Oleh: Ust. Abu Ja’far, Lc.
« كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ »
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Al Imran: 185).
Saudaraku,
Kamis pagi yang lalu, sekitar pukul 09.15 pagi saya mendapat kabar duka dari keluarga besar di Bangun Rejo. Bude kami pagi itu, diambil kembali oleh Pemilik-nya. Padahal 2 jam sebelumnya, ia masih menyapa dan bertegur sapa dengan tetangga sebelahnya.
Demikianlah ajal. Ketibaannya tak mengenal profesi kita; pedagang besar, pedagang kecil maupun kaki lima. Petani yang memiliki sawah ladang yang luas. Lahan yang sempit maupun yang mengerjakan sawah ladang milik orang lain.
Orang yang kesehariannya di kantor, jualan es di pelataran kantor atau yang menjadi tukang parker di area tersebut. Dan yang senada dengan itu.
Ia akan menyapa presiden maupun pesinden. Ia akan mendatangi pejabat, perawat, orang yang berjerawat dan juga penjahat. Ia akan menjemput dokter maupun pasien yang sedang dirawatnya.
Kedatangannya juga tak mengenal waktu. Subuh hari saat banyak manusia sedang terlelap. Pagi hari, saat kita bersiap-siap memulai aktifitas rutin keseharian kita. Siang hari, saat banyak orang ngantri di warung makan. Sore hari ketika para penjual bakso keliling keluar dari tempat kontrakannya. Ataupun malam hari saat banyak mata menikmati acara sinetron di layar TV mereka. Dan seterusnya.
Ia juga tak mengenal keadaan kita. Sibuk atau senggang. Sehat atau sakit. Gembira atau merana. No problem atau lagi banyak masalah. Banyak tabungan atau dililit hutang. Sedang mengukir amal shalih, atau sedang menggali lubang maksiat dan menuruni lembah dosa. Dan yang seirama dengan itu.
Ia juga tidak mempertimbangkan status sosial kita. Lajang maupun bujang lapuk. Menikah atau yang masih menikmati hidup dalam kesendirian. Duda ataukah janda. Pengantin baru atau pasangan lawas. Penyantun anak yatim atau mereka yang menghuni yayasan yatim piatu. Laki-laki, perempuan atau banci.
Ia tidak pula melihat usia kita. Tua renta, berumur lanjut, di awal puber maupun pubertas kedua, muda usia, anak-anak, balita, batita, bayi atau bahkan yang masih berada dalam kandungan seorang ibu.
Ia juga tak menghiraukan kondisi kita. Sedang beraktifitas, bekerja, menganggur, atau magang. Sedang mengadakan perjalanan, istirahat atau mukim di suatu tempat.
Terkadang ia datang, didahului dengan kecelakaan, sakit, bencana alam dan seterusnya. Namun terkadang ia datang secara mendadak tanpa isyarat. Dan ini yang sering membuat keluarga yang ditinggalkannya menjadi gelo dan bahkan gila, jika tiada iman di dalam hati.
Kedatangannya tidak bisa dimajukan satu menit. Dan tidak pula ditangguhkan walaupun satu detik lamanya. Dan masing-masing kita akan mengalaminya tanpa terkecuali. Siap ataupun tidak. Memiliki bekal yang cukup atau tidak sama sekali. Konglomerat ataupun manusia yang ditakdirkan hidup melarat.
Kedatangan malaikat maut, tak dapat kita tolak dan hindari. Walaupun kita menangis tersedu-sedu menghiba kepadanya. Walaupun kita menjerit sejadi-jadinya. Ia tak memiliki belas kasihan sedikitpun. Ia akan tetap mengambil nyawa kita. Walau kita sedang meroket karirnya atau sebaliknya, sedang mengalami masa-masa sulit dalam keterpurukan dan ketergelinciran.
Ia tak menerima suap dari kita. Seberapapaun harta yang kita tawarkan. Sekalipun emas dan permata sepenuh bumi. Karena harta dunia baginya tak ubahnya seperti sayap nyamuk. Tiada nilai dan harganya sedikitpun.
