orang-orang yang diberikan amanah ilmu tetapi tidak menunaikannya seperti seekor keledai yang memikul kitab-kitab.
Ilmu hanyalah menjadi beban yang hanya memberatkan dan merepotkan seseorang jika tidak diamalkan sebagaimana semestinya. Khususnya mereka yang mempelajari agama, keburukan dan cela yang diakibatkan dari pelanggaran bukan hanya mengenai orang yang berbuat, tetapi juga dapat merusak image terhadap agama itu sendiri. Meskipun agama tetap suci dan agung walaupun para penganutnya tidak mengamalkannya, tetapi image dan citra tidak dibangun dari wacana kosong. Keagungan agama hanya dapat tampak sempurna dengan contoh-contoh praktis dan pengamalan yang real.
Begitu besarnya nilai kesalahan orang berilmu, sehingga mereka berhak disiksa lebih dahulu dari pada para penyembah berhala.
وعالم بعلمه لا يعملن # معذب من قبل عُبّاد الوثن
Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya
Akan disiksa sebelum penyembah berhala
Tidak ada orang yang bisa mencapai kesempurnaan dalam mengamalkan seluruh kebajikan. Manusia mana pun, kecuali para Nabi dan Rasul, mesti berbuat kesalahan. Akan tetapi itu semua bukan alasan bagi pengemban ilmu untuk menjustifikasi kesalahan-kesalahannya. Kewajiban orang berilmu yang pertama adalah menyampaikan ilmu secara benar, dan tidak memalsukan kebenaran. Jangan karena belum mampu melaksanakan sebuah kebenaran, lalu memutar balik kebenaran dan menjustifikasi kesalahan. Kewajiban selanjutnya adalah memberi contoh yang baik dalam melaksanakan kebaikan yang diajarkan agama semaksimal kemampuannya.
Menyalahgunakan Ilmu
Yang lebih berbahaya dari tidak mengamalkan ilmu adalah menggunakan ilmu untuk tujuan yang tidak terpuji, membuat kerusakan, permusuhan atau kebusukan lainnya dengan ilmu yang pada hakekatnya diperuntukkan bagi tujuan-tujuan mulia dan positif.
Al-Qur’an mengibaratkan orang yang diberi pengetahuan tentang ayat-ayat Allah kemudian menyelewengkannya seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Dia selalu mengejar dunia dengan cara yang hina dina, dan tidak pernah puas. Dalam surat al-A’raf ayat 175-176 Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ . وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ .
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah seorang yang Kami beri ayat-ayat Kami. Lalu dia melepaskan diri darinya. Dan setan pun mengikutkannya. Lalu akhirnya dia menjadi dari pelaku kejahatan . Jika Kami berkenan, Kami angkat derajatnya dengan ayat-ayat tersebut. Tetapi dia menyungkurkan dirinya ke bumi. Maka perumpamaan dia seperti anjing yang jika engkau beri dia menjulurkan lidahnya, jika pun tak engkau beri dia tetap menjulurkan lidahnya. Itulah perumpamaan orang-orang yang membantah ayat-ayat Kami. Ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir”. (QS al-A’raf: 175-176)
Para ahli tafsir memiliki banyak pendapat tentang orang yang dimaksud dalam ayat tersebut. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa orang itu adalah Bal’am bin Ba’ura seorang ‘alim dari Bani Israil yang mengkhianati kaumnya. Abdullah bin Amr bin Ash berpendapat bahwa orang itu adalah Umayyah bin Abis Shalt seorang pujangga Arab yang mengetahui kenabian Nabi Muhammad SAW tetapi tidak mau beriman. Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam secara pura-pura dan munafiq.
Semua pendapat di atas menyepakati bahwa ayat tersebut bercerita tentang orang yang memiliki ilmu tetapi justru menggunakan ilmunya untuk melawan kebenaran dan membela kebatilan.
Memutarbalikkan Fakta
Lebih jauh dari itu, sering terjadi seorang berilmu menggunakan ilmunya bukan untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, tetapi bahkan dia menjadikan ilmu yang dia miliki sebagai sarana untuk menipu dan memutar balik fakta.
