Kisah Qiyamullail Ibnu Munkadir (51-130 H)
Muhammad bin Munkadir (رحمه الله) adalah sosok teladan dalam hal keyakinan dan keimanan, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri mengenai beliau. Ia juga termasuk dalam golongan al-Qurra’ (orang-orang yang mendalami Al-Qur’an). Bahkan, beliau adalah salah satu di antara mereka yang tak kuasa menahan air mata saat membaca hadis Rasulullah ﷺ.
Imam Malik (رحمه الله) pernah berkata bahwa Muhammad bin Munkadir adalah pemuka para al-Qurra’. Oleh karena itu, kebiasaannya dalam melaksanakan qiyamullail dan shalat tahajud merupakan salah satu tanda kesalehannya serta bukti bahwa ia telah mendapatkan hidayah dari Allah.
Dikisahkan bahwa pada suatu malam, Muhammad bin Munkadir bangun untuk menunaikan shalat tahajud (qiyamullail). Saat itu, ia berusaha menangis hingga akhirnya ia benar-benar menangis dengan sangat serius. Keluarganya merasa cemas, tetapi beliau tak mampu mengungkapkan perasaannya dan terus menangis.
Melihat keadaan tersebut, keluarganya pun pergi menemui Abu Hazim Al-A’raj, seorang ulama dari kalangan shalihin. Ketika Abu Hazim datang, ia bertanya kepada Muhammad bin Munkadir,
“Apa yang membuat Anda menangis?”
Beliau menjawab,
“Aku tadi membaca satu ayat dalam Al-Qur’an.”
Abu Hazim kembali bertanya,
“Ayat apa yang Anda maksud?”
Lalu beliau membacakan firman Allah:
وَبَدَا لـَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لـَمْ يَكُنْ يَحْتَسِبُونَ
“Pada hari kiamat nanti, akan tampak bagi mereka balasan dari Allah yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya.” (QS. Az-Zumar: 47)
Setelah mendengar ayat tersebut, Abu Hazim pun ikut menangis. Keduanya menangis tersedu-sedu dengan penuh kekhawatiran dan ketakutan kepada Allah.
Inilah kondisi khauf, yaitu perasaan takut kepada Allah yang membuat para ‘arifin (orang-orang yang mengenal Allah) tidak bisa tidur dengan tenang. Rasa takut ini mendorong mereka untuk tetap terjaga di malam hari, meskipun mereka sudah banyak beribadah dan berada dalam kedekatan dengan Allah.
Kaum shalihin bangun malam untuk memperbaiki diri dengan shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdoa hingga nafsu mereka terlatih dan terbimbing pada jalur istiqamah. Dengan demikian, ketika mereka ingin melakukan suatu kebaikan, nafsu mereka akan segera tunduk dan patuh.
Muhammad bin Munkadir sendiri pernah berkata:
كابدت نفسي أربعين عاماً حتى استقامت لي
“Aku berjuang melawan nafsuku selama 40 tahun, barulah nafsuku bisa tunduk dan istiqamah.”
Artinya, ia terus berusaha mendidik dan memaksa nafsunya untuk tetap dalam ketaatan kepada Allah.
Beginilah keadaan mereka dalam menjalankan qiyamullail, yang merupakan salah satu ciri khas orang-orang shalih. Mereka bersujud dan bersimpuh di hadapan Allah hingga menjelang subuh. Namun, ketika pagi datang, hati mereka justru dipenuhi kerinduan yang mendalam kepada Allah.
Dengarlah ungkapan dari waliyullah ini, Muhammad bin Munkadir:
“Pada malam hari, hatiku dipenuhi dengan rasa cemas dan cinta kepada Allah. Namun, saat subuh tiba, hatiku justru dipenuhi dengan kerinduan.”
Begitulah keadaan mereka. Oleh sebab itu, menatap wajah mereka saja dapat menghidupkan hati, apalagi jika mendengar kata-kata mereka dan menyaksikan ibadah mereka.
Ibnu Al-Majishun berkata,
“Menatap wajah Muhammad bin Munkadir mendatangkan manfaat yang besar bagi agamaku.”
Berbicaralah sebanyak yang kau mau tentang orang-orang shalih. Kisah mereka yang bersujud di balik mihrab dan doa serta dzikir mereka kepada Allah adalah warisan yang berharga.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Muhammad bin Munkadir.
—
Risalah Ramadhan Ma’had Darul Ikhlas (MDI)
Bersama Buya (Dr.) H. Ahmad Asri Lubis, Lc., MA.
29 Ramadhan 1446 H/29 Maret 2025 M
—
Referensi: http://saaid.net/rasael/104.htm
(MRS)