Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Omongan Ngawur
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Omongan Ngawur

Oleh: Ustadz Satria Hadi Lubis

“Gak apa-apa seks sebelum married, yang penting suka sama suka”

“Gak apa-apa serumah tanpa nikah, yang penting gak ganggu tetangga”

“Gak apa-apa pakaian seksi atau umbar aurat, yang penting kan gak ganggu orang”

“Gak apa-apa cewek cowok pacaran bebas, yang penting kan niatnya”

“Gak apa-apa lelaki suka lelaki, perempuan suka perempuan, yang penting kan kasih sayang”

“Ga apa-apa jadi orang yang biasa-biasa aja, gak usah fanatik, karena kita bukan hidup di Arab, tapi di Indonesia”

Gak apa-apa..Gak apa-apa..entah berapa banyak lagi omongan ngawur gak apa-apa semacam di atas.

Tumpukan gak apa-apa semakin menggulung. Banyak orang semakin gak peduli, egois, loe-loe gue-gue.

Lalu lahirlah anak-anak alay yang bebas bergaul. Ibu-ibu yang makin jauh dari taat, dan lelaki yang hobi maksiat. Rusak berjama’ah.

Padahal dari kata “gak apa-apa” itu muncullah dampak dahsyat berupa kerusakan moral. Mulai dari cinta yang dipermainkan, rasa hormat pada lawan jenis yang berkurang. Kemudian trauma kepada lembaga perkawinan karena banyak yg kawin cerai. Lalu munculah fenomena orang yang enggan nikah atau nikah tapi sangat terlambat, sehingga susah punya anak. Yang jadi gay atau lesbian –yang saat ini semakin marak– malah mustahil punya anak.

Menikah dan punya anak malah bikin repot dan membatasi kebebasan. Buat apa nikah toh saya sudah dapat seks, bahkan bisa gonta ganti lagi. Begitulah kira-kira jalan berpikir sebagian besar anak-anak muda di Eropa, Amerika, Jepang dan negara “maju” lainnya.

Apa yg kemudian terjadi? Saat ini penduduk usia muda di negara “maju” berkurang drastis karena jumlah anak sedikit dibanding jumlah orang tua yang tak lagi produktif. Padahal mesin industri harus tetap berjalan, tapi tenaga kerja sedikit. Lalu didatangkanlah imigran dari Afrika, Arab dan Asia yang beda kultur dan agama sehingga lama kelamaan menimbulkan konflik horizontal. Pemerintahnya kalang kabut. Sampai kemudian memberikan insentif bagi yg mau punya anak banyak agar penduduk aslinya tidak punah, seperti di Jerman dan Belanda. Tapi sudah terlambat karena budaya enggan nikah dan gak mau punya anak banyak sudah merajalela. Lambat tapi pasti mereka menuju kepunahan.

Omongan ngawur yang tampaknya ringan seperti di atas itu yang bisa berdampak besar pada kepunahan suatu bangsa.

Inikah yang diinginkan para penganjur kebebasan moral di Indonesia atas nama HAM dan anti diskriminasi? Berpikirkah mereka tentang dampak jangka panjangnya? Yakni musnahnya sebuah bangsa, bangsa Indonesia. Selain dampak “sampingan” yang terjadi di depan mata, seperti tingginya kriminalitas, merosotnya kualitas SDM, dan maraknya penyakit kelamin dengan makin banyaknya pengidap HIV/AIDS misalnya.

Yang lebih penting lagi merajalelanya maksiat di masyarakat membuat banjir dosa sebuah negeri. Berkah menjadi hilang, kemajuan sulit diraih. Program apa pun yang dilakukan serba salah dan serba gagal karena tidak ada berkah.

Jika orang Barat maju dulu, baru rusak moralnya. Nah.. kita bangsa Indonesia maju belum, tapi moral udah rusak duluan. Ironis! Ini akibat minder dan terpesona dengan Barat, sehingga meniru membabi buta Barat. Kalau pun mau meniru. Mestinya yang ditiru itu semangat keilmuannya, bukan gaya hidupnya yang rusak.

Subhanallah… Jadi ngeri membayangkannya. Bergidik memikirkannya. Kita gak mau semua itu terjadi pada bangsa ini di masa depan. Maka tak cukup diri ini berucap “Amit amit..naudzubillah minzalik”. Namun perlu aksi nyata dengan amar ma’ruf nahi munkar semampunya. Mulai dari mencegah kemungkaran di lingkungan rumah masing-masing. Kerjasama dengan RT/RW, tokoh masyarakat dan aparat berwenang untuk tidak membiarkan fenomena seks bebas merajalela. Jangan biarkan ada orang kumpul kebo, pacaran bebas sampai tengah malam, banci dan gay berkeliaran tanpa malu. Mari mulai dari lingkungan terdekat, mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang.

Jangan sampai anak cucu kita menyalahkan kita nanti di depan pengadilan Allah karena enggan mencegah kerusakan moral yang dapat memusnahkan sebuah bangsa.
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. 7:173).

(Manhajuna/GAA)

(Visited 617 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *