Oleh: Ust. Abu Ja’far Fir’adi, Lc.
اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin.” (Do’a yang biasa dilantunkan Nabi saw). HR. Ibnu Majah.
Saudaraku,
Miskin, barangkali satu keadaan yang menjadi momok menakutkan dan paling tidak diminati oleh sebagian besar dari kita. Bahkan tidak sedikit, yang menerjang rambu-rambu-Nya dengan korupsi, memakan riba, mengambil harta dengan jalan yang haram dan yang seirama dengan itu. Salah satu faktor penggeraknya adalah lari dari kemiskinan dan memahat masa depan indah secerah mentari pagi.
Padahal jika kita cermati arahan nubuwah, kita dapati berbagai sumber yang menunjukan perihal kemuliaan dan kedudukan istimewa yang disandang orang-orang miskin.
“Orang-orang miskin dari umatku masuk ke dalam surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu lima ratus tahun.” H.R; Tirmidzi dan Ahmad.
Salah satu do’a yang biasa dibaca oleh Nabi saw, adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar dimudahkan melakukan kebaikan dan meninggalkan kemunkaran serta aku memohon kepada-Mu agar selalu mencintai orang-orang miskin.” H.R; Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan oleh syekh Al Bani.
Dua hadits di atas dan riwayat lain yang senada dengan itu, menunjukan perihal kedudukan orang-orang miskin dan keutamaan mencintai mereka.
Untuk itu saudaraku,
Rasulullah saw dan sebagian sahabatnya, seperti Abu Dzar, Abu Darda’, Said bin Amir al Jumahi dan lainnya, menjadikan kemiskinan sebagai pilihan hidupnya.
Di era tabi’in, kaum yang lemah secara finansial mendapatkan perlakuan istimewa. Di majelis ilmu dan hadits Sufyan Atsauri misalnya, orang-orang yang tak punya, menempati majelis yang berdekatan dengan sang guru.
Suatu saat, ada seorang laki-laki memberi hadiah 10.000 dirham kepada Ibrahim bin Adham tetapi ia menolaknya seraya berucap, “Apakah engkau ingin menghapus namaku dari daftar orang-orang miskin?, tentu aku tak menginginkan hal itu. ”
Namun saudaraku,
Tidak semua model kemiskinan menjadi istimewa dan terpuji dalam kaca mata agama kita. Paling tidak ada 5 model kemiskinan yang akan menjadi musibah bagi kita di dunia dan menjadi bencana besar di akherat. Empat model kemiskinan itu disebutkan oleh DR. Mustafa Siba’i dalam bukunya “hakadza allamatnil hayat.” Yaitu; Miskin agama (iman), miskin akal (ilmu pengetahuan), miskin kesabaran dan miskin muru’ah. Dan kita tambahkan model kelima dari kemiskinan, yakni; miskin hati.
Saudaraku,
Perjudian yang marak di mana-mana, dari kelas elit sampai kelas irit. Prostitusi dari kelas bawah, menengah sampai kelas atas yang menjamur di nusantara. Kasus korupsi yang tak ada habisnya. Perselingkuhan yang semakin banyak peminatnya. Masjid, musholla, suro dan langgar yang sepi dari jama’ah shalat. Dan yang senada dengan itu. Adalah fakta teramat lemahnya pemahaman dan pengamalan agama dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
Islam hanya menjadi lipstick pemanis dan dasi yang dikenakan oleh si empunya. Seperti judul buku tanpa isi. Simbol tanpa makna.
Jika kita miskin agama (iman), maka kita tak akan sanggup menepis godaan syahwat yang melambai-lambai di sekitar kita dan tak mampu menahan derasnya fitnah. Sehingga pada akhirnya kita menjadi budak syahwat lisan, perut dan kemaluan. Wal ‘iadzu billah.
Saudaraku,
Miskin akal (ilmu pengetahuan), merupakan bencana dalam hidup kita. Terlebih bagi kita sebagai insan beriman. Ilmu ibarat obor dan pelita dalam hidup kita. Pernahkah kita membayangkan, jika suatu saat hidup kita walau hanya satu pekan atau satu malam saja tanpa pelita penerang? Tentu, hidup kita menjadi gelap dan kelabu.
Dengan iman, kita akan selamat dari godaan syahwat. Baik syahwat mulut, perut ataupun kemaluan. Tapi hanya dengan iman, kita tidak akan memiliki ketahanan diri yang kuat untuk menghadapi badai syubhat yang datangnya bergelombang silih berganti.
Berapa banyak dari kaum muslimin yang terpedaya dengan propaganda JIL (Jaringan Islam Liberal). Dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi penganut aliran sesat. Pengikut para nabi palsu. Pendukung kelompok yang mudah mengkafirkan kelompok lain dan pondasi agama dibangun atas dasar mengikuti keinginan hawa nafsu semata.
Untuk itu, apapun profesi kita. Baik sebagai pejabat Negara, berkiprah di parlemen, pengurus partai politik, pengusaha, wiraswasta, pedagang, presenter di televisi, bekerja di dinas kesehatan, staf pengajar, pelajar, petani, pemborong, juru kebun, penjual sayur dan kue dan yang lainnya.
Kita berkewajiban untuk selalu memperluas ilmu pengetahuan kita. Baik dengan cara menerima transfer ilmu dari orang lain maupun dengan jalan tarbiyah zatiyah (pendidikan mandiri) dengan cara membaca buku, mendengarkan ceramah agama dan seterusnya. Hal ini kita lakukan demi membentengi diri kita dan orang-orang dekat kita dari terpaan syubhat yang menghancurkan masa depan kita di akherat sana.
