Oleh: Arif Fitriyanto
Manhajuna.com – Semua orang—baik itu orang beriman maupun tidak beriman—diberikan oleh Allah waktu dalam sehari yang sama, 24 jam. Namun ada orang-orang yang sanggup memanfaatkan nya dengan efektif, efisien dan bermanfaat. Dan ada juga yang banyak terlena dan berleha-leha dengan waktu.
Di negeri barat, sangat kental istilah “time is money”, waktu adalah uang. Karena dalam benak pikiran mereka uang adalah segala nya. Bagaimana Islam melihat waktu dan bagaimana panduan memanfaatkan waktu—terutama waktu luang? Berikut adalah rangkuman nya
Banyaknya Nikmat Allah
Sungguh telah banyak nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada kita. Jika kita mencoba untuk menghitung nikmat tersebut niscaya kita tidak akan mampu untuk menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya. (QS Ibrahim [14] : 34)
Allah memberitahukan bahwa manusia tidak akan mampu menghitung berapa banyak nikmat Allah, apalagi mensyukuri nya.
Diriwayatkan dalam sebuah atsar, bahwa Dawud AS berkata, “Ya Rabb, bagaimanakah aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedang syukurku kepada-Mu itu adalah nikmat dari-Mu kepadaku?” Maka Allah berfirman: “Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku wahai Dawud. Maksudnya bahwa engkau telah bersyukur ketika engkau mengakui bahwa engkau tidak dapat memenuhi syukur yang sepatutnya kepada Pemberi nikmat
Nikmat yang Terlupa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa waktu luang merupakan salah satu di antara dua kenikmatan yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Tetapi sangat disayangkan, banyak di antara manusia yang melupakan hal ini dan terlena dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari membawakan perkataan Ibnu Baththol. Beliau mengatakan,”Makna hadits ini adalah bahwa seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang mendapatkan seperti ini, maka bersemangatlah agar tidak tertipu dengan lalai dari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Di antara bentuk syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi larangan. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, dialah yang tertipu.”
Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun dia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dalam aktivitas dunia. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun dia dalam keadaan sakit. Apabila tergabung kedua nikmat ini, maka akan datang rasa malas untuk melakukan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).
Itulah manusia. Banyak yang telah terbuai dengan kenikmatan ini. Padahal setiap nikmat yang telah Allah berikan akan ditanyakan. Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan di dunia itu)”. (QS At Takaatsur [102] : 8)
Waktu Ibarat Pedang
Jika kita tidak pandai menggunakan pedang, niscaya pedang tersebut akan menebas diri kita sendiri. Demikian juga waktu yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Jika kita tidak mampu memanfaatkannya untuk berbuat ketaatan kepada-Nya, niscaya waktu akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Dalam kitab Al Jawaabul Kaafi karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah menyebutkan sebuah perkataan sebagai berikut:
الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل
“Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Waktu seseorang itulah hakekat umurnya, dialah penentu kehidupan abadinya (di kemudian hari), apakah dalam kenikmatan abadi ataukah dalam kehidupan sengsara dalam adzab abadi yang pedih…
Waktu berlalu lebih cepat dari aliran awan. Maka siapa saja yang waktunya dihabiskan untuk Allah dan karena Allah maka waktu itulah hakekat umur dan kehidupannya. Adapun selain itu (jika waktunya tidak dihabiskan untuk dan karena Allah) maka waktu tersebut pada hakekatnya bukanlah termasuk kehidupannya, akan tetapi kehidupannya laksana ibarat kehidupan hewan. Jika ia menghabiskan waktunya dalam kelalaian dan syahwat, serta angan-angan yang batil, dan waktu yang terbaiknya adalah yang ia gunakan untuk tidur dan nganggur maka matinya orang yang seperti ini lebih baik dari pada hidupnya” (Al-Jawaab Al-Kaafi hal 109)
Jika umur seseorang 60 tahun, dan setiap hari tidur 8 jam (1/3 waktunya), serta dikurangi masa kecil hingga baligh/dewasa (sekitar 15 tahun) maka hakekat umurnya yang bisa ia gunakan untuk beraktifitas hanyal tinggal 60-20-15 = 25 tahun. Lantas dari 25 tahun tersebut yang digunakan untuk bermain, bersenda gurau, bermaksiat?? Jika dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk beribadah??
Saudaraku, senantiasalah engkau meminta pada Allah kebaikan pada hari ini dan hari besok karena hanya orang yang mendapatkan taufik dan pertolongan Allah Ta’ala yang dapat selamat dari tebasan pedang waktu.
Ibnu Mas’ud berkata,
ما ندمت على شيء كندمي على يوم غربت شمسه نقص فيه أجلي ولم يزد فيه عملي
“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”
Tips Mengisi Waktu Luang
Kemudian muncul pertanyaan. Tidak boleh kah kita bersantai? Dan juga bagaimana sebaiknya mengisi waktu luang?
Sudah menjadi sifat dasar/tabiat manusia memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak kerja.
“Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (Al-Balad: 11)
Santai pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan kesegaran baru.
Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah SWT
Padahal diantara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt. berfirman,
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”(Al-Mu’minun: 1-3)
Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.
Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga.
Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)
Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan. Jangan sampai malah diisi dengan kemaksiatan.
Wallahu’alam bi shawab
Maraji:
[1] Al Quran Al Kariim [2] Tafsir Ibnu Katsir jilid 5 [3] Berhati-hati Dengan Waktu Luang; www.dakwatuna.com [4] Waktu Laksana Pedang; www.rumaysho.com [5] WAKTU SEPERTI PEDANG; www.firanda.com(Manhajuna/IAN)