Saudaraku,
Dan sejatinya kematian itu merupakan waktu rehat yang sesungguhnya. Abdullah bin Mas’ud ra pernah bertutur, “Bagi seorang mukmin tiada rehat, melainkan saat berjumpa dengan Allah swt. Barangsiapa yang rehatnya saat bertemu Allah, maka sungguh ia telah menemukan rehat yang sejati. ”
Sungguh merugi apabila kita tidak menambah pundi-pundi amal shalih kita setiap hari. Banyak peluang dan momentum kebaikan yang lewat begitu saja tanpa bekas dan jejak kebajikan yang dapat kita ukir.
Utsman bin Affan ra pernah menasihati kita,
مَنْ لَمْ يَزْدَدْ يَوْمًا بِيَوْمٍ خَيْرًا, فَذَلِكَ رَجُلٌ يَتَجَهَّزُ إِلَى النَّارِ عَلَى بَصِيْرَةٍ
“Siapa yang dari hari ke hari kebaikannya tiada bertambah, itulah orang yang dengan sadar membiarkan dirinya masuk ke dalam neraka.”
Saudaraku,
Pepatah Arab pernah mengatakan, “Kafaa bil mauti waa’izha” cukup kematian itu menjadi nasihat berharga.
Kematian adalah nasihat bagi kita, yang sering lalai untuk mengejar dunia. Silau dengan kesuksesan, kejayaan, pujian, sanjungan dan keberuntungan dalam hidup kita. Tertipu dengan semerbak dan hijaunya dunia. Yang terkadang kita lupa dengan hakikat dunia. Dunia bukanlah tempat tinggal kita. Namun ia adalah tempat yang akan kita tinggalkan.
Kita terkenang dengan perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhuma:
“Jika tiba waktu pagi, jangan anda katakan bahwa anda akan beramal di waktu sore. Dan jika datang petang hari, jangan anda katakan bahwa anda akan mengukir kebajikan di waktu pagi.
Pergunakan waktu sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Dan maksimalkan masa hidupmu sebelum tiba kematianmu. Karena sesungguhnya anda tidak tahu duhai hamba Allah, siapa namamu esok hari.”
Saudaraku,
Benar, mungkin saat ini kita bergelar professor, doktor, master, pejabat, pakar ini dan itu, mumpuni di bidang ini dan itu. Banyak menelorkan karya ini dan itu dan yang senada dengan itu.
Bisa jadi saat ini kita sedang banyak mendapat pujian dan penghargaan dari banyak orang. Karir kita sedang meroket. Usaha kita sedang berada di puncak kejayaan. Prestasi kita sedang mendapat acungan jempol dari masyarakat luas. Namun suatu saat nanti, nama dan gelar kita sama.
Sama seperti mereka yang gagal dalam membangun usaha. Sama dengan mereka yang mendapat cemoohan dan celaan dari masyarakat. Sama seperti mereka yang tersangkut kasus korupsi, tersandung pasal kriminal, di penjara dan seterusnya. Semua kita akan berubah status menjadi ‘Al mutawaffa’ (orang yang telah tiada) dan bergelar ‘al marhum’.
Pernahkah kita menghitung jumlah orang yang telah meninggalkan kita dan mendahului kita ke sana?. Baik dari kerabat, orang-orang dekat, teman sekolah, rekan satu kantor maupun tetangga kita?. Ternyata, jari-jari tangan dan kaki kita, sudah tak cukup untuk menghitung mereka yang telah pergi. Karena sudah teramat banyak orang yang telah pergi ke alam baqa, alam keabadian. Kepergian, yang akan menentukan masa depan kita di sana.
Suatu ketika seorang lelaki sedang bercengkerama dengan Abu Darda’ saat ada keranda jenazah diusung ke pemakaman dan melintas di hadapan mereka. Laki-laki itu bertanya kepada Abu Darda’, “Siapakah ia (orang yang meninggal) itu?.”