Saudaraku..
Dalam meretasi hidup, tanpa berbekal kesabaran maka kita akan gagal dan terpuruk. Tak berlebihan jika kita katakan bahwa keberhasilan dan kesuksesan kita dalam menjalani hidup, separuhnya ditentukan oleh kesabaran. Artinya orang yang miskin kesabaran, maka masa depannya di dunia akan suram dan di akherat sana ia dapati gelap gulita.
“Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Al Mulk: 2.
Sabar merupakan akhlak terpuji yang menjadi ciri khas seorang mukmin dan paling banyak disebut dalam al Qur’an. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebut kata sabar di dalam al Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qayyim pernah mengutip perkataan Imam Ahmad, “Sabar di dalam al Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”
Sabar kita butuhkan dalam setiap nafas kehidupan kita. Terlebih bagi kita yang sedang mendaki puncak ubudiyah, memerlukan nafas panjang dari kesabaran. Agar kita tidak terengah-engah, mengalami kelelahan jiwa dan mundur dari perjuangan mengukir prestasi di hadapan-Nya.
Agar kita senantiasa istiqamah mengukir amal-amal shalih dan konsisten memahat amal ketaatan, kita dituntut memakai pakaian kesabaran.
Saat kita dirundung duka, dengan kepergian orang-orang tercinta dan kekasih hati, kesabaran mutlak harus kita miliki. Agar kita tak terombang-ambing dalam kesedihan. Agar kita rela dan ridha dengan garis takdir-Nya. Demikian pula sabar menjadi pembeda, kala musibah dan bencana melanda serta terjadi fitnah dalam agama dan hal-hal yang tidak kita harapkan.
Mengekang nafsu dan syahwat, agar tak menyeret kita pada perbuatan dosa dan tergelincir dalam lubang maksiat, kita pun mesti menghiasi diri kita dengan kesabaran.
Saudaraku..
Kita kerap mendengar kata muruah dari lisan orang Melayu. Muruah berarti; kehormatan diri, harga diri dan nama baik.
Orang yang miskin muruah, maksudnya; orang yang tak memiliki kehormatan diri, tanpa harga diri dan orang yang nama baiknya tercemar dan tercoreng karena perilaku dan perbuatannya sendiri.
Muruah melekat pada diri kita, jika kita tak menzalimi hak-hak orang lain. Berpihak kepada kepentingan rakyat jelata, saat berseberangan dengan penguasa yang zalim. Membela nasib si miskin, saat bersengketa dengan orang kaya yang tamak. Menolong mereka yang lemah, saat menghadapi orang kuat yang sombong.
Juga saat kita sebagai kepala keluarga, bisa menjadi teladan bagi istri dan anak-anak kita. Sebagai pendidik, kita mampu memberikan keteladanan hidup bagi pendidik lain dan murid-murid kita. Baik di sekolah maupun di lingkungan kita. Dan seterusnya.
Intinya, kepribadian yang ringkih dan budi pekerti yang tercela, jika melekat pada diri kita. Siapapun kita. Apapun jabatan dan profesi kita. Di mana pun kita berada. Maka hal itu dapat merusak nama baik dan melenyapkan kewibawaan serta kemuliaan kita.
Memiliki akhlak dan kepribadian yang dicintai Allah dan rasul-Nya serta menjadi simat orang-orang mukmin, akan mendekatkan kita pada izzah dan kemuliaan sejati. “Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, bagi rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” Al Munafiquun: 8.
Saudaraku..
Miskin hati. Inilah model kemiskinan yang sangat menyengsarakan dan mendera kita. Membuat galau hati kita. Menjadikan luka menganga di jiwa kita. Kebahagiaan hidup tak pernah kita kecap. Senyuman indah dan keceriaan hati melayang dan punah. Karena kita tak akan pernah puas dengan pemberian-Nya. Tak pernah ridha dengan takdir-Nya.
Kekayaan harta yang dimiliki. Apatah lagi ketiadaan harta. Memiliki pendamping hidup, apalagi yang masih hidupnya menyendiri. Sehat yang menyapa tubuh, apalagi sakit yang mendera. Dalam keadaan lapang apalagi sempit. Jabatan yang disandang, apatah lagi rakyat jelata. Hidup di negeri yang aman apatah lagi mukim di tempat konflik. Dan seterusnya.
Apapun keadaannya. Jika kita miskin hati. Maka kita tak akan pernah senang melewati hari-hari kita. Lisan tak pernah berhenti dari mengingkari kurnia-Nya.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Dzar ra, “Sesungguhnya hakikat kekayaan adalah kekayaan hati. Dan kemiskinan yang hakiki adalah miskin hati.” H.R; Ibnu Hibban.
Saudaraku..
Kita boleh saja miskin harta, rupa, jabatan, sandang, pangan, papan, pekarangan, kesehatan dan yang senada dengan itu. Tapi jangan sampai kita menjadi miskin iman, ilmu pengetahuan, kesabaran, muruah dan hati.
Ya Rabb, jadikanlah kami orang-orang yang memilki kekayaan yang sejati. Kaya iman, ilmu, kesabaran, muruah dan kaya hati. Amien ya Mujibas Saailiin.
Metro, 27 januari 2013
(AFS/Manhajuna)