Assalamualaikum, ust. Apakah harus ada hijab (pembatas) antara lelaki dan perempuan ketika rapat? mohon dijelaskan dalil-dalilnya. makasi.
Jawaban:
Waalaikum Salam Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du.
Sebelum membahas masalah hukum tersebut kita bahas dulu Masalah Ikhtilath. Makna Ikhtilath diartikan bercampurnya dua orang atau lebih, berlainan jenis dan bukan mahram. Secara bahasa, kata Ikhtilath berasal dari kata ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan, bentuk masdhar menurut Nahwu Sharaf (grammar-nya Bahasa Arab) yang berarti bercampur dan berbaur. Sedangkan, menurut istilah syar’i sendiri, sebagian ulama masih berbeda pendapat.
Kenapa? Karena memang pada zaman Rasulullah dulu istilah Ikhtilath tidak dikenal. Dalam buku Fatawa al Mar’ah al Muslimah (Fatwa-Fatwa Seputar Wanita Muslimah), Dr. Yusuf Qaradhawi secara implisit mengatakan bahwa terminologi ikhtilath tidak dikenal pada zaman Rasulullah ataupun masa sahabat dan tabi’in serta tabi’it tabi’in. Dahulu perilaku percampuran laki-laki dan perempuan disebut dengan istilah ajnabiyat, yaitu bercampurnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Masalah ikhtilath ini cukup menjadi perdebatan serius di kalangan ulama Dari berbagai perbedaan pendapat ulama, setidaknya ada dua kutub ekstrem mengenai bercampur baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram, yaitu: ada yang menganggap bebas (tanpa ada batasan sama sekali) dan di lain pihak perlu ada batasan-batasan tertentu. Batasan tersebut yang seringkali menjadi andalan biasanya hijab. Bentuknya bermacam-macam, ada yang terbuat dari kayu, kain, atau yang paling populer ialah spanduk bekas media publikasi.
Pada zaman Rasulullah dulu, tidak ada hijab, terutama yang menghalangi shaf antara ma’mum laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah, bahkan pintu masuk pun hanya ada satu. Dalil yang secara eksplisit menerangkan masalah hijab belum begitu kuat. Kalau perpisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan memang harus dilakukan.
Namun, terlepas dari kontroversi yang ada, secara objektif kita harus melihat ikhtilath dari beberapa sudut pandang: motif, kemaslahatan, dan dari segi keperluan dalam pergaulan. Berdasarkan faktor historis dan dalil, perkumpulan antara laki-laki dan perempuan terjadi pada zaman Rasulullah saw dan hal ini diperbolehkan dengan batas-batas tertentu, sbb:
- Kedua lawan jenis yang bukan mahram berkomitmen untuk gadhul bashar (“mengendalikan” dan “menjaga” pandangan, bukan “menahan” pandangan). Menjaga pandangan dalam artian tidak mengarahkan pandangan ke aurat, tidak memandang dengan syahwat, dan tidak memandang untuk hal yang tidak perlu.
- Khusus wanita, tidak memakai pakaian yang “mengganggu”. Harus mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai aturan syar’i.
- Saling menjaga adab dalam berbicara. Tidak manja dalam bertutur. Normal saja, jangan dibuat-buat.
- Bahasa tubuh, tidak menjurus pada hal-hal buruk
- Tidak ber-khalwat. Karena telah sangat jelas hukum khalwat: HARAM.
- Proporsional, seperlunya saja. Berkumpul dengan mahram cukup jika diperlukan dan menyangkut hal yang mendesak, tidak berlebihan. Sehingga, jikalau bisa dihindari, sebaiknya tidak melakukan ikhtilath.
Dengan poin-poin di atas, maka sedikit banyaknya bisa menjadi bahan berpikir untuk berbagai kasus terkait ikhtilath. Bukan hanya ketika ada rapat, tetapi juga terjadi saat berinteraksi yang sangat sulit dihindari adanya ikhtilath.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Sumber: dakwatuna.com