Abu Darda’ menjawab, “Dia adalah dirimu. Dia adalah dirimu. Karena Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” Az Zumar: 30.
Artinya orang yang bertanya dan yang ditanyakannya (yang diusung ke pemakaman) adalah sama statusnya. Sama-sama akan menjadi mayit. Walau pun waktunya tak sama. Gilirannya berbeda.
Dan kita tertegun mendengar penuturan Umar bin Khattab ra,
“Setiap hari aku mendengar orang menyebut, “Fulan meninggal dunia. Fulan telah wafat. Dan pasti suatu hari nanti akan diberitakan, bahwa Umar telah meninggal dunia.” (Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku,
Sejatinya kita sedang menunggu giliran kita. Suatu saat kita akan diusung dalam sebuah keranda ke sebuah pemakaman. Dan orang-orang ramai memperbincangkan kita; kebaikan dan keburukan kita. Pada saat itu orang akan jujur menilai siapa diri kita. Membuka tirai jati diri kita.
Kita akan menyusul mereka yang telah pergi. Bisa akhir malam ini atau esok hari. Saat kita sedang tersenyum atau menangis. Ketika kita sedang Berjaya atau pailit. Sukses atau gagal dalam hidup dan seterusnya.
Dan kapanpun, pasti ia akan datang menjadi tamu terakhir kita. Semestinya kita mempersiapkan diri menyambut ketibaannya dengan sebaik mungkin.
Syekh Amir bin Muhammad al Madri, seorang khatib dan imam di masjid al Iman di Yaman pernah berbagi bekal kepada kita, mengenai kiat-kiat menjemput kematian. Di antaranya:
• Perbanyak ziarah kubur minimal satu kali dalam satu bulan. Untuk mengenang kembali orang-orang yang pernah kita kenal dan pernah dekat dengan kita. Lalu mendo’akan kebaikan dan ampunan bagi mereka.
• Sering-seringlah mengantarkan jenazah ke pemakaman. Agar kita dapat mengunjungi rumah masa depan kita di sana. Di akherat sana. Agar kita singgah di tempat persinggahan sementara. Sungguh suram wajah orang yang tak memiliki masa depan di dunia. Apatah lagi mereka yang rela masa depannya menjadi gelap di akherat sana.
• Jangan kita biarkan waktu berlalu dari hadapan kita dengan sia-sia. Tanpa ukiran amal shalih dan mendaki puncak ubudiyah. Abdullah bin mas’ud ra berkata, “Tiada penyesalan yang lebih mengganggu bathin ini daripada ketika aku saksikan matahari telah terbenam tapi amalanku hari ini tidak bertambah.”
• Memaafkan orang yang pernah berbuat zalim terhadap kita. Menyambung tali silaturahim, ringan tangan untuk meringankan beban orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain dan kezalimannya, adalah pintu awal yang kita buka untuk mendapatkan kemaafan dan ampunan-Nya.
• Dermakan harta kita sebelum harta kita bagikan kepada ahli waris kita. Semakin banyak kita berderma di dunia maka semakin banyak bunga dan laba yang kita dapatkan di sana.
• Jika kita menunaikan shalat, maka rasakanlah bahwa shalat yang kita tunaikan, seolah-olah itu merupakan shalat terakhir yang kita lakukan. Demikianlah dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga ada kekhusyu’an di sana. Ada ihsan dan itqan dalam pelaksanaannya. Bukan sekadar gerakan zahir tanpa menghadirkan bathin.
Saudaraku,
Sudahkah kita menyiapkan bekal untuk hari kepulangan kita? Sudah siapkah kita menyambut tamu terakhir yang akan menemui kita? Hadirkan pertanyaan ini di kalbu kita dan jawablah dengan kejujuran hati nurani kita. Wallahu a’lam bishawab.
METRO, 26 MARET 2013
(AFS/Manhajuna)