Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Zakat fitrah adalah zakat badan, bukan zakat maal (harta), tujuannya mensucikan badan. Karenanya kewajibannya tidak terkait nisab dan haul. Cukup seseorang memiliki kelebihan persediaan makan untuk dirinya dan keluarganya hari itu, dia sudah wajib mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan diwajibkan pula memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak kecil. Para ulama juga menyatakan sunnah mengeluarkan zakat fitrah bagi janin yang masih dalam kandungan, berdasarkan perbuatan Utsman bin Affan radhiallahu’anhu yang melakukan hal tersebut.
Ukuran yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’. Satu Sha’ adalah empat mud, sedangkan satu mud adalah satu raupan dua telapak tangan orang dewasa. Berarti satu sha adalah empat raupan dua telapak tangan orang dewasa. Ukurannya kurang lebih 2,5 sampai 3 liter.
Mayoritas ulama (Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok, tidak boleh dengan qiimah (harga senilai makanan tersebut), berdasarkan zahir dan teks-teks hadits yang ada dalam masalah ini.
Sedangkan kalangan mazhab Hanafi berpendapat boleh mengeluarkannya dalam bentuk qiimah. Mereka lebih melihat pada maqhasidusy-syari’ah (tujuan syariat) dalam masalah ini yaitu mencukupkan dan dan membahagiakan fakir miskin di hari raya. Di antara kalangan salaf yang berpendapat demikian adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berpendapat dibolehkan membayar zakat dengan nilainya jika ada kebutuhan dan tampak jelas manfaatnya dibanding jika diberikan dalam bentuk makanan (Majmu Fatawa, 25/82-83)
Pendapat mazhab Hanafi ini layak dipertimbangkan jika melihat perkembangan zaman terhadap kebutuhan seseorang di hari lebaran.
Waktu diwajibkannya penyaluran zakat fitrah adalah sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan (malam 1 Syawwal) hingga pelaksanaan shalat Idul Fitri. Karena itu disunnahkan pelaksanaan shalat Idul Fitri agak siang, agar pembagian zakat fitrah dapat terlaksana dengan baik. Namun seseorang boleh mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelumnya. Bahkan dalam mazhab Syafi’i dibolehkan mengeluarkannya sejak awal Ramadan.
Konsekwensi dari hal ini adalah, apabila seseorang meninggal dunia sebelum matahari terbenam di hari terakhir Ramadan, dia tidak terkena kewajiban zakat fitrah, sedangkan jika dia meninggal setelah matahari terbenam, sedangkan dia belum sempat mengeluarkan zakat fitrah, maka harus dikeluarkan zakat fitrah untuknya. Sebaliknya, jika ada bayi yang baru dilahirkan sesaat sebelum matahari terbenam pada hari terakhir Ramadan, orang tuanya wajib membayarkan zakat fitrah untuknya, sedang jika dilahirkan setelah matahari terbenam pada hari itu, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya.
Karena zakat fitrah adalah zakat badan, maka hendaknya dia dikeluarkan di tempat seseorang berada dengan standar yang berlaku di negeri tersebut. Jika kemudian, berdasarkan pertimbangan manfaat sebaiknya disalurkan ke daerah lain, hal tersebut tidak mengapa, sebab dibolehkan menyalurkan zakat fitrah ke daerah/negeri lain, jika dipertimbangkan bahwa negeri lain sangat membutukkan dibanding negeri tempat dia berada.
Jika kita mengetahui langsung ada orang yang benar-benar berhak menerima zakat, lalu kita berikan secara langsung, itu tidak mengapa. Namun menyalurkan zakat fitrah ke lembaga-lembaga penyalur zakat terpercaya lebih baik, lebih terarah dan relative lebih merata, apalagi jika kita awam terhadap siapa yang berhak menerima zakat di sekitar kita. Secara umum dianjurkan untuk teliti menyalurkan zakat fitrah kepada orang yang benar-benar berhak.
Orang yang berhak menerima zakat fithrah, hanyalah fakir miskin, jika dia bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi. Termasuk dibolehkan memberikan zakat fitrah kepada kerabat, bahkant termasuk kepada saudara jika mereka tergolong fakir miskin. Adapun memberikan zakat kepada isteri, anak, orang tua, tidak dibolehkan, sebab mereka adalah orang-orang yang wajib dinafkahi.
Ada sebagian ulama yang membolehkan penyalurannya ke delapan ashnaf (golongan) yang dikenal dalam zakat maal (harta). Namun berdasarkan hadits-hadits yang ada, serta maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) dalam ibadah ini, maka pendapat yang mengkhususkan penyalurannya kepada fakir miskin lebih kuat.
Karenanya tidak tepat jika menyalurkan zakat fitrah kepada selain mereka yang memiliki kriteria fakir dan miskin. Sebagian orang menyalurkan zakat fitrah untuk biaya pembangunan masjid, atau ada yang menyalurkannya kepada orang yang disebut sebagai amil, padahal dia kaya, hal ini tidak tepat. Wallahua’lam.
Mengeluarkan zakat fitrah, tidak menggugurkan kewajiban seseorang mengeluarkan zakat harta jika dia telah memiliki kriteria sebagai orang yang wajib zakat harta.
(Manhajuna/AFS)