Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kajian / Sisi Pendidikan Adab di Dalam Konsep Ekonomi Islam
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Sisi Pendidikan Adab di Dalam Konsep Ekonomi Islam

Oleh: Ustadz Ahmad Musyaddad Lc. MEI

Manhajuna.com – Pendidikan adalah suatu proses membentuk dan membangun kepribadian seseorang atau sekelompok orang secara bertahap hingga sampai pada batas sempurna. Sementara adab memiliki makna kehalusan budi pekerti, akhlak dan sikap. Adab tidak hanya terbatas pada perangai yang ditampakkan oleh seseorang di hadapan orang lain. Apa yang tampak dari kesopanan, santun, tutur kata dan tingkah laku yang mulia itu hanyalah bagian dari adab. Islam memaknai kata adab lebih luas dari apa yeng telah disebutkan, sebab kata adab sendiri merupakan kata kunci di dalam keberislaman kita. Adab di dalam Islam meliputi orientasi hati yang merupakan gerak batin dan perangai mulia yang merupakan tampakan lahir. Dengan demikian, adab haruslah dipahami secara komprehensif sebagai usaha mencapai ridha Allah SWT dan memberikan manfaat bagi manusia yang lain.  

Pada dasarnya, segala tuntunan yang ada di dalam syari’at Islam memiliki peranan yang utama di dalam membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Ibadah yang bersifat mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, selain merupakan hubungan yang berdimensi vertikal antara seorang hamba dengan Allah sebagai penunaian suatu kewajiban, juga menjadi instrumen yang bersifat vital dalam rangka mengokohkan jati diri dan karakter hamba tersebut. Sejatinya, ibadah-ibadah tersebut dapat membangun kedisiplinan, mengasah kepekaan sosial, mengukuhkan peranan amal jama’i (kerja kolektif) dan melahirkan pribadi-pribadi dengan karakter dan kepribadian yang mulia.

Demikian juga jika kita berbicara dalam konteks ekonomi Islam. Syari’at Islam meletakkan seperangkat tuntunan didalam bertransaksi, berproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikan harta. Bahkan sebelum itu semua, Islam membangun paradigma yang unik tentang harta itu di benak setiap orang yang beriman, bahwa harta adalah titipan Allah SWT. Allah berfirman, “Dan berikanlah mereka dari harta yang dikaruniakan Allah kepada kalian” [QS. an-Nur: 33]. Paradigma ini sama sekali tidak pernah terbangun di dalam sistem-sistem ekonomi yang pernah dianut oleh manusia, baik sosialis maupun kapitalis.

Dengan sepenuh kesadaran bahwa harta adalah titipan Allah, maka seorang muslim akan terdorong untuk berusaha memelihara harta tersebut dengan cara yang benar, sesuai dengan tuntunan Allah yang telah menitipkan harta tersebut. Inilah yang kemudian mengarahkan hati-hati mereka untuk memperhatikan kewajiban berzakat, memberikan sedekah dan infak terbaik dari harta tersebut. Hal ini juga yang menjadikan mereka senantiasa menafkahkan harta itu di jalan yang baik, tidak boros, tidak tabdzir (membelanjakannya untuk sesuatu yang haram) dan tidak membelanjakannya untuk sesuatu yang sia-sia atau bahkan merusak kepribadiannya sebagai seorang muslim.

Allah SWT juga menegaskan paradigma lain tentang harta, bahwa ia adalah qiyam (penyangga) dan yang meneguhkan kehidupan dan agama. Harta itu adalah pokok kehidupan bermasyarakat dan pilar yang menyangga keberlangsungan suatu umat. Oleh sebab itu, Allah melarang hambaNya untuk memberikan penguasaan harta kepada seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kapasitas dan kredibelitas di dalam hal mengelola finansial. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berikan kepada para sufaha’ (orang-orang yang lemah) harta kalian yang menjadi pokok kehidupan kalian”. Ayat ini berbicara dalam konteks harta anak yatim dan mahar bagi seorang mempelai wanita. Coba kita perhatikan dengan cermat, jika dalam konteks yang sangat privat saja Allah melarang hambaNya menguasakan harta tersebut kepada anak yatim maupun wanita yang lemah dalam urusan harta, bagaimana dengan menguasakan harta tersebut untuk dikelola oleh suatu institusi yang berpotensi memusuhi kebenaran, menindas umat Islam dan melumpuhkan sendi-sendi ekonomi syari’ah?

