Oleh: Ustadz Ahmad al-Fayiz
Alih bahasa: Syarifuddin Ridwan
Suatu ketika istriku bertanya: “Apakah engkau menyesal telah menikah denganku..?”
“Ada apa gerangan engkau bertanya demikian, sayang..?” Jawabku balik tanya.
“Sejujurnya, karena beberapa masalah yang terjadi di antara kita dari waktu ke waktu. Aku khawatir engkau akhirnya menyesali pernikahan ini. Karena mungkin saja aku tidak tepat untukmu..”
“Tapi bagaimana mungkin penyesalan itu muncul sementara aku telah memperbanyak shalat istikharah (memohon petunjuk) kepada ALLAH sebelum memutuskan untuk menikahimu….??!!’
Sang suami kemudian melanjutkan: “Sayang, pernikahan ini, atau kehidupan kita seluruhnya, tak selamanya serupa madu. Tidak sama sekali..!!! Kita sebagai manusia niscaya akan merasakan rintangan, problematika dan berbagai kesulitan. Begitulah tabiat kehidupan dunia yang dikehendaki oleh ALLah terjadi pada diri kita.
Itu satu hal..
Hal lain adalah, bahwa kita sebenarnya melakukan kesalahan saat menyikapi istikharah dengan pertimbangan materi dan kalkulasi matematika. Lalu kita menunggu sebuah peristiwa terjadi sesuai nafsu kita, terlepas dari berbagai cela, dan kita selamat dari setiap ujian dan keburukan. Pikiran seperti ini tentu saja keliru..!!”
Saudaraku yang mulia…
Istikharah itu memproklamirkan kehinaan, ketakberdayaan dan kerendahan diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Seraya berharap pertolongan-Nya pada setiap kondisi dan situasi yang dihadapi. Seperti itulah sesungguhnya penghambaan diri kepada-Nya:
– Senantiasa berpasrah diri kepada ALLah sebelum melaksanakan sebuah pekerjaan. Memohon kebaikan dalam suatu perkara dimana kita dilingkupi keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
– Setelah pekerjaan itu selesai ditunaikan, tetaplah menghambakan diri dengan memuji dan bersyukur kepada-Nya. Atau bersabar dan ridho. Sikap seperti itu pada dua situasi dan kondisi yang dialami mendatangkan akan pahala kebaikan di sisi-Nya.
Karena itu, bila saja istikharah tidak mendatangkan buah apapun selain ketenteraman jiwa dan ketenangan hati dalam memilih, niscaya ALLAH tidak memerintahkan untuk melakukannya. Istikharah juga mengingatkan jiwa yang kerap terombang-ambing -saat dihinggapi rasa sesal- bahwa ia sesungguhnya telah meminta yang terbaik kepada ALLAH Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui masa kini dan akan datang, serta segala maslahat dan kebaikan yang ada padanya. Dan bahwa ALLAH Ta’ala telah memilihkan yang terbaik baginya -dengan kuasa dan ilmu-Nya- yang meliputi segala sesuatu. Sebab itu, sudah seharusnya bagi kita menyertakan sunnah istikharah pada setiap keputusan penting dalam kehidupan kita.
Muslim yang benar, yang senantiasa bergantung pada Tuhannya, dan terhubung dengan-Nya, adalah muslim yang tidak mengikat sebuah pekerjaan dalam hidupnya, tidak melakukan sebuah usaha seperti transaksi bisnis, safar, memilih jenis pendidikan, tempat tinggal, atau perkara yang lebih sederhana dari itu, kecuali bahwa ia telah beristikharah kepada Tuhan-Nya dan meminta saran dari orang-orang yang ia percaya.
Karena itu, ketika seorang hamba melakukannya, maka ia sesungguhnya menyerahkan urusannya kepada ALLAH, seraya meyakini bahwa segala kebaikan -dunia dan akhiratnya- ada pada pilihan ALLAG untuknya. Walau di awal tampak beberapa peristiwa yang tidak disukainya.
Saya kenal seorang kawan baik -saya menganggapnya demikian- yang suatu ketika menghubungiku untuk berkunjung. Saya pun menyambutnya gembira. Adapun perbincangan kami saat berjumpa berkisar pada masalah istikharah dan urgensi tarbawiyahnya bagi setiap muslim. Bahkan, ia pun istikharah sebelum berkunjung ke rumahku..!!
Dia pun gembira mendengar kebaikan dan kehati-hatiannya. Ia lalu berkata menegaskan urgensi istikharah: “Saya menganggap bahwa istikharah adalah manhaj kehidupan dan kompas iman. Karena itu pula, saya tidak membayangkan bila seorang muslim mengharapkan taufik dari ALLAH, menginginkan kesuksesan, keredhaan, ketenangan, kebahagiaan dan keteguhan tanpa petunjuk dan bimbingan dari-Nya pada setiap urusannya”.
(Manhajuna/IAN)