Allah menyingkap perilaku seperti ini banyak terjadi di kalangan Ahli Kitab baik Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman:
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan sungguh dari mereka (Ahlul Kitab) ada kelompok yang menekuk lidah mereka agar kalian mengira (perkataan mereka) itu dari al-Kitab, padahal bukan dari al-Kitab. Dan mereka mengatakan bahwa itu dari sisi Allah padahal bukan dari sisi Allah. Dan mereka mengatakan kedustaan atas nama Allah sedang mereka mengetahuinya. (QS Ali Imran: 78)
Banyak kegalauan, kesimpangsiuran informasi, pertentangan kepentingan dan permusuhan di dunia ini. Semuanya menjadi rumit karena banyak orang yang tidak amanah menyampaikan ilmu. Seandainya semua orang berilmu tidak memutar balik fakta, tidak akan terjadi perseteruan yang berkepanjangan dan berakar dalam.
Mengejar Popularitas
Di antara sisi-sisi hitam dunia ilmu yang sangat berbahaya adalah ambisi seseorang terhadap popularitas, jabatan ataupun kedudukan sosial. Betapa banyak orang yang berlomba-lomba memperlihatkan keilmuannya bukan demi menyampaikan kewajiban suci dari Allah, tetapi hanya ingin mendapatkan penghormatan, atau memperbanyak pengikut, atau memperoleh keuntungan dunia yang serba sempit dan sementara.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dengan sanad hasan bahwa beliau berkata:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ.
“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, atau untuk berbangga diri dengan para ulama, atau untuk mencari perhatian (popularitas) dari manusia maka dia adalah penghuni neraka.”
Membuat Perpecahan
Ketika dunia ilmu dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan yang sempit maka munculnya perpecahan dan perseteruan tidak dapat dihindari. Jika ini terjadi maka kondisi ironislah yang selalu terulang, yaitu perpecahan yang diakibatkan bukan karena ketidaktahuan, tetapi justru ilmu dan pengetahuan menjadi sebab dan sarana permusuhan dan pertikaian.
Al-Qur’an banyak mengungkap terjadinya kondisi ironis ini, seperti dalam surat al-Bayyinah, Allah berfirman:
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ . وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan orang-orang yang diberikan al-Kitab tidak berpecah belah kecuali setelah datang keterangan kepada mereka. Padahal mereka tidak diperintahkan selain untuk menyembah Allah dengan ikhlas, menegakkan sholat dan menunaikan zakat.” (QS al-Bayyinah: 4-5)
Agama yang semula jelas dan gamblang menjadi rumit dan penuh persoalan ketika para pengemban ilmu agama mencampurinya dengan masalah-masalah khilafiyah yang tidak terkait langsung dengan dasar-dasar agama. Sering kali masalah far’iyyah yang bukan prioritas manjadi perdebatan yang justru merusak semangat dan prinsip-prinsip agama itu sendiri. Yang memperumit masalah adalah egoisme ilmiah bukan hakekat keilmuan itu sendiri. Jika mereka cukup berpegang pada dasar-dasar agama yang gamblang tidak akan terjadi perpecahan semacam itu. Bukan berarti perbedaan pendapat selalu berakibat dan berdampak buruk, tetapi jika perbedaan tersebut mengarah pada permusuhan di situlah permasalahannya.
Pentingya Tazkiyah dalam Menuntut Ilmu
Karena itu menuntut ilmu dan mengemban ilmu bukan cuma masalah tranformasi ilmu dan penguasaannya, tetapi juga terkait dengan ketulusan dan kebersihan hati. Begitu berbahayanya ilmu yang tidak dipikul oleh orang-orang yang berhati tulus dan berniat bersih, sehingga Allah menugaskan Nabi Muhammad SAW tidak hanya untuk mengajarkan dan menyebarkan ilmu, tetapi juga membersihkan hati, sehingga ilmu dipikul dan diemban oleh orang-orang yang bertakwa dan berhati bersih.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dialah (Allah) yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah; mengucikan mereka; dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-Jum’ah: 2)
Dari sini kita dapat mengetahui betapa pentingnya membersihkan hati dan menyucikan jiwa dari penyakit-penyakit yang merusak dan mengotori dunia ilmu. Keikhlasan dan ketakwaan adalah syarat mutlak untuk mengemban ilmu-ilmu Islam yang suci. Hadanallahu ajma’in
sumber:
https://fahmiislam.wordpress.com/2012/06/26/sisi-hitam-dunia-ilmu/