Oleh: Novika Grasiaswaty, S.Psi
Ibu mana yang tidak mencintai diskon? Ya, rasa-rasanya diskon telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan belanja kita semua. Kata ‘diskon’, ‘sale’ atau kata-kata yang merujuk pada pengurangan harga seolah menjadi magnet tersendiri untuk menoleh dua kali, meskipun barang yang sedang didiskon bukan barang yang kita butuhkan. Para pedagangpun seolah tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka menggunakan moment-moment tertentu untuk mengadakan diskon besar-besaran agar barang yang dijual dilirik oleh konsumen, sebut saja “Diskon Awal Tahun”, “Diskon Akhir Tahun” ataupun Diskon Tahun Ajaran Baru.
Anda yang familiar dengan acara-acara diskon semacam itu, tentu tidak asing dengan banner ataupun poster-poster mengenai diskon yang bertaburan untuk segala macam barang. Keterangan-keterangan tersebut biasa dilabelkan para retail untuk menarik konsumen agar membeli barang-barang mereka. Salah satu cara yang biasa dilakukan para retail untuk menarik konsumen adalah dengan mencoret sebuah harga (yang mahal) dan membubuhkan harga baru yang tentu saja, lebih murah. Sebagian dari Anda mungkin berpikir, apa yang membuat para retail tersebut mau repot-repot untuk mencoret angka yang sebenarnya tidak diperlukan?
Apa yang dilakukan oleh para retail tersebut adalah salah satu bentuk framing, di mana mereka mencoba untuk memberikan kesan bahwa barang yang mereka tawarkan jauh lebih murah dari harga asalnya.Framing (Kahneman & Tversky, 1998) merupakan salah satu fase dalam proses pemilihan yang memberikan analisa awal pada pemutusan masalah. Dalam fase ini, sebuah masalah dapat ditampilkan baik atau buruk tergantung bagaimana cara masalah pemilihan itu diutarakan, baik oleh nilai yang ada, kebiasaan atau harapan si pembuat keputusan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa framing adalah ‘first impression’ yang nantinya akan mempengaruhi keputusan seseorang dalam memilih.
Framing sangat erat kaitannya dengan titik referensi, yaitu sebuah titik yang dijadikan patokan dalam sebuah perbandingan. Logikanya, sesuatu akan terlihat lebih rendah ketika berada di bawah titik referensi. Begitu juga sebaliknya, dapat terlihat sangat tinggi bila berada di atas titik referensi. Dalam framing, titik referensi ini menjadi ‘bingkai’ seseorang dalam mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan yang telah ter-framing tersebutlah yang kemudian dievaluasi oleh sang pemilih.
Salah satu contoh adalah kebijakan ‘mencoret harga awal’ yang dilakukan oleh para retail tersebut. Pada awalnya mereka menuliskan dengan bombastis berapa harga awal, yang seringkali jauh lebih mahal, misalnya Rp. 2 juta. Angka yang besar itu secara otomatis menjadi titik referensi kita karena informasi tersebut kita dapatkan terlebih dahulu. Kemudian, para retail tersebut ‘mencoret harga awal’ tersebut dan memberikan angka Rp. 500.000 di bawahnya. Tidak lupa dengan menambahkan kata-kata semacam “turun harga!” atau “Diskon besar-besaran!” atau mungkin kata-kata ‘ajaib’lainnya.
Karena kita awalnya memandang angka Rp. 2 juta sebagai patokan, harga Rp. 500.000 yang berada di bawahnya akan terlihat jauh lebih murah. Yang diharapkan, tentu saja, kita menjadi lebih ‘welcome’ pada harga tersebut (Rp. 500.000) dan memandang biaya tersebut sebagai ‘biaya yang murah’.
Selisih antara titik referensi, yaitu Rp. 2 juta dengan harga yang dibayar, yaitu Rp. 500.000, akan terlihat sebagai keuntungan bagi pembeli. Mereka akan merasa membayar (jauh) lebih murah bila dibandingkan dengan apa yang bisa mereka dapatkan. Hal ini tentu saja membuat mereka, setidaknya beberapa dari mereka, mulai menyadari keuntungan yang mereka peroleh. Perasaan ‘untung’ itulah yang dikejar pararetail untuk meningkatkan keinginan konsumen membeli barang yang dimaksud.
Dalam framing pemakaian bahasa pun bisa menjadi hal yang sangat penting. Dengan menggunakan bahasa yang mengedepankan sisi positif, seseorang akan memandang informasi tersebut sebagai informasi yang menguntungkan. Misal pemakaian kata “80% lulusan terserap menjadi tenaga kerja” lebih dipilih menjadi tagline sebuah universitas swasta daripada “20% lulusan menjadi pengangguran”, meskipun memiliki arti yang sama.
Bagi produsen, framing mungkin salah satu cara untuk menjaring ketertarikan sebanyak-banyaknya tanpa bermaksud membohongi para konsumen. Mereka menyampaikan kebenaran meskipun dibungkus sedemikian rupa dengan bingkai yang cantik. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal itu. Konsumen pun tidak dapat dikatakan merugi. Mereka merasa untung dengan melihat adanya selisih dari titik referensi dengan harga yang mereka bayar.
Namun, patut diperhatikan bagi konsumen, bahwa titik referensi yang dipatok produsen terkadang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Mereka melebih-lebihkan harga patokan agar konsumen merasa, sekali lagi hanya MERASA, untung banyak. Padahal bisa jadi, hanya untung sedikit atau bahkan rugi sama sekali. Kalau sudah begini, maka mata konsumenlah yang mesti jeli melihat peluang untung atau buntung dalam fenomena framing.
Daftar Pustaka
Frank, Robert H. 2006. Microeconomics and Behaviour. New York: McGraw-Hill.
Tversky, A., & Kahneman, D. (1998). Rational Choice And The Framing of Decisions. The Journal of Business , 59.