Dalam beberapa hari terakhir, media sosial kembali ramai dengan persoalan seorang pejabat publik yang menyatakan para ahli gizi tak perlu ikut andil dalam mengambil kebijakan pada program MBG atau Makan Bergizi Gratis. Disaat yang hampir bersamaan, publik juga dipaparkan dengan permasalahan kepalsuan ijazah yang tak kunjung selesai dari pertengahan tahun ini, yang menyangkut nilai kredibilitas akademik dan juga integritas akademik seorang pejabat publik. Isu yang beredar jelas membuat semakin pudarnya kepercayaan masyarakat kepada tokoh publik dan melahirkan kebingungan publik.
Walapun 2 isu tadi memiliki nilai yang berbeda, tetapi tidak terlepas dari keduanya berbicara mengenai kompetensi dan amanah dalam urusan publik. Maka pertanyaan utamanya, benarkah kita tidak perlu “ahli” ? Apa pandangan islam tentang keahlian dan amanah? Bagaimana akibatnya jika suatu perkara tidak diserahkan kepada ahlinya?. Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana islam bersikap mengenai keahlian, kelayakan, dan intergritas seseorang dalam memegang urusan publik.
Islam dan Prinsip Menyerahkan Urusan Kepada Ahlinya
Islam melihat bahwa suatu jabatan adalah amanah, bukan kehormatan yang diperebutkan, apalagi mengganggapnya suatu “hadiah”. Amanah mencakup segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, menuntut kemampuan kelayakan dan tanggung jawab.
Allah -Subhanahuwata’ala- berfirman dalam firman-Nya :
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهۗ
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا ٥٨
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S An-nisa : 58)
Memenuhi tanggung jawab suatu amanah tidak sebatas menerima tugas. Setiap amanah yang dituntut dalam kehidupan pasti memerlukan ilmu dan kemampuan yang memadai. Setiap aspek keilmuan pasti ada orang yang ahli pada bidangnya, dan menempatkan seseorang yang kompenten dalam bidangnya adalah bagian dari keadilan, sehingga para ahli pada masing-masing bidang bisa memenuhi amanah yang dituntut karena mereka mampu.
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ٤٣
“Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS.An-Nahl : 43)
Ayat ini secara literal menghimbau kita untuk kembali kepada sang ahli jika kita tidak tahu suatu perkara pada bidang kita. Maka ini menjadi tuntutan syariat bahwa jelas keahlian diperlukan dalam segala aspek untuk mencegah dalam kebijakan publik yang keliru dan merugikan masyarakat. Dalam suatu hadits, Rasulullah -Sallallahu’alaihi Wasallam- Bersabda :
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Pada hadist ini juga dijelaskan urgensi Amanah. Salah satu tanda hancurnya suatu masyarakat dan suatu tanda dekatnya hari kiamat adalah hilangnya amanah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, amanah tidak tertuju hanya sebatas menjaga titipan tetapi mencakup banyaknya nilai-nilai lain seperti integritas, tanggung jawab moral, serta penempatan seseorang pada posisi yang sesuai dengan keahliannya.
Pandangan Ulama Klasik & Kontemporer Mengenai Kompetensi Dalam Kepemimpinan
Yang pertama Imam Ghazali. Dalam karyanya pada kitab Ihya Ulumuddin, ia menyebutkan syarat utama untuk seorang pemimpin ada dua :
- Memiliki Kemampuan (Kafaah)
- Memiliki Integritas (‘Adaalah)
Menurut Imam Ghazali, pemimpin yang tidak kompeten/bodoh akan menimbulkan kerusakan lebih besar dari pada pemimpin yang berdosa tetapi cerdas. Sebab kebodohan dalam kemimpinan lebih merugikan dan merusak sturktur masyarakat, dan pemimpin yang tidak adil akan membuat rusak moral rakyatnya, merosot kestabilan negaranya, dan jatuh ke dalam kekacauan.
Ibnu Taymiyyah juga menyatakan dalam kitabnya Assiyaasah Asy’ariyyah, ia menulis “keberlangsungan urusan manusia tidak tegak kecuali dengan dua hal: kekuatan (kompetensi) dan amanah”. Yang dimaksud dengan kekuatan disini mencangkup keahlian, kapasitas, dan kemampuan teknis. Jika hanya ada kemampuan tanpa amanah kekuasaan akan dzalim. Dan jika ada amanah tanpa kemampuan maka kebijakan menjadi lemah.
Dampak Jika Urusan Dipegang Yang Bukan Ahlinya
Dilihat dari kejadian kemarin tentang pernyataan seorang pejabat yang meremehkan peran seorang ahli gizi dan polemik integritas ijazah yang tak kujung ada kejelasan, keterkaitan keduanya yaitu meremehkan ilmu serta meremehkan amanah.
Mengangkat orang yang tidak kompenten ke dalam jabatan publik bukan hal yang sederhana tapi berdampak langsung pada kerusakan masyarakat. Dari kesalahahan pengangkatan seseorang yang tidak kompeten ini maka akan mengakibatkan :
- Kebijakan Publik Yang Keliru
Kebijakan yang dilahirkan dari seorang yang tidak kompenten cerderung keliru dan merugikan banyak pihak. Ketidakpastian dalam penelaahan suatu masalah, lemahnya pemahaman terhadap realitas sosial, dan pengambilan keputusan yang asal-asalan tanpa dasar ilmu yang tepat akan menciptakan masalah baru. Alih-alih menyelesaikan satu masalah —misalnya pada kelayakan gizi program MBG— kebijakan yang keliru ini justru mengakibatkan melebarnya permasalahan ke aspek lain, seperti kesehatan anak, ekonomi pengeluaran negara, dan timbul permasalahan baru lainnya yang tentunya juga merugikan.
- Hilangnya Kepercayaan Rakyat Dan Rusaknya Moral Dalam Masyarakat.
Kepercayaan publik adalah suatu fondasi penting untuk keberlangsungan negara. Akan tetapi jika publik terus menerus menyaksikan suatu jabatan diberikan tanpa mempertimbangkan kompetensi, maka tentunya mereka akan merasa bahwa sistem telah dikuasai untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan warga. Jikalau kepercayaan publik telah runtuh maka akan timbul banyak apatisme, sinisme, dan penolakan secara terang-terangan kepada pemerintah.
Dan semakin seringnya mereka menyaksikan ketidaklayakan pada suatu institusi, maka lahirlah kerusakan moral pada masyarakat. Singkatnya, karena seringnya masyarakat menyaksikan kebobrokan pemimpinnya, terjadilah suatu normalisasi yang keliru, contohnya seperti penyelewangan jabatan, gelar palsu, nepotisme, dan manipulasi hukum.
Prestasi ini malah dianggap wajar. dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai ‘Adaalah(intergritas) yang menjadi syarat menjadi pemimpin yang ditekankan oleh Imam Ghazali.
- Menambah Beban Dosa Sosial
Dalam perspektif agama, kerusakan akibat kepemimpinan yang tidak kompenten menimbulkan beban dosa sosial. Karena setiap kebijakan yang tidak tepat yang mengakibatkan kesengsaraan publik itu termasuk bagian dari tanggung jawab si pemegang amanah itu.Tanggung jawab itu terus melekat selama kebijakan yang salah itu menimbulkan kesengsaraan, sehingga dosa seorang pemimpin terus berkesinambungan dan terus bertambah selama masa jabatannya. Karena itu, jika pemimpin tidak dapat memenuhi syaratnya ia memang tidak gagal secara teknis saja tetapi sekaligus tanggungan dosa sosial.