Syari’at yang mulia ini juga mengatur cara yang tepat untuk memperoleh harta. Di dalam perspektif Islam, harta yang diperoleh dari jalan yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, sekalipun nominalnya besar hanya akan mendatangkan kegelisahan dan petaka bagi pemiliknya. Sebaliknya, harta yang dihasilkan dengan cara yang amanah dan profesional, akan menjadi harta yang berkah, akarnya terhujam kokoh di bumi dan cabang-cabangnya menjulang membentang di langit. Itulah harta yang berkah, harta yang menggerakkan pemiliknya untuk menginvestasikannya demi tegaknya agama Allah. Harta yang baik, kata Nabi saw adalah harta yang berada digenggaman tangan orang-orang shaleh (HR. Ibnu Abi Dunya).

Oleh sebab itu, di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw, terdapat larangan yang tegas untuk memakan harta yang dihasilkan dengan jalan korupsi, risywah (suap), riba, pungutan liar, menipu, upah dari pekerjaan yang haram, seperti zina, perdukunan, perjudian dan lain sebagainya. Dan penting untuk dipahami dengan cermat, bahwa antara memakan harta riba tidak berbeda dengan memakan harta hasil mencuri, begitu juga memakan harta hasil pungutan liar maupun menipu orang lain sama haramnya dengan memakan harta hasil berzina maupun berjudi.

Dengan pemahaman yang integral seperti ini, seorang muslim akan lebih terbentuk karakternya dalam bekerja. Seorang muslim yang jiwanya telah tercerahkan dengan iman dan ilmu tentang harta yang boleh dan tidak boleh dia konsumsi akan senantiasa beradab di dalam bekerja dan adil di dalam berusaha. Dia akan pantang melakukan tindakan yang tidak amanah, dia akan senantiasa memiliki etos kerja yang baik dan akan memiliki tingkat kepekaan yang tajam terhadap segala bentuk tindakan dan ungkapan yang mampu mengeruhkan keberkahan harta yang akan diperolehnya. Semua ini terjadi, karena adab itu sudah melekat di dalam dinding jiwa orang tersebut, di mana ia lahir dari keimanan terhadap Allah yang senantiasa memantaunya. Selain itu, hal tersebut merupakan buah manis dari keberislaman seseorang secara benar yang terbangun di atas pondasi ilmu dan pemahaman yang konprehensif tentang makna adab di dalam ekonomi Islam.

Dalam konteks distribusi harta, Allah sama sekali tidak menghendaki perputaran harta itu hanya terjadi pada segelintir orang kaya. Allah tidak menginginkan terjadinya kesenjangan yang menganga antara kelompok kaya dan kaum dhu’afa. Oleh sebab itu, selain memberikan syari’at berkonsumsi, Allah juga memberikan seperangkat tuntunan yang menjamin keberlangsungan hidup orang miskin dan menjamin eksistensi proyek-proyek kebaikan di muka bumi. Allah syari’atkan zakat, infak dan sedekah agar orang-orang miskin dapat terangkat dari kemiskinannya. Allah turunkan ayat-ayat jihad dengan selalu menghimpun antara kekuatan jiwa dengan kekuatan finansial, sebagai bentuk pemeliharaan terhadap keberlangsungan dakwah dan proyek kebenaran. Sebagaimana Allah turunkan ayat-ayat warisan, agar keluarga muslim menjadi keluarga yang kuat, tidak hanya pada sisi keyakinan, namun juga secara finansial. Semua itu jika direnungkan, akan memupuk kepribadian dan karakter yang kuat bagi diri-diri kaum muslimin.

Demikian konsep ekonomi Islam menggariskan pembentukan nilai yang tinggi dan etika yang luhur dalam kehidupan. Tiadalah syari’at ini diturunkan oleh Allah SWT, melainkan untuk menjadi maslahat dan manfaat bagi manusia itu sendiri. Dan Allah tundukkan segala yang ada di muka bumi ini untuk manusia agar mereka senantiasa merealisasikan ibadah dengan segala maknanya hanya kepada Allah SWT. Agar seseorang tidak hanya beradab kepada sesama manusia, akan tetapi juga lebih beradab terhadap Tuhannya manusia. SEKIAN

Mekah, 29 Jumadal Ula 1437 H

(Manhajuna/IAN)

Ust. Ahmad Musyaddad Lc. MEI

Ustadz Ahmad Musyaddad Lc. MEI, yang berasal dari Mataram menamatkan pendidikan S-2 di Pascasarjana UIKA Bogor bidang ekonomi Islam, aktif dalam komunitas ekonomi islam Indonesia (Koneksi). FB: /ahmad.musyaddad.9
(Visited 626 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

HARTA = Kebaikan

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc. وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ “Sesungguhnya manusia sangat bakhil karena kecintaannya …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *