Sesungguhnya kita -siapapun orangnya dan apapun kedudukannya- adalah pemilik amanah. Sebelum kita menuntut amanah mereka-mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan sosial, patut kita tanyakan diri kita sendiri, sudahkan amanah yang ada pada diri saya, telah ditunaikan.
Rizki yang ada pada kita adalah amanah, keluarga kita adalah amanah, ilmu kita adalah amanah, bahkan diri kita sendiri adalah amanah. Kesimpulannya, semua yang ada pada kita adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah Ta’ala.
Kesadaran akan hal ini, akan melahirkan satu sikap yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam kehidupannya, yaitu mas’uliah (rasa tanggung jawab). Sikap inilah yang banyak hilang dalam kehidupan kita sekarang. Banyak orang yang merasa kalau sudah ‘miliknya’ dia bebas berbuat semaunya. Tidak jarang kita dengar ungkapan semacam : “Terserah saya, urusan apa kamu?” “uang,… uang saya, mau saya apain saja terserah’” “Yang penting ngga nyusahin orang, mo ngapain ke’“, dst.
Mas’uliah, dalam bahasa arab berasal dari kata mas’ul, yang secara bahasa berarti ditanya, namun kemudian lebih akrab diartikan dengan pemimpin.
Jika arti dari asal kata tersebut yang selalu mengisi ruang kesadaran seseorang, maka dapat kita yakini bahwa kehidupannya akan terkontrol, tidak semaunya, walau terhadap harta atau tubuhnya yang dianggap miliknya pribadi. Jika hal tersebut telah dimulai, kita akan dapat berharap bahwa amanah yang lebih besar berikutnya juga akan dia tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Apalagi jika sudah terkait dengan kemaslahatan umat, yang kalau dirinya tidak mengontrolnya, tetap akan ada masyarakat yang mengontrolnya.
Di padang yang sepi, seorang bocah sedang menggembala. Umar bin Khatab datang menghampirinya. Beliau ingin mengujinya, ditawarkan kepada gembala itu untuk menjual satu hewan gembalanya tersebut, dengan alasan pemiliknya tidak akan tahu karena jumlahnya yang banyak… anak itu menolaknya karena karena dia merasa tidak berhak untuk itu… Umar terus mendesak dan mendesak dengan alasan majikannya tidak tahu….. Akhirnya sang anak menjawab dengan singkat… “Kalau begitu…. Di mana Allah?”
Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA
(Manhajuna/IAN)