Solusi Islam : Mengembalikan Sang Ahli Pada Tempat Terhormat
Untuk meminimalkan kebijakan publik yang sudah terlanjur rusak yang mana timbul dari kepemimpinan yang tidak kompeten, maka diperlukan langkah langkah solutif yang selaras dengan syari’at, sehingga mampu memperbaiki dan mengembalikan nilai amanah dalam pengelolaan publik :
1.Transparasi Kompetensi
Langkah penting untuk membenahi tata kelola kepemimpinan adalah memastikan agak lebih selektif dalam memilih pemgemban amanah. Transparasi dalam pemberian jabatan harus menulusuri rekam jejak keilmuan dan pengalaman bukan dari kedekekatan politik atau hubungan personal. Dengan uji kelayakan di publik secara terbuka, masyarakat bisa melihat menilai apakah seseorang layak dalam menepati suatu posisi atau tidak.
2. Mengembalikan Tradisi Bertanya Kepada Ahli
Dalam menghadapi banyak persoalan publik, kembali bertanya kepada sang ahli amatlah penting. Karena opini pribadi tidak cukup untuk melahirkan suatu kebijakan yang tepat, diperlukan data, penelitian, dan pengalaman profesional. Bertanya kepada sang ahli dan berkolaborasi dengannya akan memenimalisir kekeliruan dalam memutuskan suatu perkara. Kebijakan yang ditetapkan akan lebih relevan dan memberi manfaat yang lebih luas kepada masyarakat.
3. Menempatkan Seseorang Pada Bidangnya
Setiap individu memiliki potensi, kapasitas, dan bakat yang berbeda. Ada yang cemerlang dalam komunikasi, kuat dalam analisis, dan telaten dalan suatu teknis. Prinsip “The Rigth Man In The Rigth Place” bukan sebatas manajemen jargon modern, tetapi ini sangat relevan dalam konsep keadilan yang ditegaskan oleh islam. Para ulama klasik seperti Imam ghazali dan Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwasannya menempatkan seseorang bukan pada tempatnya termasuk pengkhianat syariat. Ini bentuk kehormatan pada wujud komitmen terhadap keadilan dan kemampuan manusia yamg berbeda-beda. Maka ini bukan hanya akan memperbaiki sistem, tetapi juga membangun etika sosial dan spritual yang selaras dengan kebenaran.
4. Literasi Publik
Literasi yang kuat akan menjadi pondasi dan benteng terhadap kerusakan moral dan kebijakan yang merugikan. Hal ini mencakup pandainya masyarakat dalam menyerap informasi, tidak langsung menerima mentah mentah. Mampunya masyarakat menilai kredibilitas suatu sumber dan menghargai suatu keilmuan dan keahlian. Mampunya masyarakat menciptakan pandangan yang rasional argumentatif bukan hanya sekedar emosi atau sensasi. Lingkungan sosial inilah yang lebih tahan terhadap kekeliruan kebijakan, penyelewengan, dan manipulasi kebijakan.
Refleksi Penutup
Dari seluruh uraian yang sudah dibahas dapat disimpulkan urgensi islam memandang bagaimana kedudukan seseorang ahli pada tempatnya, pentingnya mempunyai 2 pilar utama yaitu amanah dan kompetensi. karena mengabaikan peran ahli atau bahkan meremehkannya bukanlah gagal hanya dalam teknis saja, tetapi fatal dalam moral yang berdampak pada kerusakan sosial.
Fenomena modern —dari meremehkan sang ahli dan rusaknya intergritas seorang publik— menjadi bukti pentingnya tuntunan syari’ah yaitu menyerahkan urusan kepada ahlinya. karena pemimpin itu tidak hanya cukup dengan baik pribadinya, tapi ia harus dilengkapi juga dengan keahlian dan kapasitas yang teruji. Kualitas kebijakan yang diputuskan selalu berbanding lurus dengan kualitas pemangkunya.
Kita sebagai masyarakat pun memiliki peran : menjaga marwah kedudukan ilmu dan ahlinya, kembali merujuk kepada mereka yang berkompeten, dan bersikap kritis terhadap segala bentuk ketidakjujuran pada ranah akademik maupun politik. Itu menjadi andil kita dalam menjaga kemaslahatan masyarakat agar amanah tidak salah tangan dan tidak di sia-siakan.
Penulis : Mush’ab Umair
Editor : Muhammad Hasan Romadhan
Manhajuna Ilmu dan Inspirasi Islam