Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Si Pemakan Bangkai
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Si Pemakan Bangkai

Oleh: Ustadz Satria Hadi Lubis

Manhajuna.com – Wanita bernama Elle Kaye (22) memiliki selera makan yang lain daripada yang lain. Wanita asal Inggris ini diketahui suka memakan bangkai-bangkai hewan. Profesinya sebagai ahli taxidermy atau ahli mengawetkan hewan yang sudah mati untuk dijadikan karya seni di museum-museum mungkin menjadi salah salah satu penyebab ia seperti itu.

Di Indonesia, dulu ada Sumanto yang suka memakan tubuh manusia yang telah meninggal. Lalu ada Lagu Singgarimbun alias Pak Musik alias wak Balon (52) yang hobi memakan bangkai hewan dan kotoran manusia. Pak Musik, Warga Langkat, Sumut, tepatnya dari Dusun Sepirak, Desa Besadi, Kecamatan Kuala itu mengaku sudah 28 tahun menjalani hidup aneh itu. Dia mengaku, setidaknya dalam dua hari sekali, dia menyantap bangkai.

Jika mereka memakan bangkai dalam artian harfiah, sebenarnya banyak orang yang tanpa sadar juga hobi memakan bangkai dalam kesehariannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12).

Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari penyamaan ini?

Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan, diantara rahasianya adalah:

Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.

Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.

Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.

Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-Sa’di, hal. 745).

Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar, “Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah menyangkut tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan bibirmu, atau tulisanmu, isyarat matamu, isyarat tanganmu, isyarat kepalamu atau yang semisalnya….”

Lebih jauh lagi mereka yang termasuk si pemakan bangkai adalah orang yang rakus terhadap dunia. Para pemuja harta yang menghalalkan segala cara (koruptor misalnya). Orang yang orientasinya melulu duniawi sampaj melupakan ibadah dan dakwah. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pasar melalui sebagian jalan dari arah pemukiman, bersama dengan para sahabat yang menyertai beliau. Lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang telinganya cacat (berukuran kecil). Beliau pun mengambil kambing itu seraya memegang telinganya. Kemudian beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami sama sekali tidak berminat untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau kembali bertanya, “Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?” Beliau pun bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim).

Hadits tersebut menerangkan kepada kita betapa tidak ada nilainya kekayaan dunia semata jika tidak disertai dengan keimanan. Oleh sebab itu sebanyak apa pun harta yang dimiliki oleh seseorang jika tidak dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka di akherat harta itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Sebagaimana Allah ta’ala tegaskan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89).

Sa’id bin Jubair bertutur, “Kesenangan yang menipu adalah apa saja yang melalaikanmu dari mencari akhirat. Adapun yang tidak melalaikanmu, maka itu bukan kesenangan yang menipu, tetapi kesenangan yang akan mengantarkan kepada kesenangan yang lebih baik lagi.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di atas tikar berserat dan membekas di tubuh beliau. Ibnu Mas’ud menangis melihat orang yang paling mulia tidur di atas tikar sederhana. Lalu beliau menawarkan tikar yang lebih nyaman untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Beliau bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini? Tidaklah aku dibandingkan dunia kecuali seperti orang yang bepergian yang berteduh di bawah pohon kemudian istirahat, dan pergi meninggalkannya.” (HR. At-tirmidzi, dan berkata, “Hadits hasan shahih”).

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi semua orang, dunia ini adalah tamu, dan harta itu adalah pinjaman. Setiap tamu pasti akan pergi lagi, dan setiap pinjaman pasti harus dikembalikan.”

Demikianlah kehidupan dunia, sangat remeh dalam pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Maka kita sebagai umat beliau, sudah semestinya mempunyai pandangan yang sama dengan beliau dalam meletakkan posisi dunia.

Orang yang menganggap dunia dgn segala isinya sebagai tujuan sadar atau tidak telah menyukai bangkai (kambing), membeli, bahkan mungkin sudah menjadi si pemakan bangkai. Sungguh sebuah perumpamaan yang menjijikkan sehingga membuat orang yang berakal akan berusaha sekuat tenaga dan selalu waspada agar tdk menjadi si pemakan bangkai dengan mencintai dunia dan lupa akhirat.

Yang menarik, dua perumpamaan si pemakan bangkai ini yang ditujukan kepada orang yang suka menggunjing dan orang yang cinta dunia seakan-akan menandaskan ada hubungan yang erat antara gunjingan dan cinta dunia. Orang yang suka bergunjing sebenarnya orang yang cinta dunia. Dan orang yang cinta dunia akan suka bergunjing.

Semoga kita tidak menjadi si pemakan bangkai yang menjijikkan. Na’udzubillah.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 